Aisyah tampak tercengang saat sudah menginjakkan kakinya di area pesantren. Hatinya merasa tak tenang begitu tahu jika semua bangunan tertutup rapat. Sudah bisa dia pastikan jika dirinya tidak bisa lagi kemanapun. Mendadak hatinya merasa sedih karena besok Abi dan juga uminya sudah kembali ke Pekanbaru.
Berbagai macam pikiran buruk bersarang di kepalanya saat ini. Mendadak dirinya takut jika tidak ada teman di pesantren karena dirinya tidak pandai berbahasa Jawa.
"Nduk, sini duduk dulu," titah kyai Umar saat melihat Aisyah hanya berdiri saja tanpa ada niatan duduk. Saat ini mereka sedang duduk di ruang tamu dengan posisi lesehan. Begitulah suasana jika kita sedang berkunjung di rumah kyai yang ada di Jawa. Mengedepankan sikap takdzim dan juga rendah hati. Duduk secara lesehan dianggap bisa berbaur dengan leluasa dengan sesama agar terjalin keakraban satu sama lain.
"Perkenalkan Aisyah ini sahabat Abi sewaktu Abi mondok dulu," tutur Abi Rozak saat Aisyah sudah duduk dengan kaki bersimpuh. Umi Masitoh dan juga Rengganis pun duduk dengan menunduk kepala pertanda memberi hormat pada kyai Umar. Peradaban seperti itu masih dijunjung tinggi jika berada di kawasan Indonesia. Berbuat santun pada yang lebih tua ataupun tinggi sosialnya.
Aisyah yang mendengar Abinya mengenalkan kyai Umar lantas mengangguk pertanda memberi hormat juga. Meskipun Aisyah tidak pernah di pesantren, namun dirinya tahu seperti adab pada seorang kyai yang harus diterapkan. Tidak boleh mengangkat kepala lebih tinggi karena akan dianggap tidak sopan.
"Kamu mulai besok sudah mulai belajar mengaji kitab kuning di sini nduk," ucap kyai Umar.
"Dan Abi harap kamu bisa lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan sini. Anggap aja ini di rumah kamu Syah," lanjut Abi menimpali. Asiyah tentu saja tak bisa menahan sesak di dada saat Abi nya berkata seperti itu. Karena dia tidak akan rela jauh dari Abi dan Uminya. Karena dirinya sudah terbiasa bersama dan juga mendengar ultimatum dari Abi. Entah kenapa meskipun Abinya selalu menasehati dirinya, kali ini Aisyah merasa tidak rela jika harus berpisah.
"Soal makan kamu ikut ndalem saja, jangan kos," tutur kyai Umar kembali.
Makan di ndalem yang dimaksud kyai Umar adalah ikut memasak di ndalem (sebutan untuk rumah kyai istilah orang Jawa) Lebih dikatakan ke mengabdi pada kyai, membantu apapun yang dikerjakan di ndalem dan juga jadwal masak setiap hari. Sedangkan makan secara kos adalah beli di luar pondok pada masyarakat penduduk desa sebanyak tiga kali sehari.
Aisyah yang tidak tahu apapun hanya diam dan mengangguk pelan karena ingin bertanya pada kyai Umar seperti tidak berani. Aura kyai dan wibawa yang dimiliki kyai Umar membuat Aisyah hanya menunduk tak berkutik.
"Ya udah sekarang kamu biar di antar mbak-mbak ke kamar mu," seru kyai Umar. Mbak-mbak adalah panggilan untuk anak-anak di pesantren, entah tua ataupun muda tetap di panggil mbak. Adab di pesantren kyai Umar itu selalu dijaga. Qanun yang berlaku pun sangat ketat, jika ada yang berani melanggar maka sebagai sanksi mereka harus mengeluarkan uang denda. Dan jika ada yang ketahuan berpacaran dengan kang santri akan dihukum berdiri di pondok santriwan, begitupun sebaliknya.
Lalu kyai Umar berdiri untuk memanggil mbak-mbak yang ada di dapur untuk mengantarkan Aisyah di kamar yang terdapat anak dari Sumatra.
"Mbak Rini, tolong sampean antarkan mbak Aisyah santri baru," seru kyai Umar pada mbak Rini yang tampak sedang membersihkan dapur. Hari ini sudah sore jadi mereka masih free kegiatan. Tetapi untuk yang ikut abdi ndalem harus bersih-bersih terlebih dahulu di ndalem kyai Umar.
"Enggeh kyai," sahut Mbak santri yang bernama Rini seraya melangkah mengikuti kyai Umar dari belakang yang mengajaknya mengantar Aisyah.
Setelah itu kyai Umar mengenalkan Mbak Rini pada Aisyah. Saat ini Nyai Aminah sedang duduk menemani kedua orangtua Aisyah. Mereka sudah kenal sejak kyai Umar pernah mengajaknya Bertemu.
"Mbak Rini, itu yang namanya Aisyah dan silahkan sampean ajak ke kamarnya, dan Aisyah ini mbak Rini salah satu pengurus pondok." Kyai Umar saling mengenalkan satu sama lain. Pengurus pondok adalah sejenis dengan organisasi OSIS jika di sekolah umum.
Mbak Rini mengangguk takdzim saat kyai Umar memberi perintah. Lalu Mbak Rini berjalan sambil membungkukkan setengah badannya dan mendekati Aisyah.
"Monggo Mbak Aisyah ikut kulo," ucap mbak Rini dengan logat Jawa yang khas.
Lalu Aisyah berdiri diikuti Umi dan Rengganis untuk melihat kondisi kamar Aisyah. Aisyah dengan wajah datar tanpa ekspresi langsung saja mengikuti langkah mbak Rini tanpa banyak tanya ataupun protes.
"Umi, kok Anis nggak tega sih lihat wajah Aisyah yang dari kemarin terlihat murung. Anis takut dia nanti nggak kerasan," ucap Rengganis yang memperlihatkan Aisyah yang diam tanpa senyuman ataupun tertawa.
"Udah kamu tenang aja, pasti lama-lama Aisyah bisa beradaptasi kok dengan pesantren ini," ucap Umi Masitoh. Padahal, jauh di lubuk hati Umi yang paking dalam, saat ini tengah dilanda kegelisahan. Ia takut jika nanti selalu merindukan anak bungsunya yang terkadang manja dan tidak bisa sembarangan makan menu yang baru dikenal.
"Anis pun berharap Aisyah tidak akan membenci Abi jika ditinggal sendirian besok," ucap Rengganis lagi. Kini langkah kaki mereka sudah berhenti tepat di depan kamar yang bakalan menjadi tempat tidur Aisyah sekaligus tempat tinggalnya yang baru.
"Monggo Mbak Aisyah, ini kopernya sampean udah ada di dalam," tutur mbak Rini dengan nada yang begitu sopan khas anak santri. Tadi begitu tiba, semua barang Aisyah langsung dibawakan oleh kang santri lalu diletakkan di pondok putri.
Aisyah langsung masuk dan tercengang melihat kamar yang tak seluas kamarnya di rumah yang ada Ac dan kasur empuk. Namun di kamar itu tidak ada kasur apapun. Hanya ada kasur tipis milik penghuni kamar yang lain.
"Loh mbak, katanya kamar aku di sini. Tapi kok ada banyak ini baju di lemari, punya siapa Mbak?" tanya Aisyah penasaran.
"Mbak Aisyah, sekamar ini isinya ada enam orang," jawab Mbak Rini.
Aisyah langsung tercengang mendengar penjelasan Mbak Rini dan langsung menatap pada kakaknya dan juga Umi yang tengah melihat keadaan kamar Aisyah. Hati Umi Masitoh semakin teriris kala melihat kamar yang akan di tempati Aisyah tidak seluas dengan kamarnya di rumah.
"Umi, jauh-jauh aku ke sini masa kamarnya begini sih Umi," rengek Aisyah dengan wajah tanpa dosa. Saat ini ingin sekali dirinya berteriak sekencang-kencangnya agar mereka semua tahu jika dirinya tidak ingin berada di tempat itu, penjara suci.
"Aisyah, semua ini sudah keputusan Abi. Umi tidak berani membujuk Abi," tutur Umi Masitoh sambil menahan sesak di dadanya. Sebentar lagi sudah tidak ada kenakalan Aisyah di rumah dan itu membuat Umi merasa tak rela melepaskan Aisyah tinggal di pesantren.
Saat ini Abi Rozak tengah asyik berbincang dengan kyai Umar dan juga Nyai Aminah. Sehingga Abi tidak mendapat sasaran protes dari Asiyah kali ini.