Zayn menoleh kepada Kirana yang sedang memandangnya, "Kamu ingin aku tidur bersamamu?" tanyanya.
"Eh ... maksudku, kamu pasti tidak akan nyaman tidur di sofa yang pendek itu. Kita bisa berbagi tempat tidur bersama, ranjang ini cukup lebar," jawab Kirana, dengan sedikit malu, takut Zayn berpikiran lain dengan maksud baiknya.
"Tidak apa, aku tidur di sini saja. Ini cukup bagiku," tolak Zayn, sembari menepuk-nepuk sofa itu.
"Aku hanya takut badanmu sakit karena harus terus meringkuk selama kau tidur. Ya sudah jika kamu tidak mau," tandas Kirana. Dia mengatur posisi bantalnya dan bersiap mengambil selimut untuk menutupi tubuh dari hawa dingin.
Akan tetapi sejurus kemudian Zayn melompat ke atas ranjang dan mengatakan, "Udaranya cukup dingin, kita tidak mungkin membagi selimut ini menjadi dua, ayo kita tidur bersama!" ucap Zayn, sambil menarik selimut yang di pegang Kirana.
Kirana bengong melihat Zayn yang berada di sampingnya, "O-oh iya," Kirana menyahut. Dia membaringkan tubuhnya di samping Zayn, yang sudah terlebih dulu merebahkan diri. "Selamat tidur!" ucap Kirana.
"Hmm ... Selamat tidur!" sahut Zayn, dengan memejamkan mata.
Suasana pun menjadi sunyi, Kirana tidak dapat memejamkan matanya. Dia masih merasakan perasaan bersalah mengingat apa yang tadi ia lakukan bersama Adrian. Dia tidak menampik, jika dirinya menikmati permainan itu.
Kirana menghembuskan napas kasar, dan itu dapat terdengar oleh Zayn yang masih terjaga.
Tiba-tiba perut Kirana terasa perih karena lapar. Dia belum makan sejak tadi siang. Tapi ini sudah sangat larut malam, pikirnya.
KRRRUUUUKK!! KRRUUUKKK!!
Suara perut Kirana terdengar keras, karena sunyinya kamar itu. Dia mencoba memejamkan mata agar hilang rasa lapar di perutnya.
"Kau lapar?" tanya Zayn, melirik ke arah Kirana. Wanita itu tidak menjawab.
Zayn kembali bertanya, "Jika kau lapar, ayo kita mencari makan, masih banyak tempat makan yang masih buka di luar! Atau mau aku pesankan sesuatu untukmu?"
"Ini pasti bayiku yang kelaparan! Dia sungguh tidak mengerti jika ini sudah larut malam," balas Kirana degan sedikit tersipu mengatakannya.
Zayn tersenyum sambil menyibakkan selimut lalu bangkit, "Jadi apa yang ingin kamu makan? Aku akan memesannya," tanyanya.
"Nasi goreng saja sudah cukup," jawab Kirana.
"Hanya itu?" tanya Zayn lagi, disusul anggukan Kirana.
Hanya butuh sekitar dua puluh lima menit pesanan itu datang, Zayn memesan nasi goreng dan satu gelas susu hangat untuk Kirana. Kirana makan dengan begitu lahap, Zayn yang melihat itu sedikit khawatir jika Kirana akan tersedak.
"Berapa lama kamu tidak makan?" tanya Zayn.
"Terakhir aku makan ketika waktu istirahat tadi di tempat kerja," jawab Kirana, sambil terus mengunyah makanannya. Zayn tidak habis pikir kepada Adrian yang membawa Kirana tanpa memberinya makan, padahal wanita itu sedang mengandung darah dagingnya sendiri.
Setelah mengahabiskan makannya, Kirana langsung tidur dengan nyenyak. Zayn memandangi Kirana dengan begitu lekat, tangannya menyibakkan rambut Kirana yang menutupi sebagian wajah wanita itu, kemudian menyelimutinya.
Semalaman Sintia dibuat tak karuan oleh sikap suaminya, ditambah sampai pagi tidak ada tanda-tanda suaminya itu pulang ke rumah. Dia pun memutuskan untuk pergi ke kantor Adrian, untuk menemuinya, siapa tahu Adrian langsung pergi ke kantor, monolog Sintia.
Menjelang siang Adrian baru tiba di kantornya, terdapat lebam di beberapa titik wajahnya, dan itu menjadi pusat perhatian bagi beberapa pegawai yang kebetulan berpapasan dengannya. Namun, Adrian tidak peduli dengan itu. Dia membuka ponsel hendak menelpon Kirana.
Adrian masuk ke dalam ruangannya tanpa menyadari kehadiran Sintia yang sudah menunggu di sana. Karena tidak mendapat respon dari Kirana, dia mengumpat dengan kasar, "Zayn sialan! Kemana kau membawa Kirana?"
Tentu saja kata-kata itu terdengar jelas oleh Sintia yang sudah duduk di balik kursi kerja. "Kirana?" seru Sintia. Adrian tampak terkejut, tidak menduga Sintia sudah ada di sana dan mendengarkan umpatannya.
"Apa kamu semalam tidak pulang karena sibuk mencari wanita itu?" tanya Sintia bangkit mendekati Adrian, "Dan ada apa dengan wajahmu? Apa kau berkelahi dengan laki-laki bernama Zayn, demi wanita sialan itu?" lanjut Sintia, dengan nada meninggi.
Adrian tidak menjawab pertanyaan istrinya, ia malah duduk menghempaskan tubuhnya di sofa, "Ada apa kamu datang kemari?" dia balik bertanya.
"Ada apa kau bilang! Aku ingin bertemu denganmu dan bertanya mengapa kau tidak mengangkat telpon dariku semalam, dan tidak pulang ke rumah?" teriak Sintia.
Adrian bingung untuk menjawab apa, tidak mungkin dia mengatakan kejadian yang sesungguhnya kepada Sintia. "Aku hanya minum-minum di club dengan beberapa teman di sana, lalu terjadi perselisihan dengan beberapa orang perusuh di club," tutur Adrian.
"Jangan bohong Adrian! Lalu kenapa kau tadi mencari-cari mantan tunanganmu itu?" selidik Sintia.
"Aku mencarinya karena dia seorang diri sekarang. Setelah apa yang terjadi dengan ibunya, hanya perasaan khawatir terhadap seorang teman." Adrian tentu berbohong.
"Kamu begitu peduli padanya, kau masih mencintainya, Adrian?" tanya Sintia dengan menatap tajam suaminya.
"Jika aku mencintainya, aku tidak mungkin menikahimu Sintia. Sudah cukup kau terlalu banyak bertanya, seperti wartawan saja!" sergah Adrian, takut kebohongannya terbongkar.
Meskipun Sintia tidak mempercayai sepenuhnya dengan apa yang dikatakan Adrian. Dia mencoba mengenyampingkan ego untuk membuat hubungannya dengan Adrian membaik. "Baiklah aku tidak akan bertanya lagi, nanti malam aku tunggu kamu di rumah!" ucapnya, lalu pergi meninggalkan Adrian.
Kirana tidak masuk kerja hari ini, ia sudah menghubungi Widia dan beralasan tidak enak badan, ia masih belum kembali ke Jakarta. Zayn memutuskan untuk sekalian berjalan-jalan menikmati pemandangan di sekitar puncak, dan mengajak Kirana untuk mencoba olahraga paralayang yang berada di perkebunan teh.
Kirana yang belum pernah mencoba olahraga yang cukup ekstrem itu tentu saja menolak, "Tidak Adrian kau saja, aku akan menunggumu di sini," tolaknya.
"Ayolah Kirana setidaknya kau harus mencoba ini sekali seumur hidupmu, akan terasa berbeda saat berada di atas dan kau tidak perlu takut kita bisa melakukannya bersama," ajak Zayn.
"Aku gak mau Zayn," Kirana tetap menolak.
"Biaklah kalau kau tidak mau, ayo kita turun saja mencari tempt makan!" ujar Zayn, membalikan tubuhnya hendak turun. Kirana merasa tidak enak karena tahu Zayn sangat ingin terbang dengan paralayang.
"B-baiklah ayo! Aku mau melakukannya jika bersamamu," ucap Kirana pada akhirnya.
"Kau yakin? Aku tidak memaksamu lho," kata Zayn meyakinkan kembali.
"Kau bilang aku harus mencobanya bukan? Ayo kita coba!" ajak Kirana dengan yakin meski ada perasaan takut.
Akhirnya mereka menaiki olahraga paralayang itu. Karena Zayn sudah sering dan ahli dalam olahraga ini dia tidak membutuhkan pilot, sehingga Kirana bisa berada di depannya dan Zayn sebagai pilotnya. Dengan sabar Zayn memberitahukan apa yang harus dilakukan oleh Kirana saat akan lepas landas, setelah mengerti mereka akhirnya terbang dengan ketinggian 1300 mdpl.
Kirana awalanya takut dan memejamkan mata. Namun ketika terbang di atas, perlahan dia membuka matanya. Melihat pemandangan dengan hamparan hijau di bawah, Kirana dibuat takjub dan bisa melupakan semua segala permasalahan dan kekhawatiran dalam dirinya.
"Ini luar biasa bukan?" tanya Zayn kepada Kirana dengan sedikit berteriak.
"Iya ini sangat luar biasa, aku tidak tahu jika ini akan sangat menyenangkan," balas Kirana.
Akan tetapi setelah berputar-putar selama sepuluh menit, Kirana merasakan sedikit goncangan, "Ini kenapa Zayn?" tanya Kirana dengan khawatir.
"O-ow kita dalam masalah, Kirana," jawab Zayn.
Kirana tentu saja panik dengan jawaban Zayn, mereka masih berada di ketinggian dan tempat mereka landing masih tampak jauh.
"Masalah apa Zayn? Kita akan selamat kan? Aku takut!" tanya Kirana dengan panik.