Zayn tidak langsung menjawab pertanyaan Kirana dan itu malah membuat Kirana semakin panik, "Zayn mengapa tidak menjawabku?" tanya Kirana lagi. Kemudian dia melanjutkan, " Kau tidak pingsan kan?"
Zayn di belakang Kirana menahan tawa karena berhasil menakuti gadis itu. "Ha..ha..haa... huuh ... bagaimana Kirana, ini menyenangkan bukan?"
Kirana menganga sesaat, mendengar ucapan Zayn yang tampak girang karena sudah mengerjainya.
"Bisa-bisanya kau bercanda di saat seperti ini, awas kau!" gerutu Kirana kesal. Sekitar lima belas menit mereka berputar-putar hingga akhirnya mereka berada di lokasi pendaratan. Kirana masih menampakkan wajah kesalnya kepada Zayn.
"Kau masih marah?" tanya Zayn, dengan tersenyum menatap Kirana.
"Tentu saja, kau bercanda di saat tidak tepat, itu tidak lucu!" jawab Kirana.
"Oke baiklah, maafkan aku ya hmm!" ucap Zayn, yang berjalan di depan Kirana. Gadis itu hanya membalas dengan senyum kecut
Sore itu mereka kembali lagi menuju ibu kota dan sampai saat menjelang malam. Setelah mengantarkan Kirana ke rumah kontrakannya, Zayn memutuskan menemui seseorang di sebuah kafe. Ketika sampai, ia mencari-cari sosok yang akan ditemuinya di antara deretan kursi pengunjung, sampai ia melihat ke arah seseorang yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. Zayn pun menghampiri orang itu.
"Ada perlu apa memanggiku," tanya Zayn tanpa basi-basi, sembari menggeser kursi yang akan dia tempati.
"Apa kau ingin memesan sesuatu dulu?"
"Tidak perlu, aku tidak bisa lama-lama di sini, jadi cepat katakan apa maumu, Sintia?" Zayn mengulangi pertanyaannya, terdengar tidak sabar.
Mendengar kata-kata Zayn yang tampak tidak bersahabat, Sintia langsung mengatakan tujuan sebenarnya meminta Zayn bertemu. "Apa kamu bisa membawa Kirana pergi jauh dari sini?"
"Kenapa aku harus membawa dia pergi? Aku tidak mempunyai hak apa pun terhadapnya," balas Zayn.
"Bukankah kau menyukainya? Mari kita bekerja sama untuk saling menjauhkan antara Kirana dan Adrian!" Sintia mengajukan penawaran.
"Aku tidak ingin bekerja sama denganmu. Kau harusnya bekerja sama dengan suamimu itu, dan suruh dia untuk menjauhi Kirana! Aku punya cara sendiri untuk mendekati Kirana tanpa butuh bantuanmu," tolak Zayn.
Sintia tentu kecewa mendapat penolakan dari Zayn. Padahal tadi dia berharap mereka bisa bekerja sama, karena akan saling menguntungkan bagi keduanya.
Karena Sintia tidak mengatakan apa pun, Zayn bertanya, "Apa kau tidak mampu menangani suamimu sendiri?"
"Tentu saja aku bisa, dia sangat mencintaiku dan sangat takut kehilanganku. Aku hanya tidak suka Kirana terus mendapatkan perhatian dari suamiku, walaupun itu hanya sekedar perhatian seorang teman," jelas Sintia. Dia berusaha meyakini apa yang dikatakan suaminya tadi siang, saat menemuinya.
Zayn tertawa sinis lalu mengatakan, "Teman katamu? Teman macam apa yang tega membawa lari dan menyekapnya hingga membiarkannya kelaparan?"
Sintia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Apa maksudmu?"
"Kemarin suamimu membawa lari Kirana ke Bogor dan menyekapnya di sebuah villa di sana!" jelas Zayn.
Sintia tampak terkejut sekaligus jengkel karena merasa dibohongi oleh Adrian. Namun, dia berusaha setenang mungkin di hadapan Zayn.
"Bagaiman kau bisa tahu jika suamiku yang membawa lari wanita itu? Kau yakin Kirana juga tidak menolak itu? Dia bukan anak kecil lagi, yang bisa dengan mudah dibawa lari oleh orang dewasa jika bukan karena keinginannya," ucap Sintia yang mulai memojokkan pernyataan Zayn.
Zayn merasa lebih mempercayai Kirana, walaupun ia tahu di hati Kirana masih ada Adrian di sana.
"Kirana sendiri yang memintaku datang untuk menjemputnya di sana dan aku melihat sendiri jika suamimu tampak enggan melepaskan Kirana. Kamu bisa lihat wajahnya yang babak belur nanti! Itu adalah hasil perbuatanku yang telah menghajarnya karena tidak mau melepaskan Kirana," tutur Zayn.
"Ah dia memang sengaja ingin mencari perhatian kepada setiap lelaki, sungguh serigala berbulu domba," cela Sintia dengan nada kesal.
"Aku rasa sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan," Zayn bangkit dari duduknya, enggan menanggapi celaan Sintia.
"Jika kau tidak menjauhkannya dari suamiku, aku sendiri yang akan menjauhkannya!" ucap Sintia dengan menatap Zayn serius.
Zayn tidak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan Sintia begitu saja, wanita itu menatap kepergian Zayn dengan mata penuh amarah. Selain kecewa karena Zayn tidak ingin diajak kerjasama olehnya, tapi juga karena tahu Adrian berbohong tentang memar di wajahnya.
Kirana memasuki gedung tempat dimana ia bekerja, hampir saja ia terlambat. Jika itu terjadi, Widia pasti akan mengomelinya lagi. Dia memasuki lift untuk menuju lantai tiga, baru saja pintu lift itu akan tertutup tiba-tiba tangan seseorang menahannya, dan itu adalah Riko.
Kirana tertegun sesaat tidak tahu harus berbuat apa, dia merasa canggung berhadapan dengan seorang atasan yang selalu menuntut kesempurnaan. Hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. "Selamat pagi Pak!" sapa Kirana.
Akan tetapi Riko tidak menghiraukan sapaan Kirana, pandangannya lurus ke depan. Mereka saling membisu. Menuju lantai tiga serasa lama bagi Kirana.
Ketika mendengar suara pintu lift berdenting, akhirnya Kirana merasa lega. Saat pintu itu terbuka, Kirana melangkahkan kakinya hendak ke luar. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Riko hingga badannya berhadapan dengan laki-laki itu.
Mereka saling berhadapan, "A-ada apa Pak Riko?" tanya Kirana, masih terkejut dengan tindakan bosnya itu.
"Kamu begitu lancang, setidaknya kau harus menungguku keluar terlebih dahulu," jawab Riko, dengan menatap mata bening Kirana. Tatapannya turun pada bibir sensual milik wanita itu dan seolah kehilangan akal, Riko tiba-tiba saja mencium bibir Kirana dengan penih nafsu .
Kirana berusaha berontak dan memukul-mukul dada Riko, akan tetapi usahanya tidak berhasil. Hingga Kirana melakukan tindakan yang cukup keras untuk menghentikan tindakan cabul atasannya itu.
"Awwkkhh!!" pekik Riko, memegang kemaluannya yang sudah mulai menegang di antara kedua kakinya. Kirana menendang Riko dengan menggunakan lutut sekeras mungkin.
"Anda, sudah kurang ajar!" hardik Kirana sambil merapikan rambutnya.
"Kau ... Kau aku pecat sekarang juga!" pekik Riko, dengan menunjuk Kirana.
"Aku tidak peduli, dasar laki-laki cabul!" balas Kirana, ia memijit tombol lift untuk segera keluar dari sana.
Kirana menuruni tangga untuk kembali pulang, karena bosnya baru saja memecat dia. Saat itu, dia berpapasan dengan Widia, "Eh Kirana mau kemana kamu? Ini sudah waktunya bekerja," tanyanya.
"Aku baru saja dipecat, maaf Bu saya permisi!" jawab Kirana, dengan langsung meninggalkan Widia yang masih kebingungan dengan ucapannya.
Sedangkan Riko masih dalam keadaan meringis ketika keluar dari lift, "Kurang ajar! Wanita itu dia pikir siapa? Hanya seorang pegawai rendahan tapi berani menolakku."
Riko sendiri tidak mengerti dengan tindakannya yang tidak bisa mengendalikan nafsu, ketika memandang Kirana. Padahal selama ini dia seorang pemilih dan selalu menuntut kesempurnaan dalam segala hal termasuk masalah wanita.
"Kirimkan semua data-data tentang pegawai kita yang baru!" perintah Riko kepada seseorang di telpon. Riko sudah sampai di meja kerjanya, ia memutuskan mencari tahu tentang Kirana.
"Lihat saja, aku tidak akan melepaskanmu!"
Kirana menghela napas dengan berat ketika sedang menunggu angkutan umum. "Baru saja bekerja tiga hari sudah di pecat, ke mana aku harus melamar pekerjaan lagi?" Dia menggumam sendiri.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah berwarna putih berhenti di depannya, seorang wanita keluar dari mobil itu dan menghampirinya. Kirana yang melihat sosok itu seketika memutar bola matanya.
"Masuklah! Aku ingin kita bicara," ujar orang itu.
"Tidak! Tidak ada hal yang perlu kita bicarakan, Sintia," tolak Kirana.
Saat Sintia melintasi jalan itu, ia tidak sengaja melihat Kirana ysng sedang duduk di pinggir jalan. Kebetulan sekali, pikirnya.
"Apa kamu kemarin pergi bersama Adrian ke puncak Bogor?" tanya Sintia dengan melipatkan kedua tangan di dadanya.
"Dia membawaku paksa!" jawabnya Kirana singkat.
"Oh ya? Tapi kau senang bukan? Bagaimana, kau senang bisa berduaan dengan suami orang?" tanya Sintia dengan sinis.