Adrian pergi dengan membawa amarahnya meninggalkan tempat itu, dia kesal tidak ingin melihat lagi keakraban di antara Zayn dan Kirana. Ketika sampai di rumahnya dia menjadi uring-uringan. Sintia yang tidak tahu menahu menjadi sasaran kekesalnnya.
"Sin ... Sintia!" teriak Adrian, memanggil istrinya.
"Ada apa sih kok teriak-teriak segala?" sahut Sintia sambil menghampiri suaminya itu.
"Mana kopiku?" ucap Adrian, dengan berkecak pinggang.
"Sabar dong! Kamu juga baru saja sampai 'kan? Aku akan suruh Bi Minah membuatkannya untukmu," kata Sintia, melengos meninggalkan Adrian.
"Bi Minah ... Bi Minah terus! Itu 'kan kewajibanmu sebagai istri," hardik Adrian.
Mendengar hardikan Adrian, Sintia menjadi ikut emosi dan menaikkan nada suaranya, "Loh kamu kenapa mempermasalahkan itu? Biasanya fine aja 'kan?"
"Terserahlah! Susah bicara sama kamu," balas Adrian, sambil pergi menuju kamar dengan membanting pintu.
Sintia menjadi dongkol dengan sikap Adrian yang tiba-tiba, mereka masih terbilang pengantin baru tapi akhir-akhir ini Adrian selalu membuatnya kesal. Dia semakin yakin sikapnya saat ini pasti berhubungan dengan Kirana. Dia tidak ingin wanita itu terus membayang-bayangi pernikahannya dengan Adrian. Dia berpikir, sepertinya dia harus mengikuti rencana awal yang dicetuskan mertuanya terhadap Kirana.
Kirana merebahkan diri di tempat tidurnya sambil memijit-mijit tangan yang terasa pegal karena bekerja.
Di rumah yang baru ia tempati terasa sepi, kenangan-kenangan saat bersama ayah dan ibunya kembali terkenang. Tidak lebih dari dua bulan kehidupannya berubah dratis, Adrian yang mengkhianatinya, ayah yang pergi selama-lamanya, dan ibunya yang mengalami gangguan kejiwaan.
Kehamilannya? Entahlah dia harus sedih atau bahagia dengan itu, Adrian jelas tidak mungkin bertanggung jawab, dia bahkan mengelak. Kirana berpikir mampukah dia membesarkannya seorang diri? Atau haruskah dia mengikuti saran Angel untuk menggugurkan kandungannya itu? Belum terlambat sekarang bukan? Kandungannya masih sangat muda.
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatnya bimbang, padahal sebelumnya dia sangat yakin akan melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Saat ini, tidak ada yang bisa mendengar keluh kesahnya, tidak ada yang menenangkan dan tidak ada yang merangkulnya, lagi-lagi hanya bisa menangis sampai ia terlelap terbuai mimpi.
Melihat jam di dinding kamar membuat Kirana terperanjat, dia terlambat. Dengan cepat ia bergegas untuk mandi. Tidak ada waktu untuk sarapan karena akan sangat terlambat, pikirnya. Dia segera keluar dari rumah, ketika mengunci pintu rumahnya. Ia mendapati Zayn sudah berdiri di belakangnya.
"Kau terlambat ya?" tanya Zayn.
"Kau membuat aku kaget saja!" seru Kirana, saat melihat Zayn berdiri.
"Ayo aku antar!" ajak Zayn.
"Aku sepertinya naik ojek online saja, agar lebih cepat, naik mobilmu pasti akan lama karena terjebak macet," tolak Kirana.
Dengan tersenyum Zayn berjalan menghampiri motor yang terpakir di pinggir jalan, motor yang sama saat pertemuan pertama mereka., "Serahkan padaku!" ucapnya.
Kirana tersenyum lega, ia lantas naik ke atas motor Zayn. Dia merasa heran, mengapa Zayn selalu ada di saat dia dalam situasi sulit? Bahkan laki-laki itu terkadang bisa memahami apa yang ada dalam hatinya.
Tidak butuh lama bagi mereka untuk sampai ke tempat Kirana bekerja. Kirana terlambat beberapa menit, "Terima kasih kamu sudah menolongku! Oh ya, nanti kamu tak perlu menjemputku! Aku sudah janji akan pulang bersama Nita dan Septi," pintanya.
"Oke!" balas Zayn, mereka pun berpisah menuju tempat tujuan masing-masing.
Kirana masuk dengan terburu-buru, segera ia masuk ke dalam pantry di sana sudah ada Widia. Melihat kedatangan Kirana yang terlambat datang ia langsung mengomelinya, "Ini baru hari kedua kau bekerja tapi sudah datang terlambat, setidaknya kau harus datang lima belas menit lebih awal dari jadwal jam kerjamu."
"Ma-maafkan saya, Bu! Saya janji lain kali tidak akan terlambat lagi," ucap Kirana.
"Baik, aku tidak ingin melihatmu terlambat lagi! Sekarang cepat kerjakan tugas kalian!" kata Widia, dia pun pergi meninggalkan pantry sambil memberengut.
Sesuai perintah Widia, mereka mulai melakukan tugas mereka masing-masing. "Hei! Kenapa kamu terlambat? Pasti semalam bergadang bersama pacarmu itu ya?" gurau Nita disertai cekikikan Septi.
"Hush, apaan sih? Dia bukan pacarku, kita hanya berteman," tandas Kirana.
"Oh ya?" ejek Septi. Mereka pun tertawa cekikikan.
"Sudah ah, ayo kembali kerja! Nanti diomeli Bu Widia lagi," pungkas Kirana.
Adrian berangkat tanpa berpamitan kepada Sintia, mereka masih saling membisu. Hari ini Adrian memutuskan memakai sopir karena sedang merasa lelah akibat terlalu memikirkan Kirana.
"Kita langsung ke kantor, Tuan?" tanya sopir.
"Tidak, aku mempunyai janji dengan rekan bisnisku," jawab Adrian.
Mobil itu membawa mereka ke suatu tempat di mana Adrian akan bertemu dengan rekan bisnisnya. Adrian membawa beberapa dokumen yang dibutuhkan dan turun dari mobilnya kemudian masuk ke dalam. Ketika ia berjalan melewati lobi, tampak Kirana sedang mengepel lantai di sana. Mereka tidak menyadari satu sama lain, Kirana fokus dengan pekerjaannya begitu pula dengan Adrian. Adrian memasuki lift untuk naik menuju lantas atas.
"Permisi, saya Adrian kemarin sudah ada janji dengan Pak Riko untuk hari ini," sapa Adrian pada seorang sekretaris yang ada di depan ruangan Riko.
"Oh iya, Pak Riko tadi sudah berpesan juga. Silakan bapak masuk saja! Pak Riko sudah menunggu di dalam," balas sekretaris itu.
"Terima kasih," ucap Adrian. Dia pun masuk ke ruangan yang ditunjukan oleh sekretaris tadi.
Kirana selesai dengan pekerjaannya mengepel lantai, kembali dia menuju pantry. Di sana sudah ada Nita dan Septi, mereka bengobrol santai sampai seorang wanita datang menghampiri mereka.
"Tolong antarkan dua kopi ke ruangan Pak Riko sekarang!" ucap orang itu.
"Baik!" jawab mereka hampir bersamaan.
Nita dan Septi mendadak terlihat cemas, "Duh gimana nih, minuman ke ruangan Pak Riko," bisik Nita.
"Memangnya kenapa?" tanya Kirana heran.
"Pak Riko itu terkenal cerewet, selalu saja ada yang salah di matanya apa saja selalu di komentari olehnya. Kami malas mengantarkan kopi ini ke ruangannya," ucap Septi.
"Kalau begitu biar aku saja yang mengantarkan kopi itu," cetus Kirana.
"Kamu yakin? Tapi nanti kamu jangan kaget ketika dia mengomentarimu!" ucap Septi.
"Iya aku yakin, tidak apa-apa memangnya serewel apa sih dia?" kata Kirana.
"Nanti kau akan tahu sendiri," jawab Septi.
Kirana pun akhirnya mengantarkan kopi itu ke ruangan Riko. Dengan sangat hati-hati dia membawa dua kopi di nampan, agar tidak berceceran di bibir gelas, karena Riko tidak menyukainya. Dia tiba di hadapan ruangan Riko, menghela napas terlebih dahulu berharap tidak membuat kesalahan.
Tok..Tok..Tok..
Kirana mengetuk pintu, lalu membuka pintu itu. Namun, baru saja ia melangkahkan kaki hendak masuk, sebuah suara mengejutkannya, "Siapa yang menyuruhmu untuk masuk? Aku belum memberimu izin."
"Ma-maafkan saya," ucap Kirana dengan menundukan kepalanya, tidak berani menatap pada pemlik suara itu. 'Celaka' batinnya.
"Lain kali jika belum kuizinkan untuk masuk, jangan berani untuk masuk! Bawakan kopi itu kemari!" bentak Riko.
Masih dengan menundukan kepalanya, Kirana menjawab, "Baik Pak!"
Kirana melangkahkan kakinya dengan sedikit gemetar, ia meletakan kopi itu di meja di antara dua laki-laki yang saling berhadapan. Ketika menyimpan dua cangkir kopi itu di meja, Kirana bisa merasakan aroma seseorang yang dia kenal.
Kirana terperanjat ketika melirik ke arah Adrian, sampai nampan di tangannya terjatuh. Melihat itu kedua laki-laki itu sontak melihat ke arah Kirana.
"Kiran!" bisik Adrian, yang tak kalah terkejutnya dengan Kirana, Adrian melihat mantan tunangannya itu berseragam office girl.
'Sedang apa dia di sini?'