Bab 8.
Alhamdulillah, senang hati ini produk kosmetikku banyak yang order. Setelah tiba di rumah, rasa penasaranku semakin tak terbendung. Langsung ku tanya ke Bang Beni tentang pekerjaan Rani.
"Bang, produk yang di order Rani tadi, itu merek yang paling mahal lo di katalog aku. Memangnya ia bekerja di mana?" selidikku.
"Kata ibunya sih, dia bekerja di mall, sebagai penjaga stand gitu," jelas Bang Beni.
"Sebelum kita menikah, aku juga bekerja di mall seperti dia. Beli kosmetik aja harus nabung dulu," ucapku.
"Mungkin gajinya besar. Lagian ia sedang berpacaran dengan seorang lelaki paruh baya. Semua kebutuhan hidupnya di biayai. Di berikan sepeda motor juga untuk transportnya."
"Hmm, pantesan lah," ucapku sambil berjalan menuju dapur.
Karena seringnya berkomunikasi, Rani pun berniat datang bertamu ke rumah kami. Ia datang bersama adik wanitanya. Aku perhatikan sikap Bang Beni kalau bicara ke Rani, seperti di atur gitu, sok lembut. Padahal aslinya kasar. Karena aku mulai akrab dengan Rani, Bang Beni menawarkan untuk menginap di rumah kami. Awalnya ia menolak, karena segan padaku.
Beberapa minggu kemudian Rani dan adiknya bertamu lagi, tapi mereka datangnya malam, selesai ia pulang kerja jam sembilan malam gitu. Kebetulan ia bekerja di shif malam. Karena sudah larut malam, mereka pun menginap di rumah kami. Sedangkan adik laki-lakinya tak ikut, sendirian di kontrakannya. Aku sih tak masalah mereka bertamu dan menginap, asal sopan tak merugikan orang lain.
Akan tetapi makin sering komunikasi dengan Rani, lama kelamaan ibu, abang dan juga adiknya, ikutan sering bertamu ke rumah kami. Bagaimana tak ketagihan, setiap mereka janji bertamu, aku selalu menyediakan makanan untuk mereka. Iya betah lah berlama-lama di rumah, karena aku juga senang bersilaturahmi. Niatnya kan ingin punya saudara angkat, biar bisa mengusir rasa sedihku setelah kepergian Ibu.
******
Hari ini aku masak lumayan banyak, karena keluarga Rani hendak bertamu ke rumah. Kelihatan Bang Beni lah yang paling semangat. Biasanya kalau keluargaku yang bertamu, kadang ia tak acuh. Aku sih sudah khatam melihat sifatnya. Selesai Zuhur mereka pun datang bertamu. Dari cara bicaranya, kelihatan keluarga Rani ini orang berada. Setelah berbasa-basi, langsung saja ku persilakan mereka makan, kebetulan jam makan siang juga.
Entah kenapa Ibu dan Bapaknya, suka dan terkesan melihatku. Mereka berulang kali mengatakan ingin anaknya punya sifat sepertiku. Aku sedikit bingung dengan ucapan mereka. Ku lihat kedua anak perempuannya tak banyak cakap. Mungkin karena baru kenal, aku belum tahu sifat aslinya kali ya. Selesai makan siang, kami melanjutkan duduk di teras rumah. Sekalian mencari angin, gerah sehabis makan. Tiba-tiba abangnya Rani nyeletuk.
"Sesekali kita liburan ke daerah pegunungan yuk!" ucapnya.
"Naik kendaraan siapa, Bang?" tanya Rani.
"Naik mobil kantorku ini, bisa kok," jawabnya.
Aku dan Bang Beni saling berpandangan. Mereka saja sekeluarga naik mobil itu, sudah penuh kapasitasnya. Nah kami yang berlima ini, hendak duduk di mana lagi, pikirku. Tak mungkin kan, kami naik sepeda motor berbonceng lima.
"Oh ya sudah, kami naik sepeda motor aja! Biar Sinta numpang di mobil kalian ya," saran Bang Beni.
"Tapi kapan, Bang?" tanyaku ke abangnya Rani.
"Lusa kan hari libur, tanggal merah. Kita berangkat abis Magrib, biar nyampe nya tengah malam. Menginap di hotel satu malam saja. Terus paginya kita bisa keliling jalan-jalan di sana," ucapnya.
"Bagaimana Ben, bisa kan?"
"Nanti lah di kabari lagi, Bang," jawab Bang Beni.
Menjelang Magrib, mereka sekeluarga pun pamit pulang. Kami mengantarkan mereka sampai ke halaman rumah.
******
Setelah mereka pulang, aku bertanya ke Bang Beni. "Bang, beneran kita mau pergi liburan bersama mereka?"
"Hmm ... kamu ada uang kan? biar jadi kita liburan," tanya Bang Beni.
"Uang dari mana, paling berapa lah sisa uang belanja yang ku simpan setiap harinya," jawabku ketus.
"Nanti lah di bicarakan lagi, kalau uang sudah di tangan," ucap Bang Beni sambil berlalu ke kamar mandi.
Selesai salat Magrib, aku dan anak-anak berkumpul di ruang keluarga sambil menonton tivi. Ku amati tingkah Bang Beni, ia memainkan hapenya dengan serius. Kadang dahinya berkerut, bibirnya cemberut. Kadang tersenyum, ia sampai tak sadar, kalau sedang ku perhatikan.
"Hmm ... serius amat balas chatnya," sindirku.
"Eh, oh, ini lagi balas chat teman," ucapnya, sambil meletakkan hape di samping tempat duduknya.
Kami pun duduk terdiam, sambil menonton sinetron paforitku. Tak lama hapenya bergetar lagi. Sepertinya Bang Beni pura-pura tak mendengar. Aku sih sudah faham, lihat gelagat seperti itu. Pasti hubungan lagi dengan para mantannya. Karena jarang sekali ku lihat ia berteman dengan sesama cowok. Alasannya teman-teman cowok itu, kebanyakan tingkahnya brengsek semua. Mereka suka menggunakan narkoba dan mempermainkan wanita.
******
Tak terasa mulai larut malam, aku antarkan anak-anak menuju kamar tidurnya. Sedangkan si bungsu sudah tertidur dari tadi di depan tivi. Setelah mengantarkan Sinta dan Raka ke kamarnya. Aku menuju kamar mandi untuk berwuduk. Keluar dari kamar mandi, terdengar sayup suara Bang Beni berbicara di telfon. Ia duduk di teras rumah. Jiwa kepoku bergejolak, ku tempelkan telinga ini ke dinding ruang tamu. Kedengaran ia berbicara dengan suara lembut. Pastilah telfonan sama cewek, pikirku. Iseng aku berteriak untuk mengganggunya.
"Bang ... si kecil gendong ke kamar ya, sekarang! Aku hendak salat nih," pintaku.
"Oh-eh, iya-iya," jawabnya gugup.
Aku tertawa sambil menutup mulut, lalu menuju kamar untuk salat Isya. Setengah jam kemudian Bang Beni masuk ke kamar, sambil menggendong si bungsu. Hapenya di letakkan dekat tempat tidur.
"Sudah selesai telfonannya?" tanyaku.
"Hmm, sudah," jawabnya ketus.
"Kenapa kalau aku yang telfonan, selalu di curigai? Padahal telfonan ke sesama teman cewek lo," tanyaku penasaran.
"Mana ada aku curiga," jawabnya lagi.
Hmm ... dasar ucapan mulut, tak sesuai dengan sikapnya padaku. Belakangan ini, ku perhatikan Bang Beni suka sekali menghidupkan lagu melankolis, lewat hapenya. Ia sering duduk sendirian di ruang tamu sampai jauh malam, sambil menghidupkan lagu melo itu. Kelihatan seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Apa ia masuk puber kedua kah? Sejauh ini masih ku pantau, aku tak perlu ribut atau gegabah melihat perubahan sikapnya.
Bang Beni itu tipenya tak bisa lama menyimpan rahasia. Kami selalu rutin berkomunikasi dari hal kecil sampai yang besar. Jadi dengan sendirinya bila ia menyembunyikan sesuatu, pasti akan ketahuan juga. Ia pernah marah besar padaku, saat ku larang ia berteman dengan kawan lamanya.
Menurutku wajar dong di larang, ia sendiri yang bilang, temannya itu kebanyakan brengsek semua. Hanya memanfaatkan uang dan kebaikannya. Aku hanya mengingatkan saja, berteman lah dengan orang yang baik kelakuannya, yang tak merugikan diri kita. Nah, salahku di mana coba. Dasar suami labil, batinku.
Bersambung ....