Bab 9.
Akhirnya Bang Beni menerima ajakan abangnya Rani untuk berlibur bersama mereka. Keluarganya memilih daerah danau yang terkenal di pulau kami ini. Rencananya berangkat habis Magrib dengan mengendarai mobil kantor. Kami ikut menumpang di mobil tersebut. Bang Beni membeli satu dus mi seduh dan minuman gelas satu dus juga. Selebihnya kami membawa bekal makanan masing-masing.
Mulai dari pagi, aku sibuk belanja ke pasar, membeli bahan makanan untuk di masak siang hari nya. Bang Beni minta di masak kan rendang, lalu sambal teri, tempe dan kacang tanah. Masakan ini bisa tahan dua hari, untuk bekal kita di sana, ucapnya tadi pagi sebelum pergi kerja. Meskipun hari libur, ia tetap buka karena sudah ada janji dengan seorang teman, yang akan datang untuk menyervis sepeda motor ke bengkelnya.
Herannya, Bang Beni tumben semangat benar, berlibur dengan keluarga Rani. Mungkin ingin menunjukkan, kalau ia mampu menjawab tantangan mereka. Punya uang juga pergi berlibur, bahkan bisa juga membayar kamar penginapan.
Si kecil Raka dan Nina lah yang paling gembira mendengar kita akan pergi berlibur dan menginap. Maklum lah, anak-anak suka membayangkan asiknya berenang, di kolam renang tempat kami menginap nanti. Sedangkan Sinta tak banyak berbicara, hanya tersenyum melihat tingkah kedua adiknya. Sinta ku suruh mengaduk sesekali rendang yang hampir kering ini, agar tak hangus di dalam kuali.
Sementara menunggu rendang nya masak, aku masuk ke kamar, menyusun baju untuk di bawa nanti. Tak lupa baju berenang untuk kedua si kecil ini. Karena kami itu berlima, terlihat banyak baju yang di bawa. Walau hanya menginap sehari, tetapi harus rapi. Aku tak mau kesannya seperti orang susah. Tak lama terdengar suara Sinta memanggilku.
"Bu, rendang nya sudah harum dan mulai kering nih," ucapnya dari dapur.
"Oh, iya, mati kan saja api kompornya! Ibu lagi nanggung nih nyusun bajunya," jawabku.
"Hmm ... harum! Terdengar suara Bang Beni dari luar, sambil mengucapkan salam.
"Abang sudah pulang, buka bengkel setengah hari ya?" tanyaku.
"Iya, biar bisa istirahat selesai makan siang. Kan kita mau pergi, tubuh harus fit, biar tak terlalu lelah di jalan.
******
Tak terasa hari menjelang sore, Bang Beni di telfon oleh Rani. Ku dengar ia menyebut nama itu ketika mengangkat telfon. Ku perhatikan cara berbicaranya
sengaja di buat selembut dan seramah mungkin. Ia tak sadar ku perhatikan dari tadi. Tanpa sengaja ia menoleh ke belakang, dan kami saling bertatapan. aku melipat tangan ke depan dada, ku lihat Bang Beni salah tingkah, lalu cepat mengakhiri pembicaraannya.
"Ada apa menelfon," tanyaku ketus.
"Eh, anu. Rani nanya, kita bawa apa aja," jelasnya.
"Terus abang bilang apa ke dia?"
"Aku jelaskan lah apa yang kita bawa dan yang kamu masak," jawabnya dengan wajah santai.
"Mereka hanya bawa baju ganti dan keperluan menginap saja. Makannya beli di jalan dan pesan di resto tempat menginap nanti."
"Hmm ... biasa lah yang banyak duit itu," ucapku sambil berlalu menuju dapur.
Aku bereskan semua peralatan dapur, hingga bersih. Masakan untuk makan malam dan bekal untuk di bawa, sudah ku sisihkan. Sedangkan baju untuk di bawa sudah beres semuanya. Tinggal berangkat saja selepas Magrib. Hape dan power bank pun, tak lupa di cas, agar bisa berkomunikasi dengan lancar.
Untungnya Bang Beni membelikan hape yang lumayan bermerek untukku. Pokoknya tak malu-maluin lah, kalau di lihat keluarga Rani nanti.
Saat menyusun baju ke dalam tas, terlihat Sinta masuk ke dalam kamarku. Lalu bertanya sambil berbisik di telinga ini. Sepertinya takut kedengaran ayahnya.
"Bu, tante Rani itu bekas pacar ayah, ya?" tanyanya pelan.
"Hmm ... teman lamanya. Emangnya kenapa?" selidikku. Aku tau tentang kisah lama mereka. Tapi tak mungkin ku ceritakan yang sebenarnya ke Sinta.
"Kelihatannya seperti pacaran gitu, Bu. Beda aja cara berbicara ayah, kalau dengan tante itu,"
"Kamu tau sesuatu kah?" tanyaku lagi.
"Tadi dengar Ayah sedang telfonan, dengan suara pelan, terus nyebut nama tante itu," jelasnya ragu-ragu.
Hmm ... aku tertegun dengan penjelasannya. Si sulung ini sudah remaja, sedikit banyaknya mulai faham. Sudah bisa menilai mana yang tulus atau pura-pura baik pada keluarga kami. Aku sudah berniat di hati, untuk menyelidiki. Meskipun si Rani itu sudah punya pasangan, tapi tidak menutup kemungkinan, kalau mereka berhubungan lagi di belakangku.
Menjelang Magrib, gegas ku ajak anak-anak untuk salat berjamaah. Setelahnya langsung makan malam. Karena kami akan di jemput oleh mobil kantor abangnya Rani. Karena mobil kantor itu biasa di gunakan untuk membawa karyawan, jadi kapasitasnya muat untuk membawa kami yang dua keluarga ini.
******
Tepat pukul setengah delapan malam,
tinnn ... tiinn ... terdengar suara klakson mobil di luar halaman. Ku singkapkan gorden jendela, nah itu mereka datang menjemput. Gegas aku keluar kamar, sambil membawa tas besar yang isinya baju dan bekal makanan. Setelah memasukkan semua barang ke bagasi, kami pun naik. Bang Beni kebagian nyetir mobil duluan, bergantian nanti dengan abangnya Rani.
Ku lihat Rani ibunya duduk di bangku bagian tengah, lalu ku sapa mereka, sambil menyalami ibunya. Ternyata ayahnya tak ikut, karena kebagian jaga rumah, dan sedikit ada kerjaan, jelas ibunya saat ku tanya. Lalu aku dan anak-anak naik dan duduk di bangku bagian belakang, yang penting nyaman dan tak sempit, pikirku. Kadang aku suka pusing dan mual kalau duduk berhimpitan. Maklum lah jarang bepergian menggunakan mobil karena belum punya. Hee ... heeee
Raka dan Nina mulai mengantuk, lalu ku rebahkan mereka di samping ku. Nina rebahan di sebelah kakaknya. Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya terdengar suara abangnya Rani yang sedang berbicara. Tak terasa mata ini pun mulai mengantuk. Efek kelelahan, sejak pagi hingga sore belum ada istirahat di rumah. Tiba-tiba si kecil Nina terbatuk-batuk, aku membuka mata, yang baru saja terlena karena ngantuk berat.
"Kenapa Nak?" tanyaku.
"Minum Bu!" sahutnya.
Tercium asap rokok di sekitar tempat kami duduk. Ibunya Rani menoleh ke arah ku lalu mengomel ke Rani.
"Kamu ini, tak usah merokok bisa gak sih! Lagian ada anak kecil, tak baik kalau menghirup asapnya," ucap ibunya sambil bersungut-sungut.
"Hmm ... ngantuk dan suntuk, Ma!" sahutnya santai.
"Kalau ngantuk ya tidur! Lagian mana ada sih, perempuan merokok," omel ibunya.
Terlihat Bang Beni dan abangnya menoleh ke arah aku dan Rani. Tak lama ia pun membuang puntung rokoknya, lewat jendela mobil. Sedang kan adik lelakinya asik memainkan hape sambil sesekali melirik ke arah ibu dan kakaknya. Oh iya, abangnya Rani juga membawa serta istri dan seorang anak anak balita. Duduknya tepat di depanku. Ia tak banyak berbicara. Mungkin malas ikut campur. Aku pun kembali memejamkan mata.
******
Entah sudah berapa lama aku tertidur, anak-anak pun tak ada yang rewel. Ku buka mata dan memandangi sekeliling. Ternyata kami sudah masuk kawasan wisata danau yang di tuju. Mobil pun berhenti di pinggiran danau. Gegas ku bangunkan anak-anak. Siapa tau ada yang mau ke toilet untuk buang air. Karena sejak tadi aku sudah kebelet nih. Hee ... heee.
Bang Beni mendekati ku dan menggendong si kecil Nina. Aku titip Raka juga, karena aku dan Sinta mau mencari toilet. Bang Beni mengekor di belakangku.
"Abang mau ke toilet juga ya," tanyaku.
"Iya, ya sudah, sama-sama aja kita cari," jawabnya.
"Capek ya?" tanyanya lagi.
"Hmm ... namanya jalan-jalan, biasalah capek dikit," jawabku.
Derrt ... derrt ...
Tiba-tiba hape Bang Beni bergetar. Ia merogoh saku celana lalu melihat hapenya. Kemudian melirik ke arahku.
"Siapa? Rani?" tanyaku.
"I-iiyaa, iya," jawabnya.
"Angkat! Spekerkan suaranya, aku ingin tau, mau bicara apa dia," bisikku sambil menatap tajam ke arahnya.
Aku heran deh, ia pergi dengan keluarganya, kenapa suamiku terus yang di hubunginya.
Bersambung ....