Chereads / The wound in my heart / Chapter 23 - Diagnosa Dokter

Chapter 23 - Diagnosa Dokter

Bab 23.

Aku baru ingat kejadian tiga tahun yang lalu. Saat kakaknya Bang Ben datang ke rumahku sambil menangis, menunjukkan bukti sesuatu kepadaku.

"Ini punya siapa, Kak?" tanyaku.

"Gak tau, kakak tak konsumsi obat itu," jawabnya.

"Terus kakak temui di mana?"

"Di saku celana, suamiku."

"Ada yang ku curigai," jawab kakak ipar.

"Masak sih, kamu gak tau, Nay? Dia gak ada curhat ke kamu, gitu?"

"Emangnya siapa yang kakak curigai," tanyaku penasaran.

"Adikku sendiri!"

"Hahh ... yang benar aja, Kak?"

"Setau aku, adik itu sudah punya kekasih, apa ia bermain api di belakang pasangannya." protesku.

"Ini masih kecurigaanku saja, karena belakangan ini terlihat perubahan di diri suamiku."

"Oke lah, nanti aku coba chat dengan adik kakak, siapa tau aku dapat petunjuk. Sekarang kakak tenang dulu ya, agar bisa memikirkan langkah apa yang akan di lakukan selanjutnya." Saranku. Kak Eli pun pulang dengan membawa hati yang luka.

Selang berapa lama, yang di curigai pun datang bertamu ke rumahku. Kali ini giliran adik ipar yang curhat ke aku. Ia sedang bermasalah dengan kekasihnya. Awalnya ia ragu bercerita padaku, tapi tak sanggup menyimpannya sendiri. Dengan mata yang menghangat ia mulai bercerita. Bahwa kekasihnya itu adalah suami orang.

Pantaslah selama dua tahun menjalin hubungan istimewa, belum pernah sekali pun di bawa berkenalan dengan keluarganya. Alasannya masih mencari waktu yang tepat, belum saatnya lah dan banyak lagi alasan lainnya.

"Kalau sudah tau seperti itu, lebih baik mundur, gak usah di lanjutkan lagi hubungan kalian," saranku.

"Tapi Kak ... ," ia menggantung ucapannya.

"Tapi apa? Kamu hamil?" tebakku.

"Enggak kok!" jawabnya pelan.

"Terus kenapa, nunggu di labrak istri orang dulu?" cecarku sambil menyipitkan mata.

"Ta-tapi ... aku sudah tak perawan lagi, Kak," jelasnya sambil nangis tersedu-sedu.

"Aku mohon, rahasiakan semua ini, ya Kak! Jangan sampai keluargaku tau," pintanya.

"Terus bagaimana hubungan kalian sekarang?" tanyaku.

"Begitu aku tau status dirinya, ia pergi meninggalkan aku tanpa bicara apapun. Syukurnya tak sampai hamil," ucapnya lirih.

"Terus sekarang apa kegiatan kamu di rumah," pancingku, mengingat cerita Kak Eli semalam. Ia terdiam mendengar pertanyaanku, sambil menerawang menatap luar jendela.

********

Waktu itu Bang Sanif masih bekerja di kantor yang beda dengan sekarang. Kak Eli masih berjualan di pasar, menjelang Magrib baru pulang ke rumah. Bang Sanif sering pulang kerja siang hari. Alasannya lagi tak ada kerjaan di kantor. Dan adik iparnya sendiri menjaga rumah. Dua anak mereka yang besar sudah berumah tangga sedangkan dua lagi sedang pergi kuliah.

Aku pancing adik iparku ini, dengan menceritakan keadaan rumah tangga Kak Eli. Ia tampak gugup sekali, wajahnya berubah pucat pasi. Sepertinya ia sudah bisa membaca arah ceritaku. Sambil memegang kedua tanganku, ia berjanji tak mengulangi lagi perbuatannya. Ia mengaku salah, sudah berhubungan terlalu jauh dengan Bang Sanif.

Setelah di paksa mengaku oleh Kak Eli, akhirnya adik iparku di bawa pulang ke kampung. Begitu smpai di sana ia langsung di nikahkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Syukurnya lelaki itu bisa menerima keadaan adik ipar dengan lapang dada.

"Hey, Nay ... di ajak bicara, kok malah melamun sih?" protes Bang Ben.

"Eh-oh-maaf Bang! Kamu sih, membuat aku ingat lagi tentang kejadian itu."

"Kalian itu jadi lelaki sama saja, godaan terbesarnya adalah seorang wanita. Gampang kasihan, suka memberi perhatian lebih. Akhirnya terjebak dengan permainan sendiri," tuduhku.

"Sudah lah, Nay! Jangan ingatkan lagi, aku malu, kan sudah minta maaf juga."

"Hmm ... minta maaf sama Allah," jawabku ketus.

"Sudah lah, aku ingin istirahat," ucapku sambil berbaring di ranjang. Sangking lelahnya aku langsung tertidur. 

Efek sangat nyenyak , begitu tersentak, terasa puas sekali tidurku. Sayup-sayup terdengar suara azan di Masjid. Ku lirik di samping tempat tidur, Bang Ben sudah tak ada. Lalu aku keluar menuju dapur untuk minum dan duduk di kursi meja makan. Ternyata Bang Ben sedang di kamar mandi. Tumben ia bangun pagi sekali. Tak lama ia keluar sambil meringis memegang perutnya. 

"Kenapa, Bang?"

"Perutku melilit, sepertinya asam lambung ini kumat," jelasnya.

"Ya-sudah, selesai salat Subuh, aku buatin teh hangat dan sarapan."

"Yuk, kita salat Subuh berjamaah!"

"Sebentar, aku berwuduk dulu!"

********

Aku tertegun sejenak, tak biasanya Bang Ben bersikap seperti ini. Tetapi patut di syukuri, mulai ada perubahan ke arah yang lebih baik. Karena manusia tempatnya berbuat salah dan dosa. Aku tak pantas menghakiminya terlalu jauh.

Selesai salat Subuh, perut Bang Ben melilit lagi, kali ini ia menahan sakit sampai mengeluarkan keringat dingin. Segera ku buatkan sarapan dan teh hangat. Karena sudah terisi angin dahulu di dalam perut, menelan air minum pun menjadi sulit. Untungnya sarapan aku buatkan bubur ayam, jadi tak susah mengunyah makanannya.

"Tak biasanya kamu, punya asam lambung begini? Biasanya paling sering sakit kepala atau sakit gigi aja," tanyaku.

"Hmm ... kemarin waktu kamu pergi ninggalin aku, makan ku tak teratur. Tak sempat sarapan, karena kalau malam sulit tidur. Jadi bangunnya kesiangan. Sekalinya makan pun, tak selera pula," alasannya.

"Duhhh ... semakin perih," ucap Bang Ben sambil meringis.

"Ya-sudah, ku antar ke klinik yuk! Biar di periksa. Biar cepat di obati," ajakku.

"Aku takut di suntik!"

"Dari pada menahan sakit, sampai keringat dingin begitu, mau pilih yang mana," ucapku tegas.

"Setau aku kalau di suntik, penyakit akan cepat sembuh, dari pada hanya minum obat saja."

"Aku pilih minum obat saja lah."

"Iya, tapi harus di periksa dulu, nanti baru tau sakit apa di perut kamu."

Hendak berobat saja, harus berdebat dahulu. Ia paling susah dan takut di bawa periksa. Biasalah takut dengan jarum suntik. Alasan kebanyakan orang selalu seperti itu. Setelah berganti pakaian, kami pun segera pergi ke klinik terdekat.

******

Sesampainya di klinik, aku mengambil nomor antrian. Sepertinya pagi ini ada beberapa pasien yang mengantri. Bang Ben duduk di kursi tunggu, dengan keringat yang membasahi dahinya. Wajahnya terlihat cemas, ku dekati dia dan duduk di sampingnya.

"Kamu takut di suntik, ya?" tanyaku.

"Iya," jawabnya singkat.

"Hanya minum obat saja, bisa juga kok. Gak harus di suntik." Ku genggam tangannya yang dingin.

Setelah menunggu setengah jam lebih, akhirnya nomor antrian Bang Ben di panggil untuk masuk. Ia berjalan merunduk, sambil terus meringis memegang perutnya. Aku ikut masuk ke ruang periksa, lalu menyebutkan apa saja keluhan yang di rasakan Bang Ben. Lalu dokter memeriksa tensi darahnya. Alhamdulillah hasilnya normal, hanya berat badannya yang turun beberapa kilo. 

Kemudian dokter menyuruh Bang Ben berbaring di brangkar. Perut sebelah kanannya di tekan sedikit, refleks Bang Ben langsung menjerit. Keringat terus membasahi dahi dan tubuhnya. Lalu kaki sebelah kanannya di suruh angkat, Bang Ben semakin kesakitan. Dokter pun mendiagnosa kalau Bang Ben terkena gejala usus buntu. Kami pun saling berpandangan. Dokter pun menyarankan untuk rujuk ke rumah sakit besar. Hari ini hanya di kasi obat untuk mengurangi nyeri dan sakit lambungnya.

Bersambung ....