Setelah percakapan pagi itu, Edwin berhasil menjalani kegiatan akademinya seperti biasa. Dia tertidur lelap di kursinya.
Untuk menambah waktu yang terbuang saat pembicaraan tadi, dia memutuskan tidur lebih lama sampai menghabiskan separuh dari waktu istirahat makan siangnya.
Ketika istirahat makan siang, Julian memimpin kampanye untuk Edwin. Hal itu membuat siswa dikelasnya bertanya-tanya mengapa dia mau melakukannya.
Kebanyakan dari mereka berpikir Julian dipaksa melakukannya. Tapi sebagian siswa di kelas yang mampu berpikir kritis dapat memahami alasan dia ikut membantu Edwin.
Julian adalah sosok karismatik, jelas hasil kampanye berjalan dengan baik. Siswa mulai memandang bahwa akan menarik untuk ikut mendukung pihak Julian.
Mereka dari awal percaya kalau Aila yang akan memenangkan pemilihan perwakilan kelas. Tapi dengan kehadiran Julian di kubu lawannya, siswa di kelas berpikir ulang untuk menentukan siapa yang akan mereka pilih.
Mayoritas siswa di kelas 1-C tidak peduli siapa yang akan jadi perwakilan kelas. Jika tanpa kehadiran Julian, mereka pasti akan memilih Aila. Tapi dengan keberadaan Julian dan upaya kampanyenya yang tidak biasa, Edwin mulai dilihat sebagai kandidat yang layak dipertimbangkan.
Hanya dengan sedikit gerakan dari Julian dan kehadirannya dalam kelompok itu, suasana di kelas berubah antusias pada pemilihan, sekaligus menandakan bahwa para siswa telah berpihak untuk memilih Edwin.
Tentu saja hal itu merupakan sebuah hasil yang baik untuk Julian.
Sementara itu, Aila melihat perubahan di kelasnya dengan kedua matanya sendiri. Suasana di kelasnya sangat cepat berubah.
Dia merasa iri pada Julian yang bisa mendapat simpati dari teman sekelasnya semudah itu.
"Ada apa Aila?"
Bella memiringkan kepalanya dengan bingung melihat pandangan Aila terpaku ke depan kelas.
"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa bahwa semua orang menjadi bersemangat, aku jadi sedikit terbawa suasana."
Clara yang ikut mengamati diam-diam menaruh simpati penuh pada Aila.
"Tenang saja Aila. Aku tetap akan mendukungmu. Apa kau juga mau melakukan seperti mereka? Aku akan membantu menjadi pembicaranya. Kau juga akan membantu kan, Bella?"
"Ya, aku tidak keberatan. Lagi pula dari awal aku sudah menentukan pilihanku dan itu tidak akan berubah."
"Terima kasih, Clara, Bella. Tapi aku masih belum memutuskan akan melakukannya atau tidak."
"Aku mengerti. Jika sudah diputuskan tinggal bilang saja. Aku senang membantumu, Aila. Mari kita kalahkan Edwin! Aku sedikit tidak enak karena dia orang baik yang memberikan kue secara gratis, tapi aku tetap mendukungmu Aila."
"Kamu mengatakan itu, meski kamu hampir menghabiskan semua kue itu." Aila memberinya senyuman yang lemah lembut.
"Ehehe ...."
Bella memperhatikan pertukaran mereka dengan geli, kemudian melirik pada kursi di sisi terjauh darinya.
Jika dia tidak melihatnya dengan teliti maka dia tidak bisa merasakan kehadiran samar-samar dari lelaki yang tengah merebahkan tubuhnya di kursinya.
Kemudian, ketika dia melihat wajah tidurnya, Bella tersenyum dengan penuh arti. Dalam pandangannya, Edwin masih tertidur dan belum bangun sejak pagi.
Bella sedikit mendengar pembicaraan para laki-laki tadi pagi yang terkesan sedikit kurang bisa diterima oleh para gadis, tapi baginya tema percakapan itu sedikit lucu, baru kali ini dia menguping pembicaraan para remaja laki-laki seusianya. Dia juga sempat mencatat beberapa hal dari pembicaraan itu.
Aila melihat wajah Bella sedikit teralihkan, ada Edwin di batas penglihatannya ketika dia mengikuti pandangan Bella.
Hari ini Aila sesekali melirik Edwin ketika kelas berlangsung, dan dia masih dalam postur tubuh yang sama sejak pagi. Melihat Edwin seperti itu membuatnya jengkel.
Bagi orang yang selalu bekerja keras seperti Aila, Edwin yang malas adalah tipikal manusia yang tidak disukainya. Hanya dengan melihat orang malas seperti dia dapat membuat Aila marah tanpa alasan.
"Bella bukankah kau bilang ingin bertemu dengan seseorang? Aku mau ke ruang klub mengambil barangku yang ketinggalan. Apa kau mau keluar bersama?"
Suara Clara membuyarkan fokus Aila dan Bella.
"Ah, benar. Terima kasih sudah mengingatkanku Clara. Kalu begitu kita bisa berjalan bersama sampai ke depan ruang klubmu. Aku berjanji bertemu teman-temanku di taman akademi. Maaf ya, Aila. Hari ini kami tidak bisa makan siang bersamamu."
"Maaf Aila, setelah ke ruang klub aku diminta membawa barang ke ruang guru."
Hari ini adalah jadwal Clara untuk piket, dia diminta guru yang mengajar sebelum istirahat makan siang untuk membantu membawa beberapa barang ke mejanya yang berada di ruang guru.
"Tenang saja, aku bisa makan sendiri hari ini. Aku harus berterima kasih pada Clara karena sekarang aku bisa makan siang tanpa diganggu oleh laki-laki dari kelas lain yang biasanya datang."
"Ehehe, senang bisa membantu. Kalau mereka mengganggumu lagi, kamu bisa melaporkannya kepadaku. Akan kubuat mereka menyesal mendekatimu."
"Kalau begitu kami pergi, Aila. Sampai nanti."
"Sampai nanti, Aila."
"Ya."
Begitu Bella dan Clara menghilang dari kelas, Aila mengambil kotak makan siang dari tasnya.
Aila memulai makan siangnya. Itu adalah bekal makan siang yang dia buat sendiri.
Aila tinggal sendiri di asrama dekat Akademi Einerst, lokasi asramanya hanya berjarak sedikit lebih jauh dari minimarket tempat dia bertemu Edwin.
Sebenarnya dia cukup kesepian harus makan siang sendiri. Biasanya dia selalu makan siang bersama Bella dan Clara, hanya saja hari ini mereka berhalangan hadir.
Bella membuat janji dengan temannya dari kelas lain, sehingga dia sebelumnya mengatakan tidak bisa ikut makan siang bersama. Dan Clara tiba-tiba harus membantu guru karena tugas piketnya.
Aila berpikir untuk mengajak teman sekelasnya yang lain untuk makan siang bersama, tapi dia mengurungkan niatnya.
Dia merasa gugup mengajak mereka lebih dulu. Belum lagi ada jarak dari status sosial yang memisahkan mereka. Para gadis pasti akan menerima ajakan Aila untuk makan siang bersama karena bagi mereka sangat tidak sopan jika menolaknya.
Meski begitu, ketika mereka sudah berkumpul dalam satu meja tetap akan ada jarak di antara mereka. Walaupun dia meminta gadis lain di kelasnya untuk memperlakukannya secara biasa, mereka pasti tidak akan mendengarkannya, dan malah akan berakhir dalam suasana canggung. Jika demikian, dia hanya akan mengganggu waktu makan siang mereka.
Jadi dengan perasaan kecewa, dia mengambil kesimpulan untuk makan siang sendiri hari ini.
Setelah makan siangnya selesai, Aila yang bosan hanya diam di kursinya.
Aila menghela napas dengan tatapan kosongnya mengarah ke depan kelas. Dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menghabiskan waktu istirahatnya.
Dia tidak punya keinginan untuk membaca buku atau mengulas pelajaran. Karena jika dia melakukannya hanya akan mengundang perhatian orang lain.
Aila adalah tipe gadis yang sebisa mungkin berusaha menyembunyikan bahwa dia sedang bekerja keras. Dia punya alasan untuk itu. Aila tidak ingin menarik perhatian, selain itu dia juga malu jika orang lain melihat dia sedang bekerja keras.
Menurutnya, sebuah usaha seharusnya tidak ditunjukkan pada orang lain karena bisa membuat kepribadian seseorang berubah menjadi sombong. Lagi pula dia tahu bahwa orang lain tidak akan peduli pada kerja kerasnya, mereka hanya peduli pada hasil yang dia dapatkan.
Membicarakan tentang kerja keras, dia teringat pada laki-laki tanpa aura kehadiran itu, yang kesannya sangat jauh dari kata kerja keras.
Aila membalikkan badannya melihat jauh ke belakang kelas.
Sejak pertemuannya di minimarket, entah bagaimana, meski aura kehadiran lelaki itu tidak bisa dirasakan tapi Aila selalu bisa melihatnya, padahal sebelumnya dia tidak pernah menyadari kehadirannya.
"Aku iri karena dia tidak pernah disadari. Jadi, ternyata, dia selalu ada di belakang kelas selama ini."
Meskipun tidak mengacuhkan sekitarnya, lelaki itu selalu diabaikan orang lain. Aila tidak bisa berbohong kalau sebagian hatinya menginginkan berada di posisi laki-laki itu.
Saat ini, bahkan tanpa memedulikan apapun, orang yang dilihatnya sedang tidur dengan nyenyak.
"Anak yang aneh. Dia tidur dengan posisi yang sama sejak pagi. Apa tubuhnya tidak merasa pegal, dia belum bergerak sejak awal aku melihatnya."
Aila terus memperhatikannya. Dia mengira mungkin sebentar lagi orang itu akan bangun. Jadi dia bermaksud mengamatinya sebentar, lagi pula dia tidak memiliki kegiatan yang harus dilakukan saat ini.
Hanya saja, setelah lima menit berlalu, tidak ada tanda-tanda subjek yang dia amati akan bergerak. Lelaki itu masih tidur dengan damai. Di sisi lain, Aila malah yang merasa lelah setelah terus-menerus melihatnya.
"Sebenarnya untuk apa dia pergi ke akademi jika yang dia lakukan hanya tidur."
Aila mengerutkan keningnya. Dia kembali diam dan mengamati, tapi setelah sepuluh menit tetap tidak ada yang terjadi. Dia kesal karena merasa sudah membuang waktunya untuk sesuatu yang tidak berguna.
Awalnya dia percaya bahwa setidaknya lelaki itu akan membuat sedikit gerakan, jadi dia sekaligus kecewa karena hipotesisnya tidak sesuai dengan kenyataan, lelaki itu tidak bergerak sama sekali.
Aila merasa bahwa dia melakukan sesuatu yang sia-sia dengan mengamati seseorang yang tertidur. Aila menampilkan wajah geram seperti seseorang baru saja kalah bertaruh padahal sebelumnya dia yakin akan menang.
Dia kesal karena membayangkan dirinya tidak berbeda dari orang mesum yang tempo hari dia lihat sedang ditangkap oleh petugas Keamanan Kota di sebuah hypermarket karena memandangi manekin dari toko busana untuk waktu yang lama.
Melihatnya tidur dengan nyaman membuat hasrat ingin mengganggunya muncul. Dipenuhi perasaan sebal dalam benaknya, Aila berjalan ke belakang kelas dengan niat membangunkan lelaki itu.
Aila berdiri di sisi Edwin, menghadap ke arahnya.
Jika itu dirinya yang biasanya, dia akan ragu-ragu menyapa orang lain yang belum lama dikenalnya. Tapi karena Aila sudah dibuat jengkel secara tidak langsung, dia hanya bisa berpikir untuk membangunkannya sebagai caranya melampiaskan kekesalan.
***