Pernahkah kalian mendapatkan kebahagiaan yang bukan berasal dari keluarga?
Sebuah kebahagiaan yang kita temukan ketika berada di dunia luar. Mungkin terkadang kita sulit menemukan kebahagiaan itu. Namun jika kita sudah merasakannya maka akan begitu terasa di kehidupan nyata.
Sama hal nya dengan, Rawnie. Entah bagaimana dan kapan ia bertemu dengan anak-anak ini ia telah lupa. Yang jelas caranya tidaklah rumit. Meskipun memiliki banyak harta serta teman dia tidak pernah menemukan kebahagiaannya ketika bersama mereka. Dalam kehidupan kita memang harus melihat kebelakang sebentar untuk memahami kehidupan yang sesungguhnya. Melihat sebentar mereka yang memiliki nasib kurang baik dengan apa yang kita miliki. Berbagi tidak akan membuat kita menjadi miskin. Namun, sejatinya masih banyak orang yang sulit untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk yang memang benar-benar membutuhkan.
Merengkuh, memeluk, dan menikmati tawa bersama mereka membuat Rawnie sadar akan indahnya kebersamaan. Ia menjadikan memory di setiap waktunya bersama mereka. Setidaknya mereka sudah seperti keluarganya, saling menyayangi satu sama lain. Melindungi serta memberi ketentraman, Rawnie mendapatkan semuanya dari sini.
"Kak Rawnie, tolong bantu aku mengerjakan tugas sekolahku." Cilla menghampiri Rawnie dengan membawa buku tulis ditangannya.
Rawniw meminta Cilla untuk duduk disebelahnya. "Coba kakak liat dulu soalnya."
Perkalian ialah hal yang mudah untuk orang dewasa tetapi mungkin akan sedikit sulit untuk anak usia delapan tahun itu.
"Perkalian itu penjumlahan berulang. Misalnya seperti ini, dua dikali dua itu sama seperti Cilla punya dua kue lalu kakak memberi Cilla dua potong kue juga. Jadi sekarang Cilla punya berapa kue?"
Anak itu menopang dagunya sambil berfikir. "Empat."
"Anak pintar," puji Rawnie mengacak pelan rambut legam milik Cilla.
"Sekarang kakak mau tes Cilla. Kalau dua dikali dua itu empat terus kalau dua dikali empat itu berapa coba?"
Cilla merentangkan jarinya untuk mempermudah dirinya dalam berhitung.
"Delapan!" jawabnya bersemangat.
"Nah, bagus. Sekarang Cilla sudah paham kan?" Cilla pun mengangguk lalu kembali mengerjakan tugasnya lagi.
Rawnie tidak tahu jika sejak awal ada seseorang yang memperhatikan dirinya. Orang itu tidak lain adalah Ansel. Dia baru tahu jika seorang Rawnie yang ia kenal dengan sikapnya yang kejam, sombong, dan suka merendahkan ternyata bisa menjadi wanita yang sabar dan terlihat lebih dewasa ketika bersama anak-anak di panti asuhan itu.
Setelah beberapa saat mereka selesai mengerjakan tugas sekolahnya kali ini Rawnie akan mengajak mereka untuk bermain bersama.
"Ansel, sini!" panggil Rawnie menyuruh pria yang sedang duduk dibelakang itu agar ikut serta dalam permainannya.
Ansel menurut dan berjalan ke depan.
"Jadi anak-anak hari ini kita akan bermain induk ayam dan musang. Kalian pernah dengar permainan ini kan?"
"Pernah, kak!"
"Permainannya itu kan nanti induk ayam bakalan ngejaga anaknya dari musang kan kak?" tebak Varel.
Rawnie mengangguk. "Benar sekali. Lalu jika anak ayam itu berhasil ditangkap oleh musang maka dia akan ikut bersama musang nya. Kalian paham?"
"Paham." Rawnie mengacungkan jempol.
"Ansel kau akan menjadi musuhku dipermainan kali ini," ucap Rawnie.
"Siapa takut," tantang Ansel dengan senyum yang menyeringai.
"Oke, ayo kita suit untuk menentukan siapa yang menjadi musang dan menjadi induk ayam."
Rawnie dan Ansel melakukan suit. Suit pertama mereka sama kemudian di suit kedua Rawnie lah yang memenangkan dan ia berhak untuk menjadi induk ayam.
"Kau kalah denganku," ejek Rawnie.
Ansel mengangkat salah satu alisnya. "Tunggu saja aku akan merebut anak-anakmu."
"Lakukanlah jika kau bisa."
Mereka sekarang sudah berbaris lurus dibelakang Rawnie. Saling memegang erat pinggang satu sama lain agar tidak terlepas.
"Satu, dua, tiga, mulai!"
Rawnie merentangkan kedua tangannya untuk melindungi anak-anak. Sedangkan Ansel memulai bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mencari celah agar ia bisa mencuri salah satu anak yang berada di belakang Rawnie.
"Kau tidak akan bisa melakukannya!"
"Ayo teman-teman, semangat!" teriak Varel menyemangati mereka.
"Hap! Kau kena, Varel." Baru saja dia menyemangati teman-temannya justru dia sendiri yang menjadi korban.
Varel beralih di belakang Ansel dan memegang erat pinggang lelaki itu. Permainan masih berlanjut.
"Kau siap Varel?" tanya Ansel memastikan.
Varel mengangguk penuh semangat. "Siap kak!"
Permainan kemudian kembali dimulai, terlihat lebih sengit daripada sebelumnya. Rawnie lebih berhati-hati agar Ansel tidak bisa mengambil anak-anaknya kembali.
Ketika keduanya sama-sama saling fokus dengan permainan tersebut. Diluar dugaan Rawnie beberapa anak-anak dibelakangnya sengaja mendorong dia ke depan membuat dirinya jatuh ke dalam dekapan Ansel. Tangan mereka saling menggenggam, hembusan nafas yang memburu ditambah detak jantung yang berdebar kencang membuat Rawnie terlena dalam pelukan itu.
"Ansel maaf aku tidak sengaja." Rawnie yang sudah tersadar segera membenarkan posisinya.
"Kalian ini benar-benar usil ya.." ucap Rawnie sambil berkacak pinggang seraya memasang wajah marah.
"Teman-teman induk ayam kita telah marah, ayo kita kabur!" seru Cilla membuat anak-anak itu pergi berlari dan diikuti oleh Ansel dan Rawnie yang mengejar mereka.
Tidak terasa waktu sudah mulai sore. Rawnie sedang membereskan ruangan yang sedikit berantakan karena ia gunakan saat bermain dengan anak-anak tadi.
"Aww!" Rawnie meringis ketika Ansel menempelkan minuman dingin di pipinya.
"Minumlah kau terlihat sangat letih."
Gadis itu menerima dengan kasar botol dari tangan Ansel. "Thanks."
Ansel hanya membalasnya dengan senyuman.
"Rawnie, sudah tidak perlu kau bereskan. Biar ibu dan anak-anak nanti yang akan membereskan nya."
Seorang wanita berkepala tiga itu menghampiri dirinya. Bu Sarah, seorang pengurus panti di sana.
"Tidak usah ibu, lagipula sebentar lagi selesai, Bu."
"Ibu bagaimana kabarnya? sehat kan, Bu?" tanya Rawnie mengkhawatirkan kesehatan wanita itu.
Bu Sarah mendekati Rawnie ia mengelus pucuk kepala gadis itu. "Baik, Nak. Bagaimana denganmu sehat? Karier mu lancar kan?"
Rawnie mengangguk mereka sudah sangat dekat seperti apa yang Ansel liat sekarang. Bu Sarah sudah menganggap Rawnie seperti anak nya sendiri begitu juga sebaliknya. Ia sangat menyayangi Bu Sarah yang sering menjadi tempatnya bercerita sebagai pengganti ibunya yang telah tiada.
"Oiya, Rawnie lupa untuk mengenalkan ibu dengan Ansel."
"Ansel ini Bu Sarah salah satu pengurus di panti ini."
Ansel menyalaminya seraya memperkenalkan diri.
"Kau pacarnya Rawnie?"
Rawnie menggeleng cepat. "Bukan ibu dia teman Rawnie."
"Kalian sedang tidak berbohong kan?" tanya Bu Sarah meledek.
"Tidak, Bu. Kami memang berteman," jawab Ansel.
Bu Sarah mengangguk paham. "Iya, kau tahu nak Rawnie baru kali ini membawa temannya ke panti. Biasanya dia selalu datang sendiri ke sini."
Rawnie menjadi malu sekarang. Bu Sarah membuat dirinya bingung untuk berbicara. Tapi kenyataannya memang seperti itu jadi tidak mungkin dia mengelak.
"Itu karena saya yang minta untuk ikut dengannya," jelas Ansel kepada wanita itu.
Karena Rawnie telah selesai membereskan ruangan itu. Sekarang waktunya ia untuk kembali ke mansion sebelum malam datang. Mereka berpamitan satu persatu dengan anak-anak di sana.
"Kakak Rawnie nanti kalau ada waktu luang main kesini lagi yah, Cilla kangen kakak setiap hari."
Rawnie yang mendengarnya menjadi terharu ia memeluk tubuh mungil gadis itu. "Kakak janji bakalan balik lagi ke sini dan main bareng kalian semua."
Setelah selesai berpamitan mereka berdua masuk kedalam mobil. Diluar mobil anak-anak mengantarkan dirinya sebelum benar-benar pergi dari tempat itu.
"Sampai jumpa lagi semuanya," kata Ansel mengatakan kalimat penghujung.
"Sampai jumpa kakak, terimakasih untuk hari ini." Varel melambaikan tangannya dan dibalas oleh Ansel serta Rawnie.
Mobil yang dikendarainya mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Rawnie selalu saja merasa tidak rela jika harus berpisah seperti ini. Ia merasa sedih. Andai bisa ingin rasanya ia berkunjung setiap hari ke tempat itu.