Malam ini hujan deras mengguyur bumi. Kedatangan mereka di sebuah bar bertuliskan 'Star Night' seolah disambut oleh dinginnya angin malam. Suara dentuman musik yang menggema di dalam ruangan masih sempat terdengar di luar meski suara hujan tak kalah kerasnya. Sebelum beranjak masuk, Rawnie mengambil topeng yang biasa ia kenakan. Dia memang selalu menyamarkan diri ketika hendak pergi ke bar nya sendiri.
Mungkin karena telah pasrah, Ansel seolah membiarkan begitu saja dirinya untuk masuk ke dalam bar. Sedikit mengherankan Rawnie tapi saat itu juga dia merasa senang karena tidak perlu repot-repot untuk mengancam pria keras kepala itu.
Ternyata apa yang ada didalam pikiran Rawnie memanglah kenyataan. Saat Rawnie membawa Ansel masuk, seketika semua pandangan tertuju pada pria tersebut. Rawnie tidak heran karena memang Ansel memiliki ketampanan yang begitu memikat, ditambah lagi pakaian yang ia kenakan sekarang. Kalung rantai yang bergelantungan itu terlihat begitu keren dipakai olehnya.
Ansel sendiri merasa risih saat dirinya terus menjadi pusat perhatian. Dia tidak suka dengan hal yang seperti ini.
"Hi pria tampan ... apa kau adalah anggota rent boy yang baru?" tanya salah seorang wanita seraya menghampiri dirinya.
Ansel hanya melirik manik mata wanita di depannya. Dia melenggang begitu saja tanpa membalas ucapannya.
"Pria yang sombong, tapi sangat menawan!" puji salah satu teman wanita itu.
Gadis berambut pendek yang sedang meminum secangkir beer itu ikut berbicara. "Lily yang bertubuh indah serta cantik saja dia lewati, bagaimana dengan aku yang seperti ini." Sepertinya dia kecewa dengan keadaannya sendiri.
"Jangan berkecil hati, siapa tau pria itu memiliki tipe tersendiri," tanggap temannya.
"Maybe, tapi aku tidak akan pernah bisa menyewanya. Lihat saja nanti, aku yakin pemilik bar ini akan menyewanya dengan harga yang sangat tinggi. Ini kesempatan dia untuk memeras uang para pengunjungnya."
Wanita berambut pendek itu meneguk habis cangkir minum miliknya sambil melihat pemandangan tubuh Ansel. Jika tidak bisa menyewanya setidaknya masih bisa menikmati ketampanan pria itu dengan sepasang matanya.
"Kenapa kau mengikuti ku?" tanya Rawnie.
"Memangnya apa yang harus aku lakukan?" tanya balik Ansel.
"Apa harus aku ingatkan kembali tugasmu malam ini? Pergilah bergabung dengan mereka kemudian rayulah para wanita di sana." Tunjuk Rawnie pada jejeran pria yang akan disewakan.
"Aku tidak mau melakukannya."
Rawnie mendelik tajam. "Setelah menghabiskan banyak uang serta waktuku sekarang kau masih berani untuk melawanku?"
"Untuk terakhir kali, tolong beri aku kesempatan lain. Jangan jadikan aku pelacur, kau boleh menjadikanku pembantu di mansion mu atau menjadi supir pribadimu. Aku tidak masalah jika kau tidak membayarnya daripada aku harus bekerja seperti ini." Ansel sudah menurunkan egonya begitu rendah. Ini adalah pertama kalinya dia bersikap merendah diri kepada orang lain.
"Jika kau bisa diuangkan kenapa tidak."
"Bitch" Ansel mengumpati nya.
"Bawa dia sekarang!" suruh Rawnie.
Dua orang pelayan menarik paksa tangan Ansel, namun dengan cepat ia menepisnya. "Aku bisa melakukannya sendiri."
Ansel berjalan santai menuju jejeran para lelaki yang disewa. Belum ada satu menit ia berdiri di sana beberapa wanita berdatangan menghampiri dirinya secara bersamaan.
Ansel melihat wanita yang pertama mendekatinya tadi kini sedang berjalan ke arahnya. "Hai, siapa namamu? Bolehkah kita berkenalan?" Lagi dan lagi wanita itu diacuhkan olehnya.
Wanita itu menghela nafasnya dengan sabar kemudian beralih bertanya kepada salah satu bar tender. "Apakah dia disewakan? Aku ingin menyewanya untuk malam ini juga."
"Tunggu sebentar aku akan menanyakan pada bos," kata bar tender yang berada di stand penjualan minum keras itu.
Selepas kepergian bar tender tersebut, Ansel hanya menatap sudut bar guna menghindari tatapan penuh nafsu yang ditunjukkan oleh para wanita di sekitarnya. Tidak terlalu lama kemudian Rawnie muncul dihadapannya. Dia segera mengambil sikap duduk pada kursi untuk memulai penawaran.
"Pelayanku bilang bahwa dirimu ingin menyewanya malam ini?"
Lily mengangguk mantap. "Ya, apakah sudah bisa?"
"Tentu. Tapi sebelum itu aku yakin wanita lain di belakangmu juga memiliki keinginan yang sama denganmu, yaitu menyewa dirinya," ucap Rawnie menghadap ke arah Ansel yang sejak tadi hanya terdiam.
"Jika begini aku tidak bisa menentukan harga sendiri. Bagaimana jika kalian mengajukan penawaran? Yang paling tinggi akan kuberi pria itu kepadanya."
Dalam hatinya Ansel mengumpat banyak-banyak. Dirinya seolah menjadi barang lelang yang ditawarkan dengan sebuah harga yang tinggi. Menyebalkan.
"Kau berani sewa dengan harga berapa?" tanya Rawnie.
"200 dolar?" tanya Lily meminta kesepakatan.
Rawnie menggeleng, nilai itu sangatlah rendah. "Bagaimana jika 600 dolar?" tanya salah satu wanita lainnya.
"Tidak! Itu masih terlalu murah," tolak Rawnie santai.
Setelah menghabiskan banyak waktu untuk merundingkan harga sewa akhirnya Rawnie bisa memutuskan pada salah satu penawar tertinggi. "1000 dolar penawaran yang paling tinggi."
Lily tersenyum senang. Akhirnya dialah yang berhasil menawarkan dengan harga yang tinggi.
Ansel hanya bisa pasrah saat Lily menggandeng dirinya berjalan menuju kursi bar paling pojok. Wanita itu bergelanyut manja pada lengan tangannya. Beberapakali Ansel mencoba untuk menjauhkan tubuhnya, namun tetap saja Lily berhasil mengunci tangannya begitu erat.
Diawal dia disuguhi dengan Vodka oleh Lily. Ansel hanya mencicip sedikit, dia sedang tidak memiliki mood untuk menikmati minuman beralkohol itu.
"Honey, kau tidak tertarik dengan body mulus milikku ini?" tanya Lily dengan suara yang sedikit serak. Sepertinya dia sudah mulai mabuk pada saat itu.
"Tidak usah memasang wajah seperti itu. Kau tahu dirimu sangat memuakkan!"
"Ansel kau adalah kekasihku sekarang. Jadi bisakah kita berjoget bersama di sana?" Lily sudah mabuk berat, dia bahkan tidak mengindahkan apa yang Ansel katakan.
"Aku tidak mau!"
"Sayang, ayolah hmmh...." Ansel tidak salah dengar, wanita di sebelahnya baru saja mendesah.
"Oke, aku turuti," putus Ansel. Lebih baik dia mendengar suara musik DJ yang begitu menggema daripada mendengar desahan wanita itu.
Meskipun dalam keadaan mabuk Lily masih bisa berjoget ria walaupun keseimbangan tubuhnya tidak bisa sesuai. Ansel hanya diam mematung memandangi para manusia yang sedang menikmati kebahagiaan sesaat ini. Pria itu merasa tubuhnya sudah dipeluk oleh seseorang, dia ingin menghindar tetapi tidak bisa. Awalnya Ansel membiarkan Lily bergelanyut manja pada dada bidangnya, namun beberapa detik kemudian tangan nakalnya mulai memegang pahanya kemudian semakin naik ke atas dan....
Brughh!
Tanpa aba-aba Ansel mendorong wanita itu hingga tersungkur di lantai. Karena tekanan yang kuat, Lily merasakan sakit pada pinggangnya. Ia meringis hampir menangis di tengah kesadarannya. Seketika suasana bar menjadi memanas.
"Kau! Mengapa kau melukai pelanggan ku?" seru Rawnie yang tiba-tiba datang dan mendorong keras bahu Ansel.
"Tolong bawa dia dan segera obati lukanya!" suruh Rawnie pada bar tendernya, dia sangat panik saat itu.
Karena keadaan yang tidak kondusif akhirnya Rawnie memutuskan untuk membubarkan bar nya malam ini.
"Lihat! Lihat kekacauan ini!" sungut Rawnie. Matanya merah padam penuh rasa marah.
Ansel tidak tinggal diam, dia rasa dirinya pantas untuk membela diri. "Kenapa? Kau ingin marah denganku? Lakukan saja!"
"Ya! Aku sangat marah denganmu dan bahkan aku ingin membunuh dirimu saat ini juga."
"IKAT DIA SEKARANG!" Rawnie benar-benar berteriak saat memerintahkannya.
Tamatlah sudah nasib Ansel hari ini.