Chapter 2 - #1

Raut wajah tak bersalah yang nampak satu jam setelah perkuliahan dimulai itu muncul di ambang pintu kelas. Sepatu converse yang ia gunakan bahkan tidak terikat dengan benar, membuatnya hampir terjungkal ketika dosennya menyuruhnya masuk—memberi dispensasi untuk hari pertama kelasnya dimulai.

Pandangannya menggeledah seisi kelas—mencari kawanannya. Sepasang mata sipit yang berada dibalik kaca mata oval itu terhenti pada bagian sayap kiri kelas yang merangsang kakinya untuk melangkah masuk dan mulai melirik kursi. Sayangnya deretan paling belakang yang berisi kawanannya itu sudah terisi penuh.

Tak mau lebih lama menerima tatapan tajam dari sang penguasa kelas saat itu, ia pun langsung duduk di kursi kosong yang ada di depan deret teman-temannya untuk bersiap menerima pelajaran—yang sudah berjalan satu jam lamanya.

Merasa ada pergerakan di samping kirinya, gadis dengan rambut lurus sebahu itu merasa gagal untuk menghalangi laki-laki itu duduk di sana. Pasalnya, ia adalah penghuni pertama kursi itu yang menerima sambutan semester baru. Ada paku yang agak menyembul keluar yang menjadi penyebab kemeja kotak-kotaknya menampilkan senyum yang lebar.

'Kok anak-anak semester 4 pada nongkrong di sini? Emangnya matkul ini sesusah itu yah?' lamunan gadis empunya hidung mancung mungil itu buyar karena ketidak tentraman penghuni baru kursi durjana itu.

Belum habis mengalihkan perhatian seisi kelas dengan keterlambatannya, kini ia sibuk dengan kacamatanya.

Melepasnya, memakainya.

Melepasnya lagi, memakainya lagi.

Sepertinya ada yang salah dengan kaca matanya.

"Permisi?" sahut laki-laki itu.

Merasa kata itu tertuju padanya, gadis itu mengarahkan wajahnya untuk memastikan.

"Punya tisu gak?" laki-laki itu berbisik ke sebelah kanan dengan tatapan mengarah ke satu titik di bagian wajah gadis itu—tahi lalat kecil di ujung bawah mata kiri—sukses membuat matanya menatap dengan ekspresi 'wah-dia-punya-tanda-lahir-di-wajah'. Lalu dengan raut wajah yang seakan paham dengan arah tatapan laki-laki itu, gadis itu mulai menggerakkan tangannya ke dalam tas untuk mencari benda yang dimaksud, tanpa menghiraukan tatapan yang diterimannya (karena sudah terbiasa). Tanda lahirnya itu selalu jadi sasaran tatapan orang karena bisa dibilang hal itu membuatnya terlihat... manis.

'Harus banget di gue yah' jadi kalimat yang muncul dipikirannya setelah mendengar ucapan, "Makasih."

Laki-laki itu mengusap keringat yang membuatnya tak nyaman dengan kacamatanya sambil menengok kebelakang untuk mencari info materi kuliah saat itu. Tak ingin menghiraukannya lebih lama, perempuan itu memilih untuk kembali fokus pada pena dan selembar kertas yang sedari tadi diurusnya.

"Permisi?" sahut laki-laki itu—lagi.

Mendengar suara yang sama dengan kata yang sama membuat aktivitas penanya terhenti dan kembali menghadapkan wajahnya pada sumber suara.

'Kayaknya gak seangkatan. Akrab sama yang di belakang. Kating juga berarti'

"Ya kak?"

"Katanya udah dikasih materi? Di-share kemana yah? Temen-temen gue juga gak nyimak. Sorry," tanya laki-laki itu diakhiri dengan kekehan kecil yang memperlihatkan deretan gigi yang rapi dengan hiasan gigi kelincinya itu, diiringi kegaduhan kawanannya yang heboh dengan panggilan 'kak' yang dilontarkan oleh gadis berwajah tirus itu kepada teman mereka. Seakan – akan kata itu terlalu terhormat untuknya.

"Oh, ada kak, di grup WA kelas," jawabnya canggung.

"Waduh, angkatan gue telat masuk grup kayaknya. Materinya gak ada." Lagi-lagi kekehan kecilnya menghiasi ujung kalimat.

Gadis itu menatapnya seolah berkata 'niat-kuliah-gak-sih' dan malah kebingungan harus berkata apa sebelum ia akhirnya memberikan tawaran.

"Mau dikirim aja kak?" seketika ia mengutuki dirinya, 'Ah bego! Berarti harus minta nomernya dong. Ntar dikira modus, arggh'

"Oh.. ah.. hm.. iya boleh." Laki – laki itu terlihat menimbang-nimbang sebelum akhirnya menerima tawaran itu, membuat bisikan-bisikan di belakangnya makin heboh.

Gadis itu langsung memutar otaknya yang berada dibalik dahi yang cukup lebar itu, untuk menghindari adegan yang tidak diinginkannya. Jempolnya mulai menuju menu informasi grup dan mulai scroll ke bagian anggota grup. 'Yang mana sih nomernya, namanya gak muncul' pikirnya sebal.

"Nomernya yang mana yah kak?" tanya gadis itu sambil memperlihatkan layar ponselnya.

Setelah jari laki-laki itu menunjuk nomer yang dimaksud, tak lama kemudian terlihat ia mengecek notifikasi masuk di ponselnya, lalu mengucapkan "Makasih"—untuk kedua kalinya pada orang yang sama dalam waktu kurang dari setengah jam.

'Namanya Hosea... pfftt... uzmki? maksudnya uzumaki hah?' gadis itu tetap tenang dan hanya mengulum senyum, walau dalam hati ia tertawa geli saat membaca nama profil WA laki-laki itu.

'Ahh letteringnya.. Kok tangan gue malah gemeteran sih. Sebel. Malah kayak logo monster ini'

"Ketua kelas, kesini sebentar," pinta Ibu Violet—dosen yang mengajar saat itu.

"Ada apa, Bu?"

"QR Code untuk absen hari ini sudah siap. Tolong awasi dulu yah, Ibu mau ke toilet."

"Baik, Bu."

"Oh yah, nama kamu siapa tadi?" tanya Ibu Violet.

"Noely, NIM 30, Bu."

"Ah, baik. Mohon bantuannya yah Noely," kata Ibu Violet sebelum beranjak dari posisinya dan menyampaikan kepada mahasiswanya untuk absen, baru setelah itu ia keluar.

Berharap mendapatkan situasi pengabsenan yang tenang, malah kericuhan yang terjadi karena semua berebut ingin lebih dulu ke depan laptop dan me-scan QR Code yang terpampang dilayar laptop sebagai tanda kehadiran mereka di kelas Ibu Violet.

"Amel," panggil Noely pada seorang perempuan berambut hitam lurus setengah punggung bak model iklan sampo. "Tadi kenapa gak duduk di samping gue aja sih?" keluh Noely.

"Lo mau jadiin gue tumbal juga? Liat tuh kemeja lo." Gadis berkulit cokelat eksotis itu menahan tawa sambil menunjuk ke arah sobekan yang menganga besar di kemeja temannya itu.

"Duh masih kelihatan yah?" gerutu Noely sambil memasukkan bagian baju hasil tumbal pada sebuah paku.

**

Sengatan mentari dijam kritis—pas untuk menikmati tidur siang—terhalau oleh sejuknya AC yang terpasang tepat beberapa meter di atas meja mereka. Berbagai ornament lettering bersebaran rapi pada sisi-sisi dinding ruangan itu membuatnya terlihat aesthetic dengan perpaduan warna-warna pastel yang nyaman dipandang. Jendela yang besar membuat terang siang hari masuk menjadi pencahayaan alami. Lantunan musik karya Mozart yang saat ini memperdengarkan Symphony No.40 in G Minor, seakan cafe ini dikhususkan untuk orang-orang yang ingin belajar dengan tenang.

Ya, TENANG yang sebenarnya sudah musnah sedari tadi. Bahkan musik klasik itu seakan tidak dinyalakan karena tersamarkan oleh suara indah yang patut dibungkam ini.

Noely memijat pelipisnya. Memandangi layar laptop yang menampilkan rangkaian kata pada microsoft word membuatnya makin kesal karena harus menghadapi kericuhan di depannya saat ini.

Sesekali ia berpikir, bagaimana bisa Ibu Violet menempatkan dua mahasiswa semester 4 ini di kelompoknya. Mengingat peristiwa di awal semester yang membuatnya malu harus menghadapi kating-kating menyebalkan itu. Kalau saja bukan karena kemampuan mereka yang tidak bisa di remehkan, mungkin Noely bisa depresi menghadapi sepanjang semester dengan kelompoknya ini.

Noely jadi teringat, kejadian dua minggu setelah kelas pertama Ibu Violet. Ketika pertemuan pertama kelompoknya mengerjakan tugas, dia berkali-kali melupakan nama anggotanya walau sudah pernah perkenalan di hari pertama—kecuali Kamelia yang sudah dikenalnya sejak semester satu.

"Presentasi UTS masih 2 minggu lagi, tapi tugas kita udah kelar. Uhh senangnya," ujar Kamelia menampakkan rasa senangnya yang tak terkira. "Untung kita gak pisah kelompok yah. Bu Violet emang pengertian deh," lanjutnya sambil menatap Noely dengan tatapan berbinar.

"Gue lega dapet kelompok isinya otak encer semua," kata Cessya—gadis yang dianggap 'wah' oleh Noely karena polesan di wajah dan gayanya yang sangat modis—sambil tertawa.

"Cece juga banyak bantu kok. Lihat PPT kita interaktif banget, nyaman dilihat juga," puji Noely sembari menyeruput cappucino yang tersisa setengah gelas itu.

Ujaran saling memuji dari ketiga perempuan itu tak mengusik keseruan dua orang laki-laki yang duduk berjejer di samping kanan Cessya. Yang satu mulai memeragakan kucing dengan kedua tangan di angkat dan melengkungkan jari-jarinya. Dan yang satu mulai menata rambut berponinya jadi terbelah di tengah. Cessya kembali dengan ponselnya, mengabadikan momen itu sambil tertawa terbahak-bahak.

"Untung otaknya bisa dipake yah, mana kelompok ini berlaku sepanjang semester lagi," bisik Kamelia ke arah Noely sambil menatap heran kedua orang yang rusuh dari tadi.

"He'e." Noely tak mau ambil banyak pusing dengan tingkah laku mereka. 'Yang penting tugas udah kelar. Beban berkurang satu. Terserah mereka mau ngapain'

Ia sesekali tersenyum atau bahkan tertawa geli melihat kekonyolan yang mereka perbuat. Kata orang, Noely Itu pendiam tapi otaknya tidak bisa diam alias pinter. Benar saja, dia memang jarang mengeluarkan rangkaian kata yang menurutnya tak perlu, tapi dia orang yang rajin kalau urusan berbincang atau berdebat dengan dirinya sendiri.

**

"Bombom tungguin gue woy." Bunyi nafas terengah-engah terdengar dari arah gerbang selatan kampus itu, sedang menuju gedung jurusan teknik. Melihat ada yang sedang memperhatikan mereka, ia langsung menegapkan badan dan mengatur nafasnya.

"Ah, kebetulan." pandangan dosen cantik itu tertuju pada dua orang lelaki yang berada tak jauh darinya. Ia pun langsung berjalan menuju ke arah mereka. "Rochwan! Ambil ini punya kelompok kalian. Tugas kalian sudah bagus. Saya harap presentasi kelompok kalian juga memuaskan," katanya sambil tersenyum, memberi kesan ramah pada mahasiswanya itu. Ibu Violet memang dikenal sebagai dosen yang ramah dan murah senyum. Bahkan para mahasiswa ada saja yang memberinya julukan 'Ibu Senyum'.

Setumpuk kertas dengan bagian cover yang terdapat tulisan nama para pemilik tugas itu—Noely Asseif

Kamelia

Cessya Wensen

Hosea Matheos

Rochwan Winata

—diserahkan kepada sang empunya.

"Makasih banyak, Bu. Tapi..," ucap Rochwan, "nama saya gak disebut pake huruf 'c', Bu. Bunyinya antara 's' sama 'c'," sambungnya. "Rochwan, Bu. Ro-ch-wan." Kata Rochwan dengan penuh penekanan mencontohkan penyebutan namanya.

"Aduh kamu ini. Nanti Ibu latihan dulu deh," kata Ibu Violet sambil mulai beranjak, "Ibu pergi dulu."

"Makasih, Bu." Raut wajah yang tadinya lelah sehabis mengejar Rochwan kini berubah jadi senang seperti orang yang baru saja memenangkan sebuah lotre.

"Lega..," kata Hosea. "Untung udah di-acc."

"Hey Bro! Kelas bentar lagi mulai. Buruan!" seru Rochwan sambil berlari meninggalkan Hosea yang masih menatap laporan tugas yang ada di tangannya.

Tersadar ini bukan waktunya untuk mengagumi betapa cekatan kelompoknya itu, Hosea pun segera mengejar Rochwan. Di ambang pintu masuk gedung, terasa ada tangan yang menutup kedua telinganya dan berkata, "Pesawat."

Mendengar kata itu, Hosea langsung menimpa tangan di telinganya dengan kedua tangannya sendiri, untuk semakin menghalangi pendengarannya sambil menutup matanya rapat-rapat.

"Ngagetin aja lo," kata Hosea setelah telinganya bebas.

"Uoo, dosen killer udah mo lewat tuh. Buruan! Ntar keduluan dosennya."

Hosea langsung menyusul setelah ditinggal temannya—lagi. "Tungguin gue Misya."