Orang yang sedang dihadapi Agha sekarang adalah Krisna Sanjaya, pemilik Sagara Group. Perlu digarisbawahi, Sagara Pustaka hanyalah bagian kecil dari perusahaan besar yang telah berusia 30 tahun tersebut.
Penerbitan tempat Agha bekerja cuma satu dari tiga usaha yang dijalankan PT Sagara Jaya Utama. Dua lainnya adalah Sagara Printing dan Toko Buku Sagara yang punya puluhan cabang di seluruh Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, jabatan Chief Executive Officer (CEO) dipegang Brata Sanjaya yang merupakan adik kandung Krisna.
Selain Sagara Jaya Utama, Sagara Group juga punya PT Sagara Sinema. Usianya jauh lebih muda ketimbangan perusahaan pertama, tapi progresnya sudah cukup mengejutkan publik.
Sagara Sinema mengelola usaha rumah produksi film serta agensi selebritas. Perusahaan ini sudah sekitar tiga tahun dipercayakan kepada anak sulung Brata Sanjaya dan telah menghasilkan banyak karya berkualitas serta panen penghargaan bergengsi selama kurun waktu bersebut.
Jadi, bisa dibayangkan bagaimana perasaan Agha sekarang? Duduk berdua di ruangan yang sama dengan Krisna pada hari pertamanya bertugas sebagai pemimpin redaksi, membuat Agha merasa sangat kecil dan rendah diri.
"Sangat disayangkan jika buku-buku berkualitas karya penulis terbaik kita hanya dibaca sedikit orang. Selain menjaga kualitas, kuantitas juga tidak kalah penting, kan?"
Agha tahu betul, itu bukan sekedar pertanyaan yang jawabannya iya atau tidak. Walau menggunakan tanda tanya, kalimat sang bos sebenarnya bernada perintah.
"Tentu saja, Pak. Kualitas dan kuantitas adalah dua hal yang sebisa mungkin saling menopang," jawab Agha yang kemudian tersenyum simpul untuk menyembunyikan kegugupannya.
"Sebisa mungkin? Harus," tegas Krisna.
Agha meneguk ludahnya. Gugup setengah mati. Astaga! Jika bisa, dia ingin kembali jadi editor biasa saja agar tidak perlu sering-sering bicara empat mata dengan petinggi perusahaan seperti ini.
Menyadari kegugupan Agha, Krisna mengubah ekspresi seriusnya menjadi lebih cerah dengan senyuman hangat.
"Maaf, Pak Agha. Apa saya barusan bersikap terlalu menakutkan?" ujar Krisna yang kemudian tertawa ringan.
Lagi-lagi Agha hanya sanggup tersenyum kaku menanggapi orang nomor satu di Sagara Group itu. Ingin ikut tertawa, tapi takut dianggap tidak sopan.
"Maaf, Pak. Saya sepertinya hanya belum terbiasa mengobrol seperti ini dengan Pak Krisna," ungkap Agha jujur.
Pengakuan itu membuat Krisna kembali tertawa. "Ternyata saya memang membuat Pak Agha tidak nyaman. Hahaha...."
Perkataan Krisna membuat Agha panik. "Bukan seperti itu maksud saya, Pak. Saya hanya...."
"Inilah kenapa sudah saatnya perusahaan hanya ditangani anak muda," potong Krisna. "Saya yakin akan ada lebih banyak inovasi cemerlang jika Pak Agha didukung pimpinan yang juga masih muda. Iya, kan?"
Agha tidak mau menyela. Walau sang bos kemudian tampak diam beberapa detik, dia tahu Krisna belum selesai berbicara.
"Brata sudah terlalu tua untuk bekerja dengan anak-anak muda seperti Pak Agha. Waktunya CEO muda bertahta...."
***
"Jelas-jelas kita minta ditraktir bebek peking, malah diajakin ke warung bebek kremes. Parah banget, sumpah. Padahal udah naik jabatan jadi makin berkuasa di kantor, punya usaha kafe bareng kesayangan juga. Eh, temennya cuma ditraktir kremesan," nyinyir Alin sambil memandangi buku menu yang ada di tangannya.
Alin bertekad memilih menu paling mahal, baik makanan maupun minuman. Kalau perlu, sebelum pulang nanti, dia bakal pesan menu tambahan untuk dibawa pulang juga.
"Pilih yang paling mahal, Lin. Aku pesennya sama kayak kamu aja," ucap Wira yang tampak sibuk dengan ponselnya.
Agha tak mau ambil pusing dengan protes teman-temannya. Masih untung dia tidak membawa mereka ke warung nasi goreng kaki lima yang harga makanannya jauh lebih murah ketimbang bebek kremes.
"Nggak usah aneh-aneh, ya, kalian. Uang makan empat orang di restoran bebek peking pilihannya Alin, tuh, bisa sampai jutaan. Mending duitnya aku tabung buat biaya katering acara pernikahan," kata Agha.
Agha kemudian tersenyum memandang Elvina yang duduk di sampingnya. "Iya, kan, Sayang?"
"Iya, bener banget," sambut Elvina. "Lagian soal kafe, walaupun belakangan semakin rame, kalian pikir baru buka tiga bulan udah pasti balik modal?"
"Belum, kan, Sayang?" tanya Elvina kepada Agha dengan suara bernada manja.
"Belum, tapi hampir. Tenang aja, Sayang."
Interaksi manis Agha dan Elvina membuat Alin dan Wira sama-sama menunjukkan ekspresi jijik, terlebih saat pasangan hanya saling memandang dengan tatapan memuja.
"Jadi, gimana cara kalian menahan diri untuk nggak menggunakan panggilan sok romantis itu selama dua tahun belakangan?" tanya Alin yang heran sekaligus penasaran.
Bahkan sebelum ketahuan menjalin asmara gara-gara kecerobohan mereka di kantor pagi tadi, Agha dan Elvina selama ini memang terkenal sebagai pasangan mesra yang bersikeras mengaku tak lebih dari teman.
Tak usah heran lagi kalau melihat Agha dengan entengnya tiba-tiba merangkul atau mengelus kepala Elvina di depan semua orang. Padahal jika itu orang lain, termasuk Wira sekalipun, Elvina akan menunjukkan ekspresi tidak suka.
Agha juga tidak pernah keberatan jika Elvina tiba-tiba duduk di sampingnya, lalu bersandar di bahunya. Coba saja Alin yang begitu, pasti Agha bakal segera mendorong 'kembaran' Elvina tersebut agar jauh-jauh darinya.
Namun, semesra apa pun mereka, keduanya hampir tidak pernah keceplosan menggunakan panggilan sayang. Itulah kenapa Alin dan Wira sekarang merasa sangat janggal mendengar Agha dan Elvina terus-menerus saling memanggil sayang.
"Sebenernya beberapa kali si Agha pernah keceplosan, sih. Kita aja yang bodohnya kebangetan, terus bisa-bisanya tetep percaya kalau itu cuma bercanda atau gimik doang," kata Wira.
Sambil terus mengobrolkan hubungan cinta Agha dan Elvina, mereka kemudian menikmati waktu makan malam bersama. Obrolan pun terus mengalir dan terus berkembang ke tema lain.
"Tadi sama Pak Krisna ngobrolin apa aja, Gha? Langsung dapat wejangan seabrek, ya?" tanya Alin setelah selesai mengunyah suapan nasi terakhir di piringnya.
"Mana tadi yang di luar pada heboh sendiri gara-gara mulutnya Alin berulah lagi, kan? Pak Krisna marah, nggak?" sambung Wira.
Agha mendadak memasang wajah serius. "Apa mereka juga sesemangat itu saat diminta mendukung upaya mendongkrak angka penjualan buku?"
"Waduh, itu Pak Krisna yang ngomong kayak begitu?" Wira langsung ingin memastikan.
Agha menganggukkan kepala. "Lain kali, kalau lagi ada Pak Krisna, tolong dikondisikan, dong. Jangan sampai ada ribut-ribut kayak tadi. Tunjukkan kalau redaksi, tuh, isinya orang-orang pekerja keras."
Alin pun segera menimpali, "Pak Krisna belum pernah lihat anak-anak redaksi lembur sampai pagi, ya? Kurang semangat apa coba kita kerjanya? Kita ini levelnya nggak cuma kerja keras, tapi militan."
Mereka berempat lalu tertawa bersama. Lebih tepatnya, menertawakan malangnya nasib mereka sebagai pekerja yang seolah harus selalu siap salah di depan pemilik perusahaan.
"Oh, ya. Tadi Pak Krisna juga komentar soal kamu, Sayang," kata Agha.
"Aku? Memangnya aku kenapa?"
"Pak Krisna katanya masih berharap kamu bisa jadi menantunya...."