"Maya."
"Iya, Pak."
"Lain kali, jangan mengatakan hal seperti itu lagi. Oke?"
"O-oke, Pak. Saya minta maaf."
"Kalau saya melakukan apa yang kamu minta, saya takut Elvina marah."
Di depan semua orang, Agha terang-terangan memandang ke arah meja kekasihnya. Sebuah senyuman yang sebelumnya mendadak sirna pun kembali menghiasi wajahnya.
"Jangan salah paham, ya, Sayang. Itu tadi cuma bercanda, kok," ucap Agha kepada Elvina.
Setelah melemparkan umpan yang rasanya lebih mirip bom molotov bagi Elvina, Agha masuk kembali ke ruangannya. Dia menghilang begitu saja di balik pintu, membiarkan orang-orang kembali heboh serta sepuas hati menyoraki dirinya dan Elvina.
Agha terkekeh sendiri di ruangannya. Dia bisa membayangkan semerah apa wajah Elvina sekarang. Sang kekasih pasti jengkel setengah mati kepadanya, tapi itu bukan sesuatu yang perlu Agha khawatirkan.
Agha malah berpikir, ternyata menyenangkan juga mengumbar kemesraan di depan semua orang. Bukan sekedar pamer, dia memang ingin memperjelas hubungannya dengan Elvina. Semua orang harus benar-benar yakin bahwa mereka adalah pasangan serasi.
Tidak boleh ada satu pun orang yang masih berpikir bahwa mereka hanya partner kerja biasa. Semua orang, tanpa kecuali.
Tentu saja, termasuk CEO baru mereka juga.
***
Siang ini, Gara berpamitan dengan orang-orang yang setahun belakangan bekerja bersamanya. Dia mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf karena sadar dirinya cukup sering membuat orang-orang repot selama dia bertugas sebagai manajer toko.
Atas kemauannya sendiri, setahun yang lalu Gara mulai bekerja sebagai manajer di salah satu cabang Toko Buku Sagara. Dia sengaja memilih salah satu toko yang paling sepi dibanding cabang lainnya.
Mulanya, banyak yang meremehkan dirinya. Bukan semata karena usianya, Gara juga dianggap terlalu minim pengalaman untuk diangkat sebagai manajer toko. Para karyawan yang saat itu sudah pesimistis bakal segera dirumahkan karena toko buku semakin sepi dari hari ke hari, kian kehabisan harapan begitu Gara lah yang diperkenalkan sebagai manajer.
Tidak ada yang tahu bahwa Gara adalah anak sang pemilik perusahaan. Walau begitu, hampir semua orang yakin Gara mendapatkan pekerjaan sebagai manajer toko bukan karena punya kemampuan, melainkan berkat koneksi orang dalam.
Nyatanya, memang benar Gara bisa jadi manajer toko karena peran sang ayah. Meski demikian, bukan berarti dia tidak punya kemampuan. Sejak hari pertama, dia terus mencari cara dan melakukan segala upaya agar perusahaan mengurungkan niat untuk menutup cabang yang dia kelola.
Perlahan tapi pasti, Gara rupanya bisa menggerakkan para karyawan untuk bekerja lebih keras demi meramaikan toko kembali. Gara mencoba memperbaiki banyak hal yang sedikit-banyak memengaruhi tingkat kunjungan dan tentu saja angka penjualan.
Mengapa orang-orang tidak mau datang ke toko buku? Jika sudah datang, mengapa mereka hanya membeli satu barang atau malah tidak sama sekali? Bagaimana caranya supaya banyak orang berdatangan setiap hari? Apa yang bisa dilakukan agar orang-orang itu tertarik membaca hingga akhirnya terdorong untuk membeli buku?
Gara pun mendapatkan kepercayaan dari para karyawan secara bertahap, terlebih setelah toko mereka terbukti semakin tampak ramai. Cabang yang dipimpin Gara kini juga dikenal sebagai salah satu toko dengan pelayanan terbaik berdasarkan hasil survei konsumen.
"Kami sangat berterima kasih kepada Pak Rafa. Berkat Pak Rafa, kami tidak jadi kehilangan pekerjaan. Dengan sistem yang Pak Rafa terapkan, kami bahkan bisa dapat bonus setiap bulan," ungkap seorang karyawan dengan wajah sumrigah.
Orang yang disebut Pak Rafa oleh karyawan tersebut tidak lain tidak bukan adalah Gara. Demi menyembunyikan identitasnya, Gara rupanya tidak hanya merahasiakan latar belakang keluarganya, tapi juga menggunakan nama berbeda.
Gara bukan orang yang suka berbohong, tapi dia tidak mau orang-orang menunjukkan sikap bias hanya karena mereka tahu bahwa dirinya adalah anak pemilik perusahaan. Itulah mengapa dia memilih menyembunyikan identitas aslinya.
"Saya juga sangat berterima kasih karena saya bisa belajar banyak hal di sini," ucap pria berusia 28 tahun itu.
"Sebagai ucapan terima kasih, hari ini mari kita tutup toko lebih cepat. Saya ingin mengajak semua orang makan malam sebagai ungkapan terima kasih sekaligus perpisahan dari saya."
***
"Jangan sengaja memancing kehebohan seperti tadi lagi. Faedahnya apa, sih? Malu banget, sumpah!"
Agha tersenyum mendengar protes Elvina soal kelakuannya beberapa jam yang lalu. Sudah hampir 30 menit keduanya duduk berdua di sebuah kafe seberang gedung kantor dan selama itu juga Elvina terus mengomeli Agha sambil makan siang.
"Kalau malu, kamu bisa kabur ke ruanganku," ujar Agha.
"Dan membiarkan isi kepala mereka semakin traveling ke mana-mana? Nggak. Terima kasih," balas Elvina ketus.
"Maksudnya traveling?"
Kening Agha tampak agak berkerut, tapi hanya sebentar. "Oh, kamu takut mereka menduga kita aneh-aneh di ruanganku gitu, ya?"
"Kamu berlebihan, Sayang. Memangnya, kita mau ngapain, sih? Paling kita cuma duduk bersebelahan di sofa, lalu perlahan semakin dekat karena terbawa suasana, dan akhirnya terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan seperti ber...."
"Stop!" potong Elvina. Dia merasa harus segera menghentikan kekasihnya sebelum kebablasan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan di tempat umum.
"...foto bersama," ucap Agha tetap menyelesaikan kalimatnya meski sempat terjeda.
"Hah?"
"Berfoto bersama. Melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan seperti berfoto bersama. Itu maksudnya, Sayang. Foto bersama, bukan yang lain." jelas Agha. "Jangan bilang kalau kamu malah membayangkan aktivitas menyenangkan lainnya. Hm?"
Agha tertawa melihat ekspresi salah tingkah Elvina. Seperti apa yang diharapkan, menggoda Elvina selalu menjadi sesuatu yang membuat Agha merasa bahagia.
"Aku udah selesai makan. Aku balik ke kantor duluan, ya," kata Elvina yang merasa semakin jengkel dengan Agha.
Tak mau ditinggal sendirian di kafe, Agha buru-buru menahan Elvina saat perempuan itu tampak akan beranjak dari kursinya. Dia meraih jemari tangan kiri Elvina, lalu mengelusnya lembut.
"Jangan buru-buru. Masih ada waktu 20 menit. Ada yang mau aku bicarain sama kamu," tutur Agha.
Elvina diam menatap kekasihnya selama beberapa detik, lalu menghela napas pasrah, mencoba mengendalikan emosinya.
"Mau bicara soal apa, sih?" tanya Elvina. "Kenapa nggak dari tadi sekalian?"
"Tadi, kan, aku harus fokus dengerin omelan kamu," celetuk Agha.
Elvina berdecak kesal. "Ya, udah. Sekarang giliran aku dengerin kamu. Mau ngomong soal apa?"
"Soal..."
Ucapan Agha terdengar menggantung. Pria itu masih bingung harus mulai bicara dari mana.
"Soal kerjaan?" tebak Elvina yang mulai penasaran.
Agha menggelengkan kepala.
"Terus? Soal apa?" tanya Elvina lagi.
Agha tampak menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan, "Soal CEO baru di perusahaan kita."
"Oh, soal CEO baru. Ada apa emangnya? Kamu udah dapat info soal siapa yang bakal menggantikan Pak Brata?"
Semua orang di perusahaan memang sudah tahu kalau mereka akan segera dipimpin seorang CEO baru. Namun, setahu Elvina, belum ada karyawan biasa seperti dirinya yang sudah tahu siapa sosok pengganti Pak Brata, CEO sebelumnya.
"Iya, aku udah tahu. Anaknya Pak Krisna. Namanya Sagara Dwi Sanjaya."