'Dia belum menikah, kan? Saya masih berharap bisa menjadikannya menantu. Semoga belum terlambat....'
Waktu sudah hampir pukul dua pagi saat Agha mulai menyesal karena tidak minum teh kamomil atau semacamnya lebih cepat. Jika dia meneguk minuman itu beberapa jam sebelumnya, mungkin sekarang dirinya sudah tidur nyenyak—atau mungkin juga tetap terancam terjaga sepanjang malam begini. Entahlah.
Siapa yang bisa menjamin Agha bakal berhasil tidur lelap hanya gara-gara minum teh? Rasanya minuman seperti itu tak akan terlalu mempan jika Agha tak bisa menenangkan pikirannya sendiri,
Agha ingin mengabaikan ucapan sang pemilik Sagara Group, tapi gagal total. Ada begitu banyak pertanyaan yang terus berputar di kepalanya hingga mendadak punya masalah insomnia.
Agha terus bertanya-tanya, mengapa Pak Krisna ingin menjadikan Elvina menantu? Apakah itu ada hubungannya dengan anak Pak Krisna yang akan bekerja sebagai CEO? Mungkinkan anak keluarga kaya raya itu adalah mantan kekasih Elvina di masa lalu?
Jika memang sedramatis itu, apa yang harus dilakukan Agha nantinya? Mengapa tiba-tiba Agha takut bakal terpaksa bersaing dengan seseorang dari masa lalu Elvina?
Andai mantan kekasih Elvina benar-benar anak orang nomor satu di Sagara Group, Agha berharap pria itu sudah benar-benar melupakan Elvina. Jangan sampai lelaki itu masih punya perasaan untuk Elvina.
Bagaimana mungkin Agha sanggup melawan orang yang dilihat dari mana pun jelas-jelas lebih baik dirinya? Dia merasa sangat rendah diri.
Dia mencintai Elvina, tapi apa itu cukup?
***
Agha berjalan dengan langkah gontai menuju meja miliknya dulu. Tanpa mengatakan apa pun, dia langsung duduk dan meletakkan kepalanya di atas meja, lalu memejamkan mata.
"Tidur 15 menit seharusnya udah cukup. Tolong, ya...," kata Agha sambil tetap memejamkan matanya.
Elvina menghentikan pekerjaannya sejenak, kemudian tersenyum memandang Agha yang baru saja izin tidur dan minta dibangunkan jika sudah 15 menit berlalu.
"Jadi pemimpin redaksi, tuh, kerjaannya lebih santai, ya? Sampai bisa tidur 15 menit di jam sibuk kayak begini," gumam Alin sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Semalam dia nggak bisa tidur, katanya," kata Elvina yang telah kembali menatap layar komputer di mejanya. "Biarin dia tidur 15 menit, ketimbang nanti tiba-tiba pingsan di ruang rapat."
Agha memang tidak cerita apa pun soal hal yang sangat mengganggu pikirannya hingga berakhir terjaga hampir sepanjang malam. Namun, pria itu sempat mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia baru bisa tidur menjelang subuh.
Semestinya, Agha dan Elvina berangkat ke kantor bersama pagi ini. Mengingat hubungan mereka sudah terbongkar kemarin, mereka ingin melakukan sesuatu yang selama ini cenderung dihindari gara-gara tidak mau membuat orang-orang curiga.
Selama kira-kira sebulan ke depan, sebelum Elvina benar-benar berhenti bekerja di Sagara Pustaka, pasangan ini sebisa mungkin ingin berangkat dan pulang bersama setiap hari.
Agha seharusnya mulai menjemput Elvina hari ini, tapi dia cukup sadar diri. Dia berangkat kerja dalam kondisi sangat mengantuk sehingga tidak mungkin menyetir mobil.
Jadi, dengan berat hati dia meminta Elvina berangkat sendiri naik motor seperti biasanya, sedangkan Agha memutuskan naik taksi. Lumayan, Agha jadi punya tambahan waktu tidur 20 menit selama perjalanan menuju kantor. Tentu saja itu terasa sangat singkat, tapi jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali.
"Aku butuh kopi...."
Agha bersusah payah mengumpulkan energinya untuk membuka kedua matanya, tapi masih enggan mengangkat kepalanya dari meja.
"Lhoh, Pak Agha sudah bangun? Padahal baru 10 menit," ujar Wira.
"Silakan tidur lagi, Pak. Nanti saya bangunkan setelah genap 15 menit," sambung Alin.
Agha tampak menguap lebar sambil meregangkan tubuhnya. "Harus banget pakai sebutan itu, ya? Pak? Aneh banget, sumpah," ucap Agha, sebelum akhirnya kembali menguap.
Sebelum menjadi pemimpin redaksi, orang-orang di kantor biasa memanggil nama Agha begitu saja, tanpa embel-embek apa pun. Walau tak banyak, ada juga yang memanggilnya Mas Agha, biasanya karena memang berusia lebih muda atau merasa belum terlalu terlalu akrab saja.
Tidak ada satu pun orang yang memanggilnya Pak Agha. Namun, sejak kemarin, orang-orang mulai menggunakan panggilan itu dan jujur rasanya kurang nyaman bagi Agha.
"Kami berusaha menghormati teman kami yang sekarang menjabat pemimpin redaksi. Jadi, Pak Agha juga harus membiasakan diri," ucap Wira dengan nada bicara formal.
Agha berdecak kesal. Pikirnya, Wira sungguh menyebalkan. Dia lalu mengalihkan perhatiannya kepada Elvina yang sedang sibuk bekerja.
Ya, saat ini semua orang tampak sibuk bekerja, kecuali Agha.
"Sayang, nanti siang kita makan bareng, ya," kata Agha dengan wajah tanpa dosa.
Wajah Elvina merona seketika. Bagaimana bisa Agha memanggilnya seperti itu ketika mereka masih di kantor?
"Cieee...."
"Ehem, Sayang?"
"Pasangan menuju halal emang beda, ya."
"Suaranya Pak Agha kalau lagi bilang sayang jadi beda, ya. Ada manis-manisnya gitu."
"Lanjutkan sayang-sayangannya. Kami nggak dengar. Kami fokus kerja, kok, Sayang...."
Benar saja, satu kalimat yang diucapkan Agha berhasil mengundang atensi semua orang. Elvina malu bukan makin dan langsung memelototi Agha, tapi sang kekasih malah tersenyum senang.
"Pak Agha, saya juga mau, dong, dipanggil sayang kayak Mbak Elvina," kata seorang staf perempuan yang duduknya lumayan jauh dari Agha.
Senyum Agha tiba-tiba hilang saat mendengar kalimat yang jelas cuma guyonan itu. Dia lalu segera beranjak dari kursi dan berjalan cepat menuju ruangannya kembali.
Sikap Agha yang mendadak dingin sukses menciptakan suasana canggung secara instan di ruang redaksi. Apakah Agha marah? Apakah komentar yang mereka lontarkan terlalu tidak sopan? Bagaimana pun, sekarang Agha adalah seorang pemimpin. Bisa bahaya jika dia marah gara-gara merasa tidak dihormati.
Agha benar-benar tidak mengatakan apa pun sampai dia masuk ke ruangannya. Tidak ada adegan menutup pintu keras-keras, tapi semua orang malah semakin waswas.
"Eh, kan, cuma bercanda...."
"Dia marah, ya...?"
"Waduh, bahaya, nggak, nih?
"Kirain masih bisa bercandaan kayak dulu."
"Orang emang bisa berubah banget, ya, kalau udah jadi bos...."
Beberapa orang mulai berbisik-bisik membicarakan Agha, tapi mereka kembali diam seribu bahasa tak lama kemudian. Penyebabnya, mereka mendengar suara pintu ruangan Agha dibuka.
Agha kini terlihat berdiri di depan pintu sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Detik berikutnya, dia melipat kedua tangannya di depan dada, membuat orang-orang bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Agha selanjutnya? Apakah Agha berniat memarahi mereka semua?
"Maya," panggil Agha.
"Iya, Pak."
Maya adalah staf perempuan yang beberapa saat sebelumnya berseloroh ingin dipanggil sayang juga seperti Elvina. Dia sekarang merasa sangat tegang karena barusan Agha memanggilnya dengan memasang ekspresi yang sama sekali tidak bisa dibilang hangat.
Agha tampak menghela napas, lalu berkata, "Lain kali, jangan mengatakan hal seperti itu lagi. Oke?"
"O-oke, Pak. Saya minta maaf," jawab Maya dengan agak terbata.
"Kalau saya melakukan apa yang kamu minta, saya takut Elvina marah," ucap Agha sambil memandang ke arah kekasihnya.
Senyum yang tadinya mendadak sirna, terbit lagi di wajah Agha. "Jangan salah paham, ya, Sayang. Itu tadi cuma bercanda, kok."
Setelah berkata seperti itu, Agha kembali menghilang di balik pintu, membiarkan orang-orang heboh lagi sambil sepuas hati menyoraki dirinya dan Elvina.
Agha terkekeh sendiri di ruangannya. Ternyata, menyenangkan juga mengumbar kemesraan di depan semua orang.