"Pertama, hubungan yang dirahasiakan itu konon terasa lebih seru dan mendebarkan," kata Elvina menjawab pertanyaan soal mengapa dia dan Agha memilih menyembunyikan hubungan mereka dari orang-orang kantor selama dua tahun terakhir.
"Ternyata emang iya, lho. Seru banget pura-pura cuma sahabatan di depan orang sekantor, padahal aslinya hobi sayang-sayangan di belakang," lanjutnya.
Elvina menutup kalimatnya dengan tersenyum ambigu, membikin Alin seketika memutar bola matanya malas. Bahkan, Wira yang sebelumnya masih berusaha fokus pada pekerjaan, akhirnya merasa terganggu juga.
Alin dan Wira hampir lupa kalau bagaimanapun juga, Elvina adalah editor fiksi dewasa. Tak beda jauh dari Alin, Elvina sebenarnya juga sering mencoba mendalami jalan cerita dan beragam adegan dalam novel-novel yang menjadi tanggung jawabnya.
Elvina bahkan pernah iseng bermain-main dengan aplikasi kencan online selama hampir sebulan gara-gara menangani novel tentang kisah cinta yang dimulai dari perkenalan di dunia maya. Katanya, dia ingin memahami jalan pikiran si penulis, sekaligus mencari plot yang sekiranya butuh disempurnakan.
Oh, jika dipikir-pikir, itu adalah periode di mana Agha paling sering uring-uringan di kantor. Sekarang Alin dan Wira sepenuhnya yakin kalau Agha sangat menderita kala itu.
Walau tidak sampai benar-benar bertemu di dunia nyata, tetap saja Elvina bisa dibilang jadi berhubungan dengan banyak pria yang ditemuinya secara acak via aplikasi kencan online, kan? Kekasih mana yang tidak cemburu jika kelakuan Elvina seperti itu?
"Kayak begini, nih, efeknya kalau kebanyakan baca naskah cerita romansa kantor," gumam Wira.
Wira tidak sembarangan berkomentar. Elvina memang pernah bercerita bahwa dirinya merasa lelah karena terlalu banyak membaca kisah cinta berlatar kehidupan perkantoran.
Jujur saja, dulu Wira cukup penasaran dengan cara Elvina menghayati kisah cinta lokasi dengan teman sekantor, tapi kini semuanya sudah jelas. Elvina akhirnya mengaku bahwa dia menjalin kasih dengan Agha. Keduanya ternyata memang lebih dari sekedar partner kerja.
Walau pelan, Elvina masih bisa mendengar komentar Wira barusan, tapi bersikap masa bodoh. Dia masih punya hal lain yang ingin diungkapkan dan cukup yakin reaksi teman-temannya bakal lebih gereget.
"Kedua, kami pacaran diam-diam karena Agha malas ditagih pajak jadian."
Elvina secara bergantian memandang wajah Alin dan Wira sambil tersenyum. Sesuai dugaan Elvina, dua orang itu jelas tampak tak habis pikir dengan informasi yang baru saja mereka dengar.
Pajak jadian? Istilah yang disebut Elvina sungguh lawas. Biarpun begitu, apa salahnya dengan hal semacam itu? Agha tidak harus membelikan makanan untuk semua orang di kantor, kan? Cukup Alin dan Wira yang kemampuan makannya juga, menurut mereka berdua, sama-sama tidak seberapa.
"Sialan, Agha pelit banget," ucap Wira kesal. Dia refleks memandang sengit ke arah meja sebelahnya yang kini tak bertuan.
Wira kemudian mengalihkan pandangannya ke ruangan pemimpin redaksi, tempat Agha bekerja sekarang. Tidak ada ampun untuk orang yang pelit dengan temannya sendiri.
"Malam ini berarti kita harus makan enak dan mahal. Judulnya jangan pajak jadian, tapi syukuran naik jabatan," tandas Wira.
"Setuju!" sambut Alin mantap.
Reaksi seperti inilah yang diharapkan Elvina. Dia sebenarnya hanya diminta Agha untuk mengajak Alin dan Wira makan bersama selepas jam kerja nanti. Sang kekasih memang ingin mentraktir teman-temannya untuk merayakan promosi jabatan.
Namun, Elvina merasa bakal lebih seru kalau ada sedikit bumbu drama yang menyulut emosi Alin dan Wira. Terkadang, membuat orang jengkel adalah hiburan tersendiri bagi Elvina.
"Di Novellete Coffee aja, ya," usul Elvina. "Pulang kantor langsung ke sana, gimana?"
Wira langsung menggelengkan kepala, sedangkan Alin tampak membikin tanda silang besar dengan kedua tangannya. Mereka tidak setuju dengan usulan Elvina.
"Ngapain kita ke situ? Nanti uang yang dikeluarin Agha masuk lagi ke kantong dia sendiri, dong. Esensi memalaknya jadi nggak terasa," kata Wira.
Novellete Cofffee adalah kafe milik Agha yang pada dasarnya dikelola bersama Elvina. Meski curiga bukan main, sebelumnya Wira dan Alin terpaksa percaya bahwa itu hanyalah bisnis dua sahabat. Siapa sangka, ternyata usaha tersebut merupakan salah satu upaya menambah modal berumah tangga.
"Pilih restoran mahal yang tempatnya instagenik, Lin! Mari kuras dompet tebalnya si pelit Agha."
Hanya butuh tiga detik bagi Alin untuk mendapatkan tempat makan yang dia inginkan. "Bebek peking kayaknya enak, nih. Kita ke restoran punyanya sugar mommy kamu aja, yuk!"
Tawa Elvina langsung pecah. Membuat ketiganya menjadi perhatian orang-orang di ruang redaksi. Sebenarnya, sejak tadi mereka semua diam-diam menyimak obrolan tiga sahabat ini. Pasalnya, mereka juga ingin tahu lebih banyak soal hubungan Elvina dan Agha.
Walau sambil menguping, orang-orang masih tetap berusaha fokus dengan pekerjaan masing-masing. Namun, konsentrasi mereka tampaknya seketika buyar berjamaah gara-gara celetukan Alin.
"Sugar mommy-nya Wira sebenernya yang mana, sih?" tanya seorang editor yang duduk lumayan jauh dari Wira dan kawan-kawan.
Pria berkaca mata itu tidak hanya bertanya dengan suara keras, tapi juga berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Artinya, dia menuntut jawaban jujur dari Wira.
Situasinya jadi sangat canggung, tapi tentu saja hanya Wira yang merasakannya. Alin cuma mempersembahkan senyum tanpa dosa saat Wira memeloti dirinya, Elvina masih terus tertawa walau sudah tidak sekeras sebelumnya.
Hanya Wira yang merasa terpojok. Pria itu pun menghela napas pasrah, lalu mengatakan, "Rahasia. Tolong hargai privasi kami. Hubungan kami bukan untuk konsumsi publik."
***
Agha sedang mengobrol serius dengan orang paling penting di perusahaan saat dia mendengar keributan dari ruang redaksi. Orang-orang terdengar sangat semangat bersorak dan tepuk tangan, seolah mereka adalah suporter klub bola yang berhasil mencetak gol kemenangan.
Ruangan Agha memang bisa dibilang menyatu dengan tim redaksi. Dia bahkan hanya perlu berdiri di depan pintu ruangannya jika ingin mengamati kinerja semua orang—setidaknya itulah kebiasaan pemimpin redaksi sebelumnya.
"Apa mereka juga sesemangat itu saat diminta mendukung upaya mendongkrak angka penjualan buku?" tanya pria tua yang duduk di hadapan Agha sejak 30 menit yang lalu.
Pertanyaan bernada sindiran itu membuat Agha tersenyum kikuk. Bisnis penerbitan buku memang semakin tidak baik-baik saja dalam 10 tahun terakhir. Bukannya meningkat, daya beli masyarakat malah menunjukkan tren yang terus menurun.
Di bidang ini, Sagara Pustaka sebenarnya merupakan salah satu raksasa penerbit yang masih sangat disegani. Mereka dipercaya banyak penulis laris dan terkenal bisa melahirkan setidaknya satu penulis populer setiap tahun. Banyak film dan drama sukses yang diadaptasi dari novel-novel terbitan mereka.
Walau begitu, bukan berarti Sagara Pustaka benar-benar aman dari ancaman senja kala bisnis penerbitan buku. Segala upaya harus dilakukan agar mereka tetap ada di puncak piramida.
"Sangat disayangkan jika buku-buku berkualitas karya penulis terbaik kita hanya dibaca sedikit orang. Selain menjaga kualitas, kuantitas juga tidak kalah penting, kan?"
"Tentu saja, Pak. Kualitas dan kuantitas adalah dua hal yang sebisa mungkin saling menopang," jawab Agha yang kemudian tersenyum simpul untuk menyembunyikan kegugupannya.
"Sebisa mungkin? Harus."