"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Eljovan.
"Ehm, sepertinya tidak ada. Tapi, kalau mau sekadar minum teh, Pak dokter bisa masuk," sahut Aletha, bibir manisnya menyunggingkan senyum lebar.
"Boleh saja."
"Mari," ajak Aletha.
Eljovan mengikuti langkah jenjang wanita di depannya. Nyonya Merry yang baru saja keluar dari apartemen miliknya, melihat sang anak masuk ke tempat orang lain. Untuk pertama kalinya wanita itu melihat, Eljovan mau masuk ke rumah tetangga.
"El." Saat akan memanggil anaknya, mendadak ia mengurungkan niatnya. "Biarkan saja, mungkin tempat itu dihuni tetangga baru," gumamnya. Ia pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Suasana di dalam ruangan masih berantakan, beberapa kardus tertutup kain putih. Mata Eljovan berpendar ke sekitar, tidak dilihatnya ada orang yang bersama Aletha.
"Apa anda sendirian?" tanya Eljovan.
"Ya, saya sendirian, Pak dokter," jawab Aletha. Ia menaruh barang di atas meja, tak sengaja sebuah dus tersenggol jatuh. "Ya Tuhan, merepotkan sekali pindahan ini," gerutunya.
Eljovan bergegas menghampiri, lalu membungkuk membantu Aletha membereskan barangnya.
"Kenapa tidak pakai jasa saja? Kalau seperti ini kan, repot sendirian?" Eljovan menyelidik.
"Saya trauma Pak, mengandalkan orang membantu. Malah akhirnya jadi perebut," jawab Aletha, sejurus kemudian wajahnya langsung berubah murung. Tatapannya kosong lurus ke depan. Bayangan pengkhianatan suami dan asistennya dulu, melintas di pelupuk matanya.
Melihat perubahan di wajah Aletha, Eljovan bisa merasakan trauma yang begitu mendalam. Raut muka ceria, tapi menyimpan kesenduan itu menunjukkan, sebuah luka yang menganga dan tidak mampu terlupakan. Ia pun melambaikan tangan di depan wajah Aletha. "Hei, kenapa malah melamun?" tanyanya.
Terkejut dibuyarkan lamunannya, Aletha mengusap wajahnya pelan dan menjawab, "Ah, maaf, tidak apa-apa. Emh, sudah, biarkan saja berantakan dullu. Jangan repot-repot Pak dokter."
"Tidak merepotkan, biasa saja kok," sahut Eljovan mengusap tenggorokannya.
"Sampai lupa mau buat teh, hufftt. Tunggu sebentar dan duduklah di sofa, saya akan ke dapur," pamit Aletha. Ia bangkit lalu pergi meninggalkan Eljovan.
"Ok." Eljovan mengacungkan jempolnya, saat Aletha berada di dapur. Ia memasukkan barang-barang ke dalam kotak
Saat membereskan barang ke dalam kotak, di lantai tergeletak sebuah foto. Di sana, Aletha terlihat tersenyum bahagia bersama seorang anak kecil, yang Eljovan kira berusia lima tahun.
Melihat foto tersebut, Eljovan merasa tidak asing. Wajah bocah tersebut mengingatkannya pada seseorang. Lamat matanya menatap foto cukup lama, samppai-sampai ia tidak sadar, jika Aletha sudah berdiri di dekatnya.
"Itu anak saya," kata Aletha.
Eljovan menoleh lalu berjalan ke arah Aletha. "Di mana dia?" tanyanya sabil menyerahkan foto.
"Di tempat yang tak mungkin bisa saya jangkau," jawab Aletha datar.
"Sebegitu rumit hubunganmu dengan suami? Sampai tidak tiba bertemu anakmu?"
"Faktanya, Dok, semua karena pelakor itu.Hidup saya hancur sehancur-hancurnya!" Aletha berseru geram, garis wajahnya mengeras.
"Yah, saya maklum, rasanya pengkhianatan itu sakit," sahut Eljovan tersenyum simpul.
"Sudahlah, tidak enak bahas kehidupan. Mari kita minum teh saja, saat ini Pak dokter tamu saya. Maaf atas penyambutan yang kurang," ucap Aletha.
"No problem." Eljovan mengulumkan senyum lebar.
Wajah Aletha merah merona, senyuman Eljovan yang tampak tulus, menggetarkan sesuatu di dalam hatinya. Mereka terus berbincang hingga menjelang siang, jarak yang sempat hadir sebagai pembatas, kini hilang diantara mereka. Tidak ada lagi hubungan antara pasien dan dokter, melainkan sebuah pertemanan.
Aletha menceritakan semua kisahnya pada Eljovan, bagaimana ia dihina dan dikhianati oleh sang suami. Eljovan menyarankan padanya untuk menuntut si pelakor, tentu saja Aletha akan sangat diuntungkan dalam kasusnya karena menjadi korban.
"Untuk apa menuntut dia, toh semuanya sudah hancur. Saya lebih suka, jika menggunakan hukum alam saja," kata Aletha setelah mendengar usul Eljovan.
"Hahaha, kamu ini naif sekali. Uang yang kamu dapat dari wanita itu, bisa kamu gunakan untuk menebus anakmu," jawab Eljovan.
Aletha menelan ludahnya, ia baru terpikir akan hal tersebut. "Beenar juga kata Pak dokter," sahutnya, ia mengigit bibir bawahnya. "Berapa kira-kira harga yang harus saya pinta pada si wanita?"
"Terserah kamu saja, setinggi-tingginya!"
"Apa, jika Pak dokter ada di posisi saya. Maka, akan nmelakukan hal yang sama?"
Bagai tertusuk pisau belati, Eljovan merasakan napasnya tercekat mendengar pertanyaan Aletha. Wanita itu masih diam menunggu jawabannya. "Emmh, ya, tentu saja akan saya lakukan'" jawabnya berkelit.
"Hahaha, saya bercanda Pak dokter. Maafkan saya," ucap Aletha.
Eljovan tersenyum tipis, mereka melanjutkan perbincangan ringan. Setelah puas mengobrol, Eljovan berpamitan pulang ke apartemennya. Aletha melihat Eljovan sampai di depan pintu. Dari wajahnya tersungging seutas senyum penuh arti.
***
Keadaan Chiraaz semakin membaik, tekadnya untuk segera pulang ke rumah membantu kesembuhannya. Sudah dua hari dirinya berada di rumah sakit, selama itu pula Eljovan tidak pernah datang maupun mengirimnya pesan. Chiraaz yakin ada yang salah dengan sikap Eljovan yang tidak biasa.
Karena merindukan suara suaminya, Chiraaz masih mencoba menghubungi ponsel Eljovan. Kali ini bukan hanya diabaikan, tapi Eljovan merijek panggilannya. Chiraaz kembali menitikkan air mata.
"Apa salahku? Kenapa kamu melakukan ini padaku, El?" ucap Chiraaz lirih.
"Permisi, Bu Chiraaz." Seorang perawat masuk ke dalam ruangan.
"Ya, ada pemeriksaan lagi?"
"Tidak, Bu, saya hanya ingin mengantarkan ini." Perawat itu berjalan cepat ke arah Chiraaz. Lalu menyerahkan sebuah kotak dan bucket bunga. "Ada seseorang yang menitipkan ini."
"Siapa?" Chiraaz balik bertanya, matanya pokus menatap benda yang kini berada di tangannya.
"Dia tidak menyebut nama, setelah mengatakan pesan langsung pergi begitu saj."
"Hmm, oke terima kasih."
Perawat itu berbalik meninggalkannya. Melihat kotak dan bucket bunga, senyum merekah mengembang di sudut bibir Chiraaz. Dalam hatinya ia berpikir, mungkin Eljovan memberikannya kejutan.
Dengan cekatan tangannya membuka kotak, tapi saat kotak tersebut terbuka. Matanya terbelalak, jantungnya berdebar cepat saat melihat fotonya dan seorang pria. Chiraaz melemparkan kottak ke lantai, keringat dingin mengucur deras.
Tiba-tiba Nyonya Merry masuk ke dalam ruangan. Chiraaz panik dan ketakutan, bagaimana jika mertuanya melihat foto tersebut.
"Chiraaz, kamu tidak tidur siang?" sapa Nyonya Merry.
"Mams--," sahut Chiraaz lemas, matanya tertuju pada kotak di lantai.
"Apa ini Chiraaz?" Nyonya Merry memungut kotak dari lantai. Matanya melotot saat melihat foto Chiraaz bersama seorang pria. "Siapa ini Chiraaz? Inikah yang membuat Eljovan berubah padamu?" cecarnya sengit.
Chiraaz menelan ludahnya, ia takut melihat ekpresi mertuanya. "Itu-- itu keponakan saya, Mams. Di-- dia tidak datang saat saya menikah, jadi dia iseng mengirimkan foto kami untuk menggoda saya," jawabnya berkilah.
"Benarkah?" Nyonya Meery memicingkan sebelah matanya.
"Benar, Mams. Ingat Bibi Haina? Ya, dia Elyas anak Bibi Haina." Chiraaz berusaha bersikap tenang, meredakan debaran di dalam dadanya.