Para bodyguard Edward bergegas membantu tuannya membawa Chiraaz ke dalam mobil. Edward tidak tahu di mana alamat rumah Chiraaz. Ia ingin membuka tas wanita itu, tapi hatinya merasa tidak enak.
"Pak, kita akan ke mana?" tanya George sopir pribadi Edward.
"Aku tidak tahu rumah wanita ini, George," jawab Edward.
"Mungkin, ada petunjuk di tasnya," saran George.
"Jika ada sudah aku antarkan dari tadi," jawab Edward dengan nada berseru.
"Lalu bagaimana?"
"Kita pulang ke rumahku saja."
"Tidak ke apartemen?"
"No, kita pulang ke rumah kecil. Bukan ke rumah utama," jawab Edward memberikan perintah.
"Baik, Pak," sahut George, mulai menyalakan mesin mobil, lalu membawa kendaraan roda empat itu keluar dari parkiran.
Edward membiarkan Chiraaz tertidur di bahunya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, matanya tidak lepas menatap Chiraaz. Sudah lama ia menginginkan satu hal dari asistennya itu, tapi Chiraaz selalu saja menghindar darinya.
Anak rambut menutupi sebagian wajah Chiraaz, Edward menyingkirkan benda halus tersebut dengan jarinya. Nampak wajah Chiraaz yang pucat dan kelelahan. Edward menyentuh bibir Chiraaz, wanita itu sedikit bereaksi, lalu pindah posisi tidur di pangkuan Edward.
"Kau memang manis, Chiraaz," gumam Edward. Pria itu mengalihkan pandangannya ke jendela mobil.
Diam-diam George memperhatikan Edward dari kaca spion dalam. Pria muda itu sudah cukup lama bekerja dengan Edward, sehingga paham setiap gerak gerik tuannya. Baru kali ini George melihat Edward begitu perhatian pada seorang wanita.
Sedikitnya George tahu, bahwa Chiraaz bukan wanita single. Anehnya, Edward terlihat sangat terobsesi pada Chiraaz. Padahal di kantor, banyak karyawati yang lebih cantik dan sexy menurutnya. Para wanita itu berlomba mendekati Edward untuk mendapat perhatian CEO muda nan berbakat tersebut.
"Kenapa terus melihatku, George," tegur Edward lalu menatap ke depan. Pandangan mereka bertemu di spion.
"Ah, tidak Pak," jawab George datar.
"Aku tahu kau memperhatikanku sejak tadi," tebak Edward.
"Hanya memastikan anda baik-baik saja."
"Baiklah, pokus menyetir jangan sampai terjadi sesuatu," tandas Edward.
Pria itu mengeluarkan i-phone versi terbaru. Tidak sengaja tangannya menyentuh kamera. Entah apa yang menggelitik hatinya, Edward mengambil selfie bersama Chiraaz yang masih terlelap.
Sesampainya di rumah, Edward segera menggendong Chiraaz masuk ke dalam. Pria itu meminta George pulang ke apartemen menggunakan taksi. Sementara dirinya hanya ingin berduaan dengan Chiraaz.
Edward membawa Chiraaz ke kamar tamu dan menidurkannya di sana. Dia pergi ke dapur membuatkan teh manis hangat dan membawa sebotol alkohol. Edward duduk di samping Chiraaz, ditatapnya lekat tubuh wanita itu.
Wajah Chiraaz yang serius saat bekerja, sangat jauh berbeda dengan sekarang. Di mata Edward saat ini, wajah Chiraaz seperti anak kecil polos tapi tertekan. Edward mendekatkan wajahnya ke bibir Chiraaz, tidak sengaja dia menyenggol tas wanita itu.
"Apa ini?" Edward bergumam lalu membungkuk mengambil kertas yang keluar dari tas Chiraaz.
"Surat dari pengadilan? Apa dia akan bercerai?" Edward membuka kertas tersebut dan terkejut melihat isinya. Beberapa detik kemudian, seringai licik tersungging dari bibirnya.
"Astaga! Saya ada di mana." Chiraaz yang baru sadar terkejut berada di dalam kamar. Wanita itu menoleh pada Edward yang duduk di sampingnya.
"Pak Edwrad, anda?" Chiraaz beringsut segera bangkit lalu duduk.
"Sadar juga kamu," sahut Edward datar, dia menenggak alkohol dari botol.
"Saya di mana, kenapa ada di sini?" tanya Chiraaz mencecar Edward.
"Kamu sangat merepotkan. Ini rumah saya," jawab Edward, pria itu melirik Chiraaz dengan tatapan liar.
"Ru--rumah anda?" Chiraaz memeriksa keadaannya sendiri, meraba baju dan celananya. Dia takut Edward melakukan sesuatu yang aneh.
Seakan mengerti apa yang dilakukan Chiraaz, Edward tersenyum simpul. Chiraaz menjauhi Edward dengan pindah ke sisi lain ranjang.
"Kamu pikir aku menyentuhmu?" sindir Edward.
"Tidak, Pak," dalih Chiraaz.
"Aku bukan tipe pria seperti itu. Aku lebih suka menyantapmu secara sadar," tandas Edward. Matanya menatap tajam, pria itu berdiri dan keluar dari kamar meninggalkan Chiraaz.
"Syukurlah dia pergi," gumam Chiraaz.
Chiraaz melihat jam weker yang ada di atas nakas. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Chiraaz sadar sudah terlalu lama pergi. Dia meraih tas nya di nakas sebelah, lalu mengambil ponsel di dalamnya dan berharap, Eljovan menghubunginya.
Saat mengusap layar ponsel dia terkejut. Karena tidak ada satu pun panggilan dari Eljovan untuknya. Dihelanya napas panjang, hatinya kecewa lagi karena Eljovan tidak mencarinya. Itu artinya suaminya sudah tidak peduli padanya.
Ting!
[Chiraaz sayang kamu di mana? Saya lelah mencarimu]
Satu pesan yang baru saja masuk membuat Chiraaz tersenyum semringah. Dia segera memencet tombol panggilan pada Eljovan. Tapi tiba-tiba Edward masuk dan merampas teleponnya.
"Hei! Ada apa ini?" tanya Chiraaz sengit.
"Kamu menelpon siapa, Chiraaz? Suamimu? Lalu jika dia bertanya sedang ada di mana? Mau kamu jawab sedang di rumahku? Berduaan denganku begitu?" berondong Edward, jempolnya menekan tombol merah di layar ponsel.
"Sa--saya mau telpon suami saya, Pak," jawab Chiraaz gugup.
Edward menyerahkan ponsel pada Chiraaz dengan tatapan yang menantang. "Silahkan telepon dia, katakan di mana kamu sekarang berada. Apa yang dia pikirkan jika tahu istrinya bersama pria lain di tengah malam buta."
Chiraaz menelan ludahnya, dia baru sadar apa yang dikatakan Edward ada benarnya. Dia pun menerima ponsel, Eljovan balik menelponnya. Tapi Chiraaz ragu untuk menjawab panggilannya.
"Kenapa? Kamu takut kan," ejek Edward tersenyum simpul.
"Saya harus segera pulang, terima kasih Pak Edward," pamit Chiraaz. Wanita itu merapikan pakaian dan menyambar tasnya.
Chiraaz keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Untuk pertama kalinya dia berada di rumah atasannya. Rumah mungil nan mewah ini terlihat sepi. Chiraaz tidak begitu memedulikan keadaan dan bergegas menuju pintu depan.
Namun, saat dia mencoba membuka, pintu itu masih terkunci. Terdengar suara langkah kaki Edward di tangga. Chiraaz menoleh dan melihat Edward berjalan ke arahnya sambil memegang kunci.
"Kamu pikir rumahku hotel yang bisa membebaskan orang masuk dan pergi sesuka hati," kata Edward. Pria itu menarik Chiraaz lalu membukakan pintu.
Chiraaz berdiri mematung menatap pria aneh di depannya. Edward lebih menyebalkan di dunia nyata daripada di kantor, pikirnya.
"Maaf, terima kasih sekali lagi, Pak Edward," ucap Chiraaz. Perlahan dia melangkah ke arah pintu.
Saat dirinya melangkah keluar, Edward menutup pintu. Chiraaz berbalik untuk melihat, dia pikir Edward kembali ke dalam rumah. Tapi saat menoleh, pria itu segera menyambar tangannya dan membawanya ke depan mobil.
"Masuklah, aku akan mengantarkanmu pulang," perintah Edward.
"Ti--tidak usah, Pak, saya naik taksi saja," tolak Chiraaz.
"Jangan membantah Chiraaz, kamu tahu aku tidak suka dibantah!" seru Edward.
"Tapi, Pak."
"Masuk atau aku yang telepon suamimu untuk menjemput istrinya di rumah pria lain," tukas Edward.
"Ba-baik, Pak." Chiraaz menurut pasrah, dia pun masuk ke dalam mobil.