Malam itu Viori tertidur sambil menggenggam kunci perpustakaan yang dihadiahi Lucius. Bukan karena ia sangat senang atau apa, melainkan karena semalaman ia memutar otaknya dan memikirkan alasan Lucius membangun sebuah perpustakaan khusus untuknya. Lucius juga terlihat lebih lelah dari biasanya.
Mungkinkah dia kekurangan jam tidurnya karena mempersiapkan perpustakaan untukku?
Viori akhirnya menyerah dan tertidur tanpa menemukan jawaban yang pasti.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang tenang dimana Viori bisa mengecek perpustakaan yang dibangun Lucius untuknya di sayap kanan Istana Altair. Posisi perpustakaan itu menghadap ke arah taman bunga dan padang rumput yang biasa dilewati Viori saat minum teh. Viori sudah berada didepan pintu perpustakaan itu saat seorang ksatria bawahan Sieghard berlari ke arah mereka.
"Saya yakin Yang Mulia Duke pasti mempersiapkan perpustakaan ini dengan sepenuh hati." Sieghart tersenyum tipis sambil berdiri berjaga disamping pintu.
"Sepertinya begitu." Viori mengeluarkan kunci perpustakaan itu dari saku gaunnya.
"Permisi!" Ksatria itu berambut coklat dan agak pendek. Ia masih terengah-engah dan mengambil napas pendek-pendek saat berhenti didepan Viori dan Sieghart.
"Sejak kapan kau kehilangan sopan santunmu, Ivaldi!?" Sieghart menunjukan wajah tegas yang tidak pernah dilihat Viori. Sieghart sepertinya sangat ketat dengan bawahannya.
"Ampuni ketidaksopanan saya, Duchess." Ivaldi berlutut di satu kakinya sambil menunduk.
"Tapi saya membawa kabar yang harus segera disampaikan." Matanya berkaca-kaca, sepertinya ia berlari dengan kecepatan penuh dari jauh.
"Katakan, ada apa yang sebenarnya terjadi?" Viori sejujurnya tidak mempermasalahkan Ivaldi yang berlari-lari atau berteriak dari jauh, Viori justru sering merasa etika kebangsawanan di dunia ini terlalu kaku dan tidak efisien.
Ivaldi mengeluarkan sebuah koran yang digulung yang sedari tadi diselipkannya diantara sabuk pedangnya.
"Koran ini baru saja terbit dan dijual pagi ini, Nyonya."
Duchess of Ranclair, Viori Von Nerva dikabarkan akan segera mengajukan cerai dan menikah dengan Prince of Vennia, Mikhaelis Casterra!
"Wah, sinting." Respon tersebut tidak dapat ditahan Viori lolos dari mulutnya.
Sieghart yang ikut membaca headline tersebut ikut memerjapkan matanya beberapa kali seolah-olah ada yang salah dengan penglihatannya.
Viori terdiam, jujur tidak tau harus berpikir apa. Apakah ini hal yang bagus? Atau hal yang buruk? Bukankah ini menjadi kesempatan yang bagus untuk Mathilda masuk kedalam kehidupan Lucius tanpa harus menunggu kematian Viori? Bagaimana reaksi Lucius?
"Kita akan ke Istana Sirius, sekarang!" Viori berjalan cepat tanpa menoleh kebelakang. Ia bahkan mengangkat bagian depan gaunnya karena ia merasa gundah tidak bisa berlari secepat yang ia mau.
"Duchess, tolong berhati-hati." Langkah Sieghart dengan cepat menyusul Viori.
Viori sampai di Istana Sirius lebih lama dari dugaannya, sepanjang perjalanan rasanya perutnya diobrak-abrik, dan kepalanya berdenyut tidak karuan.
"Reinhard! Apakah ada Duke didalam?" Viori memanggil Reinhard dari kejauhan, Reinhard yang baru saja keluar dari ruang kerja Lucius terlihat kaget dengan kedatangan Viori yang terengah-engah berlari.
"Duchess, saya sarankan anda jangan menemui Duke sekarang. Tolong kembalilah ke Istana Altair dan datang lagi besok hari." wajah Reinhard pucat dan lelah, membuat Viori ikut merasa sedikit bersalah. Saran Reinhard terdengar sangat masuk akal, penampilan Viori saat ini juga sudah berantakan, ia sebaiknya kembali esok hari. Entah jika Lucius marah atau sedih, itu lebih baik diselesaikan besok hari saat emosi semua orang sudah lebih tenang.
Tapi entah kenapa Viori merasa akan menyesal jika ia tidak menemui Lucius sekarang. Ia melangkah kedepan pintu ruang kerja Lucius dan mengetuknya.
"Duke, bolehkah saya masuk?"
Reinhard dan Sieghart mendekat dan berusaha menghentikan tindakan Viori.
Tidak ada jawaban. Viori tidak bisa mendengar apa-apa lewat pintu kayu berat dihadapannya.
"Lucius..... bolehkah aku masuk?" Suara Viori melemah. Ia tahu yang ia lakukan bukanlah suatu kesalahan, tapi dibandingkan takut dengan kemarahan Lucius dan kemungkinannya di eksekusi oleh Lucius, ia lebih tidak ingin Lucius salah paham dengannya.
Viori bisa mendengar langkah kaki dari sisi lain pintu itu.
Krieettt...
Pintu kayu itu berdenyit terbuka.
Penampilan Lucius tidak seperti yang Viori bayangkan, ia pikir Lucius akan mengamuk dan menghancurkan seisi kantornya, tapi yang ia lihat justru keadaan kantornya yang rapih dan bersih seperti biasanya. Yang kacau balau justru penampilan Lucius. Ia tidak mengenakan jasnya dan vestnya dibuka, tiga kancing teratas kemejanya lepas entah kemana. Bau alkohol tercium jelas dari napasnya, matanya terlihat tidak fokus dan rambutnya sudah kacau tidak karuan.
"Lucius, biarkan aku masuk sejenak." Viori menahan daun pintu itu dengan tangannya, kali-kali Lucius naik pitam dan menolak bicara dengannya.
Lucius membuang mukanya dan menolak menatap mata Viori, tapi ia membiarkan pintu ruang kerjanya terbuka tanda bahwa ia membiarkan Viori masuk dan bicara.
Sebuah koran yang terbuka halaman depannya tergeletak di meja kerjanya.
Lucius kembali duduk di sofa dan menenggak habis sebotol minuman alkohol dosis tinggi, tapi sepertinya ia masih belum mabuk. Wajahnya tidak memerah tetapi matanya sudah hilang fokus.
"Apakah kau baik-baik saja?" Viori memberi jarak antara dirinya dan Lucius, ia bahkan ragu untuk duduk di sofa karena takut Lucius makin kesal dengannya.
"Apa itu benar?" pertanyaan Lucius tidak menganggetkan tetapi tetap membuat Viori bingung.
"Berita itu?" Viori mengalihkan matanya ke headline yang tergeletak didepan Lucius.
"Aku berhenti mengirim orang untuk mengikutimu, tapi kenapa...." Lucius menyenderkan kepalanya kebelakang dan memijat kepalanya.
"Tidak. Itu tidak benar. Aku sama sekali tidak ada niat untuk menceraikanmu." Viori berusaha mempertahankan suaranya agar tidak bergetar, ia mempertahankan pandangannya kebawah.
Lucius berdiri dan mendekati tempat Viori berdiri, ia lalu menggenggam kedua tangan Viori dan mendekapnya di dadanya.
"Bolehkah kau memanggil namaku sekali lagi?" suara Lucius kecil dan hampir tidak terdengar. Sama sekali bukan Lucius yang biasanya.
"Ha?" selain karena suara Lucius yang sangat lemah, tetapi juga karena pertanyaan Lucius tidak terduga dan sangat aneh.
"Namaku."
"Lucius.... apakah kau tidak apa-apa?" Viori menunduk dan berusaha melihat wajah Lucius yang tertunduk.
BRUK!! Genggaman Lucius melemas dan ia terjatuh begitu saja.
"Lucius!! Sieghart, Reinhard, tolong!!" Viori tidak pernah berpikir Lucius punya kemampuan untuk pingsan begitu saja. Lucius yang bahkan tidak bisa sakit dan kebal semua jenis racun.
"Kirimkan kurir pesan ke Emperor Androry, minta ia meminjamkan tabib kerajaan!" badan Lucius terasa panas terbakar, entah karena alkohol atau karena ia jatuh sakit.
"Lucius, tolong bertahanlah!"