Sudah lebih dari 45 menit seorang gadis sedang duduk di halte dekat sekolahnya, ada rasa kesal dan geram saat tidak ada kabar dari sang ayah. Padahal semalam sudah berjanji akan menjemputnya serta sekalian mereka akan makan diluar karena mereka juga sudah lama tidak jalan dan pergi bersama.
Gadis tersebut hanya mendengus berkali-kali saat melihat room chat dan jam tangannya.
"Papa bohong lagi? Kalau tau gini mending jangan kasih janji," lirihnya yang memejamkan mata dan mendongak ke atas agar tidak meneteskan air matanya.
Gadis tersebut mengingat kejadian semalam, saat sang ayah membuatnya bahagia karena sudah berjanji akan pergi bersama. Saat sedang berusaha menenangkan diri agar tidak menangis apalagi bersedih, ada sebuah tepukan dan suara mengangetkan gadis tersebut.
"Lo kenapa belum pulang?"
Tubuhnya mendadak tergemap dan matanya langsung terbuka. "Sialan lo ngagetin! Jantung gue hampir copot."
Lelaki itu hanya tersenyum tanpa dosa dan malah ia duduk di samping gadis tersebut. "Sekolah udah sepi, lo ngapain disini sendirian?"
Wanita tersebut mendengus dan memutar mata malas melihat dan mendengar lelaki itu.
"Gue lagi mancing!" Ucapnya ketus.
"Ho'oh mancing, tapi kenapa gak ada alat pancingnya?"
Mendengar itu membuat gadis tersebut semakin kesal dan langsung menatap tajam lelaki itu dan memegang bahunya.
"Lo lihat gue lagi duduk dihalte?" Ucap gadis tersebut bertanya dan dijawab anggukan oleh lelaki itu. "Berarti gue lagi nungguin jemputan! Lo udah tau tapi malah nanya balik ke gue."
Lelaki itu menggulung bibirnya kedalan, menahan tawa melihat gadis tersebut yang sudah amat kesal.
"Aduh Bella. Gue tuh cuma basa-basi aja, judes banget sih. Lo juga disini betah banget nunggu jemputan, lo gak takut nih sama cerita sekolah tentang orang yang bunuh diri. Mana kepalanya sampe lepas terus juga suka keliaran bawain kepala kalau sekolah sudah sepi, dihh nyeremin mana lagi nih langit gelap banget," jelas Farrel sambil memperagakan cerita tersebut agar Bella ketakutan namun bukan raut wajah ketakutan yang Bella tunjukan tapi raut wajah datar.
"Gak! Cerita hidup gue lebih nyeremin."
Lelaki itu langsung terdiam aneh mendengar ucapan tersebut. "Hah?"
Gadis itu langsung berdiri dari duduknya karena terlihat sudah ada sopir pribadinya, benar saja papanya tidak menjemputnya.
"Gue mau pulang, lo ngapain bengong makin jelek aja!" Gadis tersebut langsung melangkah pergi meninggalkan Farel yang menatapnya.
"Maaf ya non, tuan ada meeting jadi gak bisa jemput. Jadi non pulang sama mang Agus aja, tadi juga tuan baru ngabarin kelupaan jemput jadi langsung telpon mamang suruh jemput non Bella," ucap sang sopir menjelaskan sambil membukakan pintu mobil belakang.
"Heem. Mang Ujang gak salah jadi jangan minta maaf."
Sopir itu hanya mengangguk setuju dan mulai menjalankan mobilnya saja.
Gadis tersebut hanya memandang jalanan dari jendela mobil, tak terasa air matanya keluar dan cepat-cepat ia hapus karena ia paling anti kalau air matanya dilihat orang lain.
Tapi tingkah dan pergerakan gadis tersebut dilihat sang sopir dibalik spion dalam mobil dan tentu ia langsung menyodorkan tisu yang memang selalu distock dalam mobil.
"Non, pake tisu elapnya nanti tangannya kotor terus kena baju jadi kotor lagi deh."
Gadis tersebut langsung mengambil tisu dan terkekeh mendengar ucapan mang Agus.
"Makasih ya mang. Kadang Bella ngerasa yang bukan keluarga lebih ngerti Bella daripada keluarga sendiri."
Mang Agus yang mendengarnya ikut sedih dan tau makdud dari ucapan Bella karena ia sangat lama bekerja dikeluarga ini. "Sama-sama non."
.
Malam yang dingin tanpa bulan dan bintang yang menemani seorang gadis yang duduk di taman Rumah sakit. Entahlah apa yang dipikirkannya, ia hanya menatap pancuran kolam di depannya bahkan panggilan sang kakak tidak terdengar atau gubrisnya tapi sang kakak selalu setia menemani sang adik.
"Qiana!" Panggil Calvin yang sedikit berteriak karena sedari tadi memanggil nya pelan tidak akan direspon atau didengarnya.
"A-ah iya? Kenapa abang?" Jawabnya linglung.
Calvin langsung memeluk sang adik dan menciumi pucuk kepalnya.
"Qia, kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya, Ellard bakal sembuh dan untuk ucapan mamanya juga jangan dimasukin kehati. Qia orang tua mana yang akan tega melihat anaknya terluka dan menderita seperti itu pasti sangat khawatir." Jelasnya kepada sang adik.
Kecuali orang tua kita. Lanjutnya membatin.
Qia mendongak menatap sang kakak dan mengendurkan pelukan sang kakak.
"Iya abang. Tapi ini semua salah Qia. Mama vero benar, kalau Qia enggak ceroboh Ellard gak bakal gini abang ... hikss ... ini semua salah Qia!"
Calvin langsung menghapus air mata Qia. Dan memeluknya lagi dan membuat Qia membalas pelukan bahkan menumpahkan air matanya lagi di dada sang kakak.
"Udah Qia jangan nangis, kamu buat abang ikut sedih juga. Kita masuk di luar dingin banget." Calvin yang mengelus rambut sang adik dan langsung menuntunnya ke kursi roda agar bisa kembali ke ruangan.
Dua beradik tersebut mulai memasuki ruangan tapi terlihat beberapa dokter dan perawat kalang kabut dan panik di depan mereka.
"Dok, pasien semakin kritis sebaiknya ia dirawat ke Amerika karena disini alat dan obat-obatannya tidak tersediah." Jelas dokter satunya kepada dokter lain.
"Kita tanyakan kepada pihak keluarganya dahulu apakah mau dipindahkan. kalau mereka mau otomatis malam ini bisa diatur keberangkatannya." Jawab dokter lain dan beberapa dokter dan perawat mengangguk setuju.
Calvin dan Qia terhenti melihat beberapa dokter dan perawat tadi masuk keruangan Ellard.
"Abang..." lirihnya memanggil sang kakak.
"Eh mereka masuk ruangan Ellard berarti pasien yang mereka maksud tadi Ellard," ucap Calvin tanpa sadar.
Qia yang mendengar ucapan sang kakak makin sedih dan makin menyalahkan dirinya sendiri.
"Hiks ... hiks ... ini semua karena Qia! Kalau saja Qia jalannya lihat-lihat terus kepala Qia gak sakit semuanya gak bakal terjadi hiks hikss." Tangis Qia yang memukul-mukul kepalanya.
Mendengar suara tangis, Calvin pun tersadar dan langsung menghentikan aksi sang adik yang memukul-mukul kepalanya.
"CUKUP QIANA!" Calvin yang berteriak dan Qia langsung diam. "Ini semua takdir tuhan, sekuat apapun kita mengelak pasti akan terjadi musibah. Kalau tidak terjadi di tempat kemarin, musibah yang sama akan terjadi di tempat lain. Karena apa? Karena itu semua takdir! Semua sudah diatur tuhan jadi jangan salahin diri kamu Qia, kamu itu sebagai perantara bukan biang masalah."
Benar saja ucapan Calvin membuat Qia menghentikan aksinya dan tidak menangis lagi. Calvin pun langsung mengajak Qia keruangan untuk beristirahat.
.
Keenam remaja tersebut sedang terburu-buru melangkah masuk Rumah sakit. Memang dari sekolah tadi mereka sudah membuat rencana berkunjung dan membesuk sahabat mereka.
Saat tergesa-gesa langkah mereka terhenti melihat para dokter dan perawat membawa Ellard yang penuh alat bantu keluar dan tak lama keluarlah wanita paruh baya juga dari ruangan tersebut.
"Tante? Kenapa Ellard dibawa? Ini kenapa? Ellard baik-baik saja kan?" Gallen yang kebingungan melihat kejadian tersebut langsung menanyakan langsung kepada Veronika.
"Hiks Ellard makin kritis. D-dan ia akan dibawa ke Amerika. Disana alat dan obat-obatan lengkap hiks ... tante takut Ellard kenapa-napa."
Gallen langsung memeluk Veronika dan mengusap punggung wanita paruh baya tersebut.
"Tante jangan panik ya, semuanya akan baik-baik saja. Tante jangan nangis terus, Ellard pasti sedih kalau tau. Kita harus banyak do'a supaya Ellard cepat sembuh dan baik-baik saja," ucap Gallen lembut dan membuat Veronika sedikit tenang.
Keenam remaja tersebut mengatarkan Veronika ke luar Rumah sakit menuju mobilnya terpakir. Veronika akan ikut pergi bersama sang anak untuk menemani Ellard sampai sembuh. Walau tidak tau akan seperti apa selanjutnya yang terpenting ia akan selalu menemani sang putra sedangkan anak perempuannya ia titipkan ke keluarganya.
Setelah mengantarkan Veronika lalu keenam remaja itu pun masuk kembali ke Rumah sakit.
***
"Jadi gimana keadaannya bang?" Tanya Darla yang mewakili mereka semua yang sudah mati penasaran.
Keenam Remaja tadi sekarang sedang duduk di kursi luar ruangan Qia karena Qia sudah tidur dan takut menganggu jadi mereka berbicara diluar ruangan.
Calvin menghembuskan nafasnya kasar. "Abang juga pusing Darla, Qia suka nyalahin diri terus bahkan suka mukulin kepalanya. Apalagi setelah insiden mamanya Ellard yang menyalahkan semuanya ke Qia, dari sanalah Qia malah makin menjadi-jadi." Lelaki itu menunduk sambil menahan tangis, "Abang juga merasa bersalah, coba kalau waktu itu abang gak marah-marah dikantor apalagi bongkar masa lalau dan abang juga waktu itu langsung setuju terima aja penawaran itu, gak dicari tau lagi siapa pemilik perusahaan. Semua gak bakal terjadi ..." lirihnya.
"Qia kasihan banget pasti sangat terpukul sudah mulai tau kenyataam dan ditambah lagi musibah baru," ucap Clara mulai berkaca-kaca langsung memeluk Bella. Ingat ya Clara sekarang berubah setelah musibah ini, sekarang ia tidak bernafsu makan lagi bahkan snacknya pernah ia buang.
"Tapi apa Qia ... ehmm, mengatakan hal aneh seperti mengingat sesuatu kejadian?" Tanya Darla takut-takut dan tentu ucapan Darla langsung ditatap tajam oleh Bella.
"Maksudnya? Ehh Qia pernah bilang kalau ia pernah melihat cuplikan kejadian. Entahlah abang gak ngerti makdudnya."
Setelah mendengar penjelasan Calvin mereka langsung diam, terutama sahabat Qia tapi ada rasa takut pada mereka. Lain halnya dengan sahabat Ellard yang diam karena mereka tidak mengerti arah pembicaraan mereka.