Hotel Grand Elty Kota X
Ballroom Cendrawasih
Hari pernikahan pewaris Gwentama.
Suasana ceria para tamu yang berkumpul di hallroom, sangat berbanding balik dengan keadaan kedua calon mempelai yang saat ini sedang duduk bersebelahan.
Ekspresi salah satu keluarga pun sama yaitu dengan wajah kaku dengan senyum tidak ikhlas, saat mereka duduk menghadiri acara sakral pernikahan anak satu-satunya, yang tadi pun sebenarnya menantunya sempat ingin membatalkan pernikahan.
Tiga puluh menit sebelum pernikahan.
Di dalam ruangan dengan suasana panas, sedang terjadi pertemuan mendadak dari dua keluarga, yang seharusnya saat ini berada di tempat akad nikah.
Air conditioner menyala tidak menjadikan ruangan ini lantas dingin, saat ketegangan menyelimuti.
Sebenarnya apa yang membuat mereka seperti ini?
Di satu sisi, keluarga Gwentama menatap murka kepada keluarga Winandar yang hanya bisa menunduk, pura-pura pasrah saat padahal mereka tahu ini adalah salah satu akibat yang akan mereka terima.
"Bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana bisa calon istri anak saya kabur dari rumah, tanpa sepengetahuan kalian pula sebagai orang tuanya? Bagaimana bisa. Hah!?"
Di depan sana ada Tuan besar dari keluarga Gwentama yang murka akan kejadian yang baru saja ia dengar.
Kenapa disaat seperti ini, kenapa di tiga puluh menit sebelum pernikahan, calon menantu atau calon istri dari anaknya kabur dan meninggalkan acara begitu saja. Sehingga mereka tidak sempat mencari atau mengejar, jika waktunya saja sangat mepet dan mereka juga tidak tahu di mana calon menantunya pergi.
"Maaf, kami lalai karena luput dari pengawasan. Kami juga tidak tahu, bagaimana bisa anak kami punya pikiran seperti itu. Maafkan kami, Tuan Gwentama," cicit Tari menjelaskan, menggantikan suaminya yang tidak ingin menjelaskan kejadian sesungguhnya.
Randra diam dengan hati takjub, saat menyaksikan sendiri bagaimana sang istri lihai merangkai kata. Ia tidak ingin ikut campur, takut mengacaukan segalanya dan yang ada berujung dengan kebahagiaan Kinara ikut menjadi korban. Tepatnya, saat nanti sang anak resmi menjadi istri pewaris satu-satunya Gwentama.
"Pergi kemana dia?" tanya Tuan Gwentama dengan nada marah, saat mendengar perminta maafan calon besannya.
Baik Tari maupun Randra hanya menggelengkan kepala, seakan mengatakan tidak tahu. Karena memang sungguh mereka tidak mengetahui keberadaan anaknya. Bahkan pergi kemana pun anaknya tidak memberi tahu, yang mereka tahu anak mereka pergi bersama seorang laki-laki, yang kata anaknya adalah kekasih yang sangat dicintai si putri keras kepala keluarga Winandar.
"Ck!"
Tuan besar dari keluarga Gwentama ini hanya bisa berdecak kesal, saat hari pernikahan anaknya harus berantakan seperti ini. Padahal, ini adalah kali pertama anaknya menyetujui bahkan mengusulkan seorang wanita, untuk dijadikan istri atau Nyonya muda di keluarga Gwentama. Wanita yang akan melanjutkan garis keturunan Gwentama, bersama anak satu-satunya hasil dari pernikahannya dengan sang istri.
"Lalu bagaimana? Kami tidak ingin menanggung malu. Apa yang harus kita lakukan, di luar sana tamu sudah menunggu, awak media siap meliput pernikah ini. Tidak mungkin kita membubarkan begitu saja acara ini, mau di letakkan di mana wajah kami?" cecar Tuan Gwentama sambil memijat pangkal hidungnya frustrasi.
Tari yang dari tadi menunduk dengan wajah takut seketika memasang senyum. Ia mengangkat wajahnya dengan binar semangat, kemudian bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Tuan Gwentama yang justru balas menatapnya dengan alis terangkat penasaran.
"Tuan Gwentama, sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?" sela Tuan Gwentama cepat, saat Tari ingin menyampaikan sesuatu, tapi juga terlihat takut.
"Sebenarnya, kami masih memiliki satu anak perempuan. Dia juga cantik, pintar dan anggun. Tuan muda Gwentama juga pasti akan suka, jika melihat rupa dari anak kedua kami."
Tari dengan nada takut menjelaskan maksudnya, memuji anak dari istri kedua suaminya agar apa yang diinginkan olehnya bisa tercapai.
Ini untuk Aliana, batin Tari.
Dalam hati Tari meminta agar pernikahan ini tetap berjalan, sehingga mereka tidak perlu menanggung malu. Setidaknya jika pernikahan batal, mereka tidak akan dimintai ganti rugi, karena bukan mereka yang membatalkan.
Cepat jawab iya, lanjutnya masih dalam hati saat calon besannya memasang ekspresi berpikir.
Selain Tari, Randra dan Tuan Gwentama, ternyata ada satu orang lagi yang hanya mendengar pembicaraan ini. Seseorang itu adalah istri dari Tuan Gwentama, mama dari calon mempelai pria yang merasa terpukul dengan cobaan ini.
Dalam hati yang terdalam ia tidak peduli, siapa yang akan menggantikan posisi calon menantunya untuk dijadikan istri anak satu-satunya nanti. Karena apa, karena yang ia pikirkan saat ini adalah putranya, yang sedang menunggu dengan hati berbunga di tempat akad nikah sana.
Ia tahu dengan jelas seperti apa rasa bahagia sang putra, tapi saat melihat kenyataan sebenarnya ia ikut sedih karena anaknya harus menikah dengan istri pengganti.
Wanita lainnya yang akan menggantikan posisi calon istri, seperti apa yang sedang didiskusikan oleh suami dan calon besannya.
Ya Tuhan, kenapa anakku harus menyukai wanita tidak bermoral seperti anak pertama keluar Winandar? Tapi aku juga merasa kasihan, jika ada wanita lainnya yang harus jadi pengganti. Bagaimana jika putraku tidak menerima ini semua, bagaimana dengan nasib istri pengganti itu nanti, batin nyonya Gwentama sedih.
Ia melihat dengan tangan senantiasa memijat pangkal hidung, saat masih mendengar diskusi antara suami dan calon besannya, yang akhirnya menemui kesepakatan.
"Baik-
Brak!
Baru saja Tuan Gwentama ingin menyetujui usulan Tari, tiba-tiba terdengar pintu yang didobrak dan terbuka dengan seorang pria muda menatap marah ke arah papa serta wanita paruh baya yang adalah Tari, calon ibu mertuanya nanti.
"Apa maksudnya ini, Pah!"
"Jayden!"
Sebelumnya ...
Di ruang tunggu mempelai pria, ada seorang pria yang duduk berdiri di depan jendela, memandang ke arah luar dengan perasaan senang luar biasa. Bagaimana ia tidak senang, jika ia sebentar lagi akan menjadi suami dari seorang wanita yang ia gilai dari ia masih kuliah dulu.
Hatinya berbunga dengan debaran kencang, saat pukul menunjukkan waktu kurang tiga puluh menit sebelum acara sakralnya. Ia gugup luar biasa, takut salah menyebut nama wanita calon istrinya saat ia akan menikahinya.
"Akh! Kenapa gelisah sekali, melebihi waktu pertama kali meeting," gumamnya sebal. Ia berjalan kesana-kemari untuk menghilangkan rasa gugupnya, tapi sayang ia malah semakin gugup.
"Sebaiknya aku keluar, lebih baik datang lebih awal," putusnya, karena ia bingung ingin apa di ruangannya sendiri tanpa ada seseorang yang menemani.
Ia pun melangkahkan kakinya, berjalan menuju pintu berniat untuk ke tempat akad nikahnya, melewati ruang keluarga yang pintunya tertutup, tapi kenapa ada suara sang papa yang sepertinya sedang kesal.
Ada apa? batinnya bingung.
Ia tadinya ingin meninggalkan begitu saja pintu ruangan itu, tapi saat mendengar kata kabur ia pun terdiam dan dengan rasa penasaran tinggi, ia pun berdiri di depan pintu untuk mencuri dengar apa yang dibicarakan di dalam.
Seketika amarah menguasai hati dan pikirannya, jadi dengan helaan napas memburu ia pun memegang handle pintu dan membuka pintu ruangan tersebut dengan dorongan kasar. Sehingga perbuatannya itu menimbulkan bunyi dobrakan lumayan keras, dengan sang papa dan seorang wanita asing menatap kaget ke arahnya.
"Apa maksudnya ini, Pah!"
"Jayden!"
Ya, Jayden adalah si mempelai pria. Ia dengan tangan mengepal kesal menatapnya papanya tidak terima, saat mendengar sang papa menerima begitu saja rencana istri pengganti untuknya hari ini.
Sedangkan sang papa, Bendi Ari Gwentama hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca. "Jay, Papa akan jelaskan."
Aku tidak mau istri pengganti, aku mau dia seorang, batin Jayden dengan hati emosi, menatap sang papa yang berjalan menghampirinya dan membawanya untuk duduk di samping sang mama, yang diam melihatnya dengan ekspresi sedih.
Sial, lanjutnya saat melihat kesedihan di kedua bola mata sang mama.
Bersambung