Kediamanan Winandar
Hari-hari berlalu begitu saja, saat Kinara menjalaninya dengan hati sedikit senang, ketika dirinya berbaur dengan teman di kantornya. Setidaknya saat dirinya ada di kantor, ia akan sejenak melupakan masalah kehidupannya, apalagi saat dirinya sibuk akan pekerjaan barunya.
Pekerjaannya di kantor adalah bagian pembukuan. Meskipun pekerjaannya penuh dengan tugas mencatat, tapi ia dan rekannya bekerja dengan santai juga teratur.
Di dalam kamarnya, Kinara sedang berdiri menghadap sebuah gaun pernikahan, gaun yang beberapa hari lalu sampai setelah perombakan di banyak bagian.
Gaun cantik dengan model backless ball gown sedikit menjuntai ini terlihat minimalis. Dengan desain v-neck ditambah pita di bagian tengah pinggang, membuat gaun ini dan orang yang akan memakainya terlihat manis dan modern.
Dalam hati Kinara berpikir, jika saja pernikah ini adalah kehendaknya, ia akan sangat bahagia memakai gaun yang sungguh terlihat sempurna ini.
Flawless ... Sempurna, tapi ... Adakah kesempurnaan di kehidupannya di masa mendatang, terlebih ia tahu jika dari awal sang kakaklah yang diinginkan pria itu.
Namun, ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya, terlebih calon suaminya. Jadi yang saat ini ia lakukan adalah menerima dengan sabar, tetap menjalani dengan senyuman.
"Apapun, jika itu memang takdir dari-Mu aku akan menerimanya. Tapi, bisakah aku meminta, jika saat suamiku belum bisa mencintaiku, jangan buat aku lemah dan mudah menyerah karenanya. Biarkan aku berjuang dan menjadi istri berbakti untuknya, Tuhan…."
Waktu sudah malam, tapi kenapa matanya enggan menutup untuk menjemput dunia mimpi, tempat paling nyaman di kehidupannya.
Tiga hari dari sekarang, kehidupan lamanya akan berubah dengan kehidupan baru yang akan dijalaninya untuk selamanya.
"Huft ... Aku harus istirahat," gumamnya, kemudian menutup mata berharap lelap segera menjemputnya.
Di kamar lain, tepatnya di kamar kakak dari Kinara. Ada Aliana yang saat ini sedang sibuk dengan persiapannya untuk pergi sementara hingga hari pernikahan.
Ini adalah rencananya, ini adalah keinginannya, apapun keinginannya adalah mutlak.
Ia dan sang mama sudah merangkai kepergiannya saat hari pernikahannya atau juga satu jam sebelum pernikahan. Saat itu ia akan pergi dari rumah seperti rencana, bersama kekasihnya yang tahu jika ia sebenarnya akan menikah dengan keturunan Gwentama.
Tok! Tok! Tok!
Ia menoleh ke arah pintu yang di ketuk dari luar, lalu menemukan sang mama yang berdiri dengan pintu terbuka sedikit.
"Mah," gumam Aliana, saat melihat mamanya melangkah masuk menghampirinya dan duduk di tepi ranjangnya.
"Kamu yakni dengan keputusanmu ini Liana? Tidakkah kamu memikirkan lagi untuk kebaikanmu kedepannya?" tanya Tari mencerca, merasa sedih saat sang anak melepas kesempatan emas begitu saja.
Sebenarnya seperti apa kekasih dari anak kesayanganya, sampai keturunan Gwentama pun ditolak oleh anak cantiknya.
"Yakin Mah dan ini sudah yang keberapa kalinya Mama bertanya tentang keputusan aku," balas Aliana dengan keyakinannya yang bulat diambilnya
Ia mencintai kekasihnya, kekasihnya juga berjanji akan menikahinya, maka itu ia berani ambil keputusan ini. Ia tahu jika keturunan Gwentama tidak diragukan lagi kekayaannya, tapi ia tidak mencintai dan cenderung membenci satu-satunya keturunan keluarga itu yang selama beberapa tahun ini satu kampus dengannya.
"Mama sebenarnya tidak yakin, Mama masih lebih memilih pernikahan dengan keluarga Gwentama. Mam-
"Mah, please. Aku tidak mau membahas ini lagi, jadi aku mohon, Mama terima keputusan ini Atau Mama lebih memilih melihat aku mat-
"Tidak, Mama Mohon jangan kamu ulangi kata-kata itu lagi. Mama tidak bisa kehilanganmu, Sayang."
Keduanya sama-sama saling menyela, saat masing-masing masih mengeluarkan pendapat, dengan Aliana yang mengancam sang mama menggunakan nyawanya sendiri.
"Liana sangat mencintainya, Mah. Mama juga harus tahu kalau kekasihku pun sangat mencintai Liana. Setelah pernikahan Nara, Liana janji akan pulang dengan kabar baik. Tentunya pulang dan siap dengan hari pernikahan kami kelak. Mama tenang saja yah," ujar Aliana meyakinkan sang mama yang akhirnya mengangguk, meski dalam hati masih juga khawatir.
"Janji dengan Mama, kamu akan bahagia dengan kekasihmu di sana. Oke?" pinta Tari dengan sungguh-sungguh, sehingga sang putri kesayangan pun mengangguk dengan senyum lebar, saat sang mama luluh juga.
"Tentu, tentu Mah," sahut Aliana cepat dengan nada bahagianya.
Mereka berpelukan, dengan Randra yang melihat dari depan pintu sana sambil mengepalkan tangan menahan kesal. Ia tidak habis pikir, kenapa sang anak tega mengorbankan anaknya yang lain untuk kebahagiaannya sendiri.
Tapi Randra juga tidak bisa menyalahkan Aliana. Karena ini juga salahnya, yang menerima begitu saja lamaran itu tanpa bertanya dulu, apakah anaknya sudah punya atau belum seorang kekasih dalam hidupnya.
Ia pun meninggalkan kamar putri keras kepalanya. Memilih untuk mendatangi anaknya yang lain, anaknya yang akan jadi istri pengganti, yang akan menikah tiga hari lagi dari sekarang.
"Maafkan Papa, Naraku sayang."
Yah ... Hanya kata maaf yang mampu ia ucapkan, itupun di belakang, alih-alih menyampaikan secara langsung kepada anaknya, anaknya yang selalu mengalah dengan anak satunya.
Ia bersyukur saat mendiang istrinya menurunkan sifat lembut dan penurut kepada putrinya—Nara. Sehingga ia pun selalu merasa bangga sekaligus bersalah dengan Nara yang selalu menerima apapun itu perintahnya.
Salah satunya mengorbankan perasaan dan masa depan.
Di depannya saat ini ada pintu kamar berwarna coklat tua, pintu kamar anaknya. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu, kemudian mengetuknya pelan dengan sahutan terdengar tak lama kemudian.
Tok! Tok! Tok!
"Siapa?!"
Terdengar sahutan dari dalam, Randra pun menghela napas sebelum menjawab, pertanyaan dari anaknya yang ada di dalam sana.
Huft!
"Ini Papa, Nara…."
Ceklek!
"Papa! Papa belum istirahat?" tanya Kinara setelah membuka pintu, dengan sang papa yang berdiri dan menatapnya datar, menyembunyikan kenyataan sebenarnya tentang hati dan rasa ingin memeluk sang anak.
"Boleh Papa masuk?"
Randra bertanya alih-alih menjawab pertanyaan sang anak, membuat Kinara meringis dalam hati merasa jika sang papa masih bersikap dingin kepadanya.
"Boleh, Pah," balas Kinara, kemudian membuka sedikit lebar pintu kamarnya, membiarkan sang papa masuk dan duduk di kursi tempat biasa ia mengerjakan pekerjaannya.
Kinara menutup pintu kamarnya pelan lalu membalikkan tubuhnya, menatap sang papa yang juga menatapnya dalam diam.
"Duduklah Nara," perintah sang papa, sehingga ia pun mengangguk dan berjalan pelan menghampiri sang papa, kemudian duduk di depan sang papa sesuai keinginan yang didengarnya.
"Ada apa, Papa?" tanya Kinara saat sang papa hanya diam, belum membuka sepatah katapun semenjak duduk di kursi kerjanya.
Ia melihat sang papa yang akhirnya tersenyum untuknya, sehingga ia pun tidak bisa menutupi rasa senangya dengan balas tersenyum pula.
"Tidak ada, Nara. Papa hanya ingin melihatmu saja, apa tidak boleh?" tanya Randra pura-pura marah, sehingga Kinara pun buru-buru mengayunkan telapak tangannya, menolak ucapan sang papa.
"Tidak, tidak. Em, maksud Nara, Nara senang bisa melihat Papa duduk di hadapan Nara, di kamar ini," lirih Kinara malu.
Randra terkekeh kecil saat melihat kelakuan lucu anaknya. Ah! Seketika ia menyesal saat dulu ia terlalu takut kepada istri dan mertuanya, sehingga ia selalu mengabaikan Kinara di waktu dulu.
Seharusnya ia bisa mencuri waktu seperti ini, agar dirinya bisa melihat pertumbuhan putrinya lebih jelas dan tahu dengan lebih rinci bagaimana sampai bisa tumbuh menjadi wanita cantik, lembut dan baik hati.
"Kinara," panggil Randra lirih, membuat Kinara menatap papanya bertanya, dengan sang papa yang melihatnya lagi-lagi tersenyum.
"Iya, ada apa, Pah?"
"Terima kasih, kamu sudah menyelamatkan keluarga Winandar dari rasa malu."
Gelengan kepala adalah yang Kinara berikan sebagai jawaban pertanyaan sang papa. "Tidak Papa, ini sudah tugas Nara sebagai putri keluarga Winandar. Nara juga hanya ingin Papa bahagia, itu saja," balas Kinara tulus, membuat Randra terharu saat mendengarnya.
"Terima kasih, Nara," gumam Randra sambil menunduk. "Setelah ini, Papa harap kamu bahagia," lanjutnya sambil mengangkat wajah dan ia mendapati sang putri melihatnya dengan ekspresi yang mudah sekali terbaca.
Diam, Kinara kali ini hanya diam saat sang papa berkata seperti itu. Tapi percayalah, dalam hati ia merasa hangat saat sang papa menatapnya, bukannya mengalihkan wajah ke arah lain seperti waktu dulu.
"Maafkan Papa ya, jika selama ini tidak menjagamu dengan baik dan benar. Tapi, Papa harap kamu akan bahagia, dengan suamimu kelak, Nak."
Masih diam, tapi di dalam hati Kinara senang luar biasa saat bisa melihat dan mendengar sendiri, bagaimana sang papa menampilkan senyum lembut dan juga tutur kata lembut pula.
Meskipun awalnya ia sangat kecewa dengan sang papa, tapi sekali lagi ia berpikir jika apapun itu yang diperintah sang papa kepadanya, ia tahu jika itu yang terbaik untuknya.
"Tidak, Papa tidak perlu minta maaf. Nara sangat mengerti, Nara juga akan bahagia, sesuai dengan apa yang dikatakan Papa. Karena Nara yakin, jika itu adalah pilihan Papa maka Nara pasti akan bahagia," tandas Kinara dengan tegas. Sehingga Randra pun berdiri dari duduknya, kemudian membawa putrinya ke dalam pelukanya, pelukan pertama saat Kinara sudah sebesar ini.
Grep!
Kinara terisak sedih, saat sang papa lagi-lagi membisikkan kata maaf, serta mengusap lembut punggung dan rambutnya.
"Maaf, maafkan Papa Nara."
"Tidak, justru Nara yang harus berterima kasih," timpal Kinara cepat, dengan kepala menggeleng pelan.
Pasangan papa-anak ini pun saling mengucapkan terima kasih dan saling memaafkan, dengan isak kecil dari Kinara mengiringi, juga tanpa diketahui olehnya, ternyata sang papa pun sebenarnya menitikkan air matanya.
Terima kasih Mariska, telah melahirkan putri dengan hati baik seperti Kinara, batin Randra masih dengan memeluk putrinya.
Bersambung