Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Kediamanan Winandar
Pagi hari menyambut dengan cerah, sinar mentari pagi membuat pagi dingin hari ini, menjadi sedikit hangat. Di sebuah kamar yang letaknya di lantai dua, ada seorang gadis masih tertidur dengan dengkuran halusnya.
Tapi tidak lama saat cahaya matahari mengintip melalui celah hordeng kamarnya menyinari dengan nakal wajahnya, sehingga si empunya wajah terganggu.
Kinara namanya, ia bangun setelah mengedip-ngedipkan kelopak matanya, membiasakan cahaya yang memasuki retina matanya.
Hoam!
Ia menguap setelah duduk dari tidurnya, kemudian merentangkan tangan merenggangkan ototnya yang kaku, pasca bangun tidur.
Setelahnya ia pun turun dari tempat tidurnya, membuka jendela kamarnya dan tersenyum kecil.
"Selamat pagi, Ibu. Selamat pagi dunia," gumamnya lirih.
Hari ini ia ada wawancara di perusahaan, yang minggu kemarin ia masukkan lamaran.
Ia tidak sabar untuk memulai pekerjaannya, ya.... Meskipun ia sendiri belum yakin, jika ia nanti diterima bekerja di perusahaan tersebut.
"Baiklah, Nara, kamu harus semangat."
Setelah mengucapkan kalimat semangat untuk diri sendiri, ia pun keluar kamar turun ke dapur untuk membantu ibu Yati, asisten rumah tangga yang sudah ia anggap sebagai ibu sendiri.
Dari pintu tempatnya berdiri, ia bisa melihat ibu Yati sedang mengaduk sesuatu di penggorengan dengan gerakkan lincah dan ia tersenyum kecil melihatnya.
"Selamat pagi, Bu!" sapa Kinara, kemudian berdiri di samping Yati yang ikut menoleh ke arahnya.
"Selamat pagi, Nara. Bukan kah hari ini kamu ada wawancara kerja?" balas dan tanya Yati, lalu kembali fokus pada penggorengan.
"Iya.... Tapi aku mau bantu Ibu dulu, baru aku siap-siap," sahut Kinara membenarkan, berjalan ke arah tempat cuci piring, kemudian mencucinya tanpa di suruh.
"Loh-loh-loh.... Kamu ini bagaimana sih. Bukannya bersiap-siapa, malah bantu pekerjaan Ibu," gerutu Yati.
Kinara tersenyum saat mendengar gerutuan wanita paruh baya, yang dari dulu baik kepadanya. "Masih lama juga, Bu," balasnya asal.
Mereka mengerjakan pekerjaan dengan cepat, hingga selesai dan Kinara pun bergegas ke atas untuk mandi dan bersiap melakukan wawancara kerja.
Skip
Gwentama Tbk
Saat ini Kinarara sudah sampai di depan gedung pencakar langit. Ia menghadap ke arah gedung tersebut dengan perasaan takut dan senang di saat bersamaan. Ia berharap akan di terima bekerja oleh perusahaan yang hari ini ada janji wawancara dengannya.
Memasuki dengan langkah pelan, Kinara merasa jika ia sedang ditatap sedemikian rupa, dari orang-orang di sekitarnya.
Ada apa, ini? batin Kinara bingung.
Namun ia memutuskan untuk tidak peduli dengan mengangkat bahu tak acuh, melanjutkan langkahnya menuju meja informasi dan bertanya tempat untuknya melakukan wawancara.
Ting!
Lift pun terbuka, menampilkan sosok laki-laki yang keluar dengan sorot mata tajamnya.
Kinara yang telah mengetahui ruangan dan berdiri menunggu lift, melihat dengan kening mengernyit ketika seorang pria keluar dari sana, ia seperti pernah bertemu dengan pria itu.
"Hmm ..."
Tanpa menoleh sekitar, pria tadi yang memakai pakaian lengkap dan rapih tanpa cela itu melewatinya begitu saja, tentunya setelah mengirim lirikan tajam untuknya.
Dan itu membuat Kinara yang merasa dilirik merinding seketika, ah... Ia ingat, pria tadi itu adalah pria yang kemarin lusa bertabrakan dengannya.
Astaga benar-benar menyeramkan, pikirnya sambil bergidik.
"Tapi dia itu siapa?" gumamnya penasaran. Ia pun memasuki lift dan menekan tombol, sesuai dengan instruksi yang diberika dari mba di meja informasi.
Ting!
Pintu terbuka di lantai yang ia tuju, ia pun keluar dari lift dan berjalan sedikit ke arah kanan dan seketika kaget, saat melihat ternyata bukan hanya dirinya yang akan melakukan wawancara. Ia semakin merasa pesimis, saat melihat penampilan masing-masing peserta wawancara.
"Oke..., pokoknya harus semangat Nara!" batinnya berseru.
Ia pun melangkah dengan percaya diri, duduk di kursi kosong dan menunggu nomor yang baru ia ketahui adalah nomor antrian untuk wawancara nanti.
Dan masih lama ternyata.
Huft .... Ia sekali lagi menghela nafas, meyakinkan diri jika ia pasti di terima.
Cukup lama ia menunggu, hanya tersisa beberapa orang yang kebetulan juga baru datang.
"Kinara Mariska!"
"Saya!"
Ia pun bangun dari duduknya, saat namanya di sebut dan bergegas memasuki ruangan dengan beberapa orang duduk, sambil melihat-lihat berkas serta tatapan menilai untuknya.
"Silakan duduk!" ujar salah satu dari mereka.
Ia pun duduk dengan sedikit gugup, ia sekali lagi menghembuskan nafas dan tersenyum.
"Perkenalkan diri!"
"Baik, nama saya Kinara Mariska. Umur saya...."
Pertanyaan demi pertanyaan di lontrakan untuknya, dari sekedar pertanyaan alasan memasukkan kerja hingga lain sebagainya.
Ia menjawab semuanya dengan tenang, membuat beberapa orang yang mewawancarainya mengangguk, entah karena apa.
Yang pasti ia berharap anggukan itu adalah anggukan pertanda baik.
"Baiklah, wawancara selesai. Beberapa hari lagi, jika kami menerima lamaran anda, kami akan akan menghubungi anda. Apa sampai sini paham?"
"Paham, Pak!" sahut Kinara dengan kepala mengangguk mengerti. Ia pun keluar dari ruangan dengan senyum cerah, berharap beberapa hari yang akan datang, kabar yang baik adalah kabar yang akan di terimanya ia bekerja.
Kinara bukan orang yang akan pergi jika tidak ada keperluan, tapi karena hari juga belum seberapa sore, jadi ia putuskan untuk mampir ke suatu tempat, tempat biasa ia mengadu.
Maka di sinilah ia, di hadapannya ada gundukan tanah dengan rumput liar mulai tumbuh.
Astaga.... Berapa lama ia tidak menjumpai sang ibu di tempat istirahatnya.
Sambil mencabuti satu per satu tamanan liar itu, bibirnya tidak henti bercerita tentang kejadian beberapa waktu ini.
"Hai Bu.... Apa kabar? Maaf ya Nara baru menjumpai ibu lagi, Nara akhir-akhir ini sibuk. Nara juga tadi baru menghadiri wawancara kerja loh, doakan Nara ya Bu supaya Nara diterima dan mendapatkan pekerjaan ini."
Bibirnya tersenyum puas, saat akhirnya makam sang ibu bersih dari tanaman liar. Ia meletakkan bunga lily putih, di atas makam bagian kepala sang ibu.
Tidak ada tangisan.... Ia berhenti menangis sejak beberapa tahun yang lalu, ia juga berjanji akan seperti itu selamanya.
Yah ... Semoga saja.
Ia terus bercerita hingga matahari sore hampir tenggelam, selalu seperti ini jika ia ada di sini. Seakan ada sang ibu yang menemaninya bercerita.
"Baiklah ibu, Nara harus pulang. Jika tidak, Papa khawatir dan akan mencari Nara."
Ia pun berdiri dari duduknya, tersenyum untuk terakhir kalinya dan pergi meninggalkan area pemakaman dengan langkah ringan.
Bebannya sedikit terangkat saat bisa berbicara dengan sang ibu, meskipun tidak ada jawaban akan segala pertanyaan, ia cukup senang saat bisa berbagi seperti tadi. Dengan senyum mengembang Kinara pulang, tanpa tahu jika itu adalah hari terakhirnya bisa tersenyum di dalam kehidupannya kelak.
Sesampainya di kediamanan sang Papa, Kinara seperti biasa menyapa para pekerja dan juga tentu saja ibu Yati, yang memandangnya dengan tatapan yang tidak ia mengerti.
Ada apa, batinya bingung.
Ia hendak bertanya, tapi sayangnya ibu Yati hanya diam sambil mengusap pipinya lembut dan tersenyum sedih.
"Semoga bahagia selalu, Nara sayang."
Itu adalah kata-kata yang paling tidak ia mengerti.
Semoga bahagia, biasanya di ucapkan saat akan memberikan selamat kepada orang yang mau menikah.
Namun, siapa yang akan menikah?
Sebenarnya ada apa ini? Aku tidak mengerti, batin Kinara semakin penasaran.
Ia segera berjalan ke arah kamarnya, membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan baju rumah.
Deg! Deg! Deg!
Entah kenapa semenjak mendengar perkataan ibu Yati ia merasa tidak tenang. Ia menghadap cermin di dalam kamarnya dan memegang dadanya, saat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Semoga tidak terjadi apa-apa," gumamnya melanjutkan lagi acara menggosok rambutnya.
Makan malam tiba ....
Seperti biasa ia akan membantu menyiapkan makan malam, sebelum papanya duduk di meja makan, ini perintah mama sambungnya jadi ia harus selalu mengingatnya.
Di meja itu sendiri kini sudah ada sang papa—Randra Winandar, sang mama dan tentu saja kakaknya. Mereka berempat termasuk Kinara makan dengan suasana sunyi, membuat ia merasa aneh meskipun sebelumnya juga seperti ini.
Di akhir acara makan sang kepala rumah tangga atau juga papanya angkat bicara, menyuruhnya untuk berkumpul di ruang keluarga. Sesuatu yang jarang sekali terjadi untuknya dan itu membuatnya tidak enak seketika.
"Nara... Sehabis ini, temui Papa di ruang keluarga, paham?"
"Paham, Pah."
Dan di sinilah Kinara duduk mendengarkan dengan seksama apa yang di ceritakan oleh sang papa, dnegan perasaan bercampur dan hati hancur ketika dirinya dijadikan seorang pengganti untuk kebahagian sang kakak.
"Tapi Yah!"
"Ini permintaan Papa seumur hidup, Nara. Jadilah pengganti untuk kakakmu menikahi pria yang sudah melamarnya."
Bersambung