Hotel Grand Elty Kota X
Kamar denga hiasan khas pengantin ini adalah tempat dimana seharusnya pasangan saling mencintai berada, bukankah seperti itu?
Kinara menatap nanar ranjang dengan kelopak mawar bertabur di sana, seakan mengejeknya yang hanyalah istri tidak diharapkan oleh seorang suami.
Pesta tetap berlanjut meski ia meninggalkan ruangan. Ya, apa hubungan dirinya dan pesta yang berlangsung, karena pada kenyataannya saja sang suami tidak menginginkannya.
Tidak apa-apa, ia hanya sedang menjadi seorang anak yang berbakti kepada dua orang tuanya. Anggap saja ini balas budi karena papa dan mamanya merawatnya selama enam belas tahun.
Ya, tidak perlu dibawa pusing apalagi sampai diratapi apa yang sudah menjadi suratan takdirnya.
Kinara, adalah wanita yang kuat. Benar kan, Ibu?
Kinara hanya bisa tersenyum dengan apa yang dikatakannya dalam hati. Ia melihat sekali lagi ranjang di sana, sebelum akhirnya berjalan ke arah balkon dan memutuskan untuk melihat langit malam di atas sana.
Langit lebih indah dibandingkan sebuah pesta palsu, bukankah seperti itu?
Lama Kinara berdiri dan menatap langit di atas sambil melamun sampai-sampai tidak menyadari, jika sang suami telah memasuki kamar pengantin mereka. Ia tetap melanjutkan lamunannya, melihat bintang di atas sana dengan renungan, akan ingatan masa lalunya, tepatnya saat ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ayahnya.
Kehidupan sewaktu ia kecil berbanding balik dengan kehidupan remajanya. Meskipun sewaktu kecil ia hidup dengan sederhana, bersama mendiang ibunya, ia tetap merasakan kebahagiaan dan kehangatan, disetiap kasih sayang yang ibunya berikan.
Tapi lihat saat ini, tanpa tendeng alih-alih sekarang sudah memiliki suami, melalui pernikahan tanpa cinta di dalamnya.
Meskipun dia tidak mencintaiku, aku harap dia tidak mengganggu atau juga membenciku. Bila perlu, dia tidak usah menganggapku ada, pinta Kinara dalam hati.
Di saat ia larut dalam lamunannya dengan banyak permintaan sederhana baginya tiba-tiba saja terdengar deheman dari arah belakang, membuatnya kaget dan segera menoleh ke arah pintu balkon kamarnya.
Ehem!
"Sedang apa kamu?" tanya sang suami dengan nada datarnya.
"Tidak, aku tidak sedang apa-apa," cicit Kinara segera menundukkan kepalanya, saat mendapat tatapan tajam dari suaminya.
"Masuk! Ada yang perlu kita bicarakan," perintah Jayden dengan tegas. Kemudian membalikkan tubuhnya, memasuki kamarnya lagi tanpa menunggu istrinya.
Tidak peduli, pikirnya.
Kinara menghela napas dalam, sebelum melangkahkan kakinya mengikuti jejak suaminya, memasuki kamar dengan sang suami yang duduk di sofa dengan gaya elegan bertopak kaki.
Sungguh, kalau saja ia tidak menerima perlakuan seenaknya dari pria di depanya, ia akan dengan senang hati mengatakan kalau suami sekaligus direktur di perusahaan tempatnya bekerja adalah pria paling tampan di hidupnya.
"Duduk!" perintah Jayden masih dengan nada datar, lengkap dengan tatapan tajam ke arah Kinara yang hanya mampu bergerak kaku di hadapan suaminya.
Ia pun duduk dengan gerakan kaku, serta kedua tangan saling bertaut gelisah.
Apa lagi, pikirnya dalam hati.
Hening sesaat, ketika kedua masih saling diam dengan Jayden yang masih melihat istrinya datar. "Ehem ... Sebelumnya, aku akan kasih tahu kamu satu hal. Kalau mulai besok hingga nanti kamu aku ceraikan, kamu akan tinggal di apartemenku. Ingat, tinggal pun bukan cuma-cuma, aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut, karena aku rasa kamu tahu apa yang aku maksud."
Jayden menjelaskan masih dengan nada datarnya, kepada Kinara yang diam-diam menangis dalam hati.
Bukan, bukan masalah dengan perkataan Jayden yang terakhir, tapi lebih ke perkataan pertama tentang ia yang menunggu dicerailah kata yang membuatnya sakit hati.
Bagaimana bisa seorang pria yang baru berapa jam menikahi dan resmi jadi suaminya, dengan gampang dan entengnya mengucapkan kata cerai. Seakan cerai adalah hal yang mudah untuk dijalankan.
Benar kata cerai sangat mudah diucapkan, tapi apakah pria di depannya ini tidak memikirkan bagaimana dampak baginya yang hanya seorang wanita.
Bagaimana dengan pandangan orang-orang di luar sana, terlebih menjadi janda seakan menjadi momok yang sangat dihindari para wanita.
Apa ada orang yang lebih kejam dari suamiku, suami sekaligus pemimpin di perusahaanku. Padahal awalnya aku menilainya sebagai pemimpin yang sempurna, tapi apa ini, dia tidak lebih dari seorang pria durjana, yang menggampangkan apa yang menurutnya benar, batin Kinara miris.
Ia hanya mampu terdiam, masih mendengar apa lagi yang akan dibahas oleh suaminya. Sebisa mungkin wajahnya tetap menunduk, ia sama sekali tidak sudi melihat rupa wajah sempurna suaminya yang memiliki hati iblis
"Untuk saat ini, hanya itu yang ada di pikiranku. Sekarang aku ingin istirahat, kamu boleh istirahat di manapun tempat yang ingin kamu tempati. Asal tidak tidur di sebelahku, aku tidak sudi tubuhku bersentuhan denganmu," lanjut Jayden sinis, melanjutkan kata-kata tidak berperasaannya kepada Kinara yang sama sekali tidak menjawabnya.
Ya, Kinara bahkan tidak mengangguk apalagi bersuara, membuat Jayden yang melihatnya semakin meradang saja.
"Dengar tidak!" sentak Jayden kesal, saat ia merasa tidak dianggap oleh wanita di depannya yang dari awal hanya menunduk.
Ya, wanita di depannya ini bahkan tidak memperlihatkan wajahnya sama sekali, sehingga ia tidak bisa melihat ekspresi dari istri tak diharapakanya itu.
Kinara seketika itu berjenggit kaget, saat mendengar sentakan kasar dari suaminya. Bagaimana ia bisa mendengar dengan fokus apa yang diucapkan suaminya. Jika ia sendiri masih menata hatinya yang sakit, pasca mendengar perkataan tidak berperasaan suaminya.
"Iy-iya, maaf," cicitnya takut.
"Kamu ini sepertinya tuli yah? Sampai-sampai aku harus selalu membentakmu, agar kamu mendengar apa yang diucapkan olehku," cibir Jayden sinis.
"Tid-tidak, maafkan aku. Aku mengerti apa yang kamu katakan tadi," jawab Kinara dengan nada takut, sedikit mengangkat wajahnya, tapi buru-buru ia turunkan lagi saat melihat ekspresi murka suaminya.
"Mengerti apa? Coba kamu sebutkan apa yang sudah kukatakan," tantang Jayden masih dengan nada sinisnya.
"Aku, aku boleh istirahat, tapi tidak boleh satu tempat tidur yang sama denganmu," jawab Kinara dengan tangan bertaut gelisah.
Dalam hati ia berdoa untuk malam hari ini, jika apa yang tadi ia dengar benar begitu adanya. Ia tidak ingin di malam hari pertamanya, sang suami merasakan perasaan lebih dari kesal terhadapnya.
"Itu salah satunya, bagus. Ingat batasanmu, ingat apa yang kukatakan jika aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini, paham!?" timpal Jayden puas, setelah kembali mengingatkan Kinara akan apa yang dikatakannya.
Setelahnya, ia pun berdiri dari duduknya tanpa menunggu jawaban dari Kinara. Ia berjalan menghampiri koper kecil miliknya, mengambil pakaian ganti dan berjalan ke arah kamar mandi, tanpa melihat lagi ke arah Kinara yang akhirnya bisa bernapas lega.
Blam!
"Fyuh ... Astaga, auranya melebihi aura saiton, seram sekali," desah Kinara lega, dengan napas kembang-kempis. "Tapi apa harus yah, dia kejam seperti itu kepadaku," lanjutnya dengan bibir melengkung miris.
Sambil menunggu Jayden yang saat ini sedang mandi, Kinara berdiri di depan jendela kamar hotel, melihat halaman luas hotel yang tidak sepi meski waktu telah menunjuk angka dua belas.
Disaat ia melihat dengan fokus pemandangan di luar sana. Ia dikagetkan dengan bunyi ketukan pintu, dari arah luar kamarnya.
Dahinya mengernyit, saat berpikir siapa gerangan orang yang ada di luar sana. Tidak mungkin jika itu petugas kamar, saat ini sudah terlalu malam untuk mengganggu. Atau pelayan restoran, yang mengantar mereka makanan, tapi ia sama sekali tidak memesan makanan dan juga Jayden tidak bilang apa-apa.
Tidak ingin penasaran dengan seseorang yang mengetuk pintunya, Kinara pun dengan segera berjalan menuju pintu, melihat lubang di pintu sebelum membukanya.
Di lihatnya dengan kening berkerut, saat melihat mama mertuanya yang berdiri di depan pintu kamarnya.
Ceklek!
Membuka pintu perlahan, Kinara memasang senyum terbaiknya untuk mama dari suaminya yang juga membalasnya dengan senyum hangat khas seorang ibu.
"Tante, ada apa?" tanya Kinara dengan nada penasaran dan ia dibuat terkesiap, saat melihat perubahan raut wajah mertuanya, hingga ia berpikir jika mertuanya marah dengan ucapannya. "Maaf," cicitnya takut.
Di depannya, nyonya besar Gwentama atau juga Monika (Sutanto) Gwentama yang sedang menahan senyum gelinya saat melihat tingkah lucu menantunya. Menantu atau istri pengganti untuk anaknya, saat istri yang dipinangnya justru meninggalkan tanggung jawab dan pergi, dengan membuat keluarganya hampir menanggung malu.
Ia tidak masalah dengan istri pengganti bernama Kinara, jika wanita yang menjadi pengganti sudah membuatnya sayang disaat pertemuan pertama mereka.
Ya ... Ia, meskipun baru bertemu satu kali sebelum akad, entah kenapa ia sudah dibuat menyukai Kinara. Bukan hanya aura tenang yang menguar dari menantunya, tapi karena wanita di depannya telah mencegah keluarganyam, hingga terhindar dari rasa malu dengan pembatalan acara secara tiba-tiba.
"Kinara, kan," ucap Monika.
Mama Jayden ini bukan bertanya, ia hanya takut salah memanggil nama menantu satu-satunya.
"Eh! Oh, maaf, Iya Tante, saya Kinara."
Nada gugup yang diucapkan oleh sang menantu membuat Monik tidak kuasa menahan kekehannya, membuat Kinara yang tadi takut dengan kepala menunduk mengangkat wajahnya segera.
Kok malah tertawa? batin Kinara bingung.
Ia menatap mertuanya dengan kening berkerut, sehingga Monika yang merasa dipandangi pun menghentikan kekehannya dengan berdehem kecil.
Ehem!
"Kamu tahu siapa saya?" tanyanya dengan senyum geli yang disembunyikan, menuai anggukan kepala pelan dari Kinara yang sejujurnya sudah takut sekali.
Takut membuat mertuanya marah.
"Kamu tahu, apa kesalahan kamu?" tanya Monika dibuat sedingin mungkin.
"Maaf, Nyonya," gumam Kinara semakin takut.
Dalam hati ia berpikir, apa semua keluarga Gwentama selalu dingin dengan orang lain. Sehingga baik ibu ataupun anak, keduanya sama-sama memiliki tabiat serupa. Apalagi Tuan Gwentama, membuatnya tidak bisa merinding saat melihat pria itu di saat akad nikah.
"Kesalahan kamu itu ...."
Bersambung.