Chereads / Kinara: Love Me Please, Jayden. / Chapter 3 - Kebencian Sang Kakak

Chapter 3 - Kebencian Sang Kakak

Selamat Membaca

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Aliana pov on

Terlahir di keluarga Winandar membuat hidupku terlihat sempurna. Mama yang sangat menyayangiku, nenek yang memanjakanku dan juga papa yang menuruti apa mauku.

Perkenalkan aku adalah anak dari pasangan Winandar, namaku Aliana Fransiska Winandar.

Umurku saat ini adalah 23 tahun. Aku sudah lulus dari universitas swasta yang tentu saja biaya administrasinya mahal dan menpunya saudara tiri lain ibu namanya Kinara, tanpa nama belakang karena seharusnya seperti itu.

Ya, karena dia adalah anak hasil hubungan gelap papa dan seorang wanita kampung saat papa ada perjalanan bisnis di luar kota, itu kata mama.

Aku melihatnya dengan tajam, saat itu aku sedang bermain dengan mainan yang baru mamaku belikan. Lalu papa datang membawa anak kecil seumuran denganku dan usia kami hanya terpaut enam bulan.

"Liana, perkenalkan ini adalah adikmu. Namanya Kinara, ayo berkenalan!"

Kalimat itu adalah yang paling aku ingat, dari semua kalimat penjelasan yang papa katakan saat pertama kali aku melihatnya.

Aku menatapnya tidak mengerti, tapi saat melihat mama dan papa terlibat percekcokan dan mama bilang dia adalah anak pembawa petaka, seketika itu juga ak membencinya.

Perhatian papa juga berubah, segala sesuatu yang di berikan padaku, pasti papa akan berikan juga padanya.

Aku tidak suka, aku hanya ingin papa menjadi papaku.

Saat itu aku melihatnya memakai kalung yang sangat cantik, lebih cantik dari miliku dan aku yakin itu pasti papa yang membelikan.

Aku pun mengambilnya paksa tanpa papa tahu, tapi dia bilang ini bukan dari Papa.

Hum.... Dia fikir aku perduli? Tidak, selamanya aku tidak akan peduli kepadanya.

Walaupun aku mendapatkan kalung itu tetap saja rasa marah menguasai. Aku bilang pada mama tentang dia yang dapat hadiah dan mama pun protes kepada papa.

Aku mendiami papa, lalu akhirnya papa meminta maaf padaku dan berjanji tidak akan memanjakan dia seperti aku dimanja olehnya. Tapi aku tidak sengaja tidak membahas masalah aku mengambil kalung itu dari dia.

Aku tersenyum dan memeluk papa saat itu, lalu melihat dengan penuh benci ke arah dia yang juga menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan apa.

Huh.... Kamu fikir aku akan kasihan denganmu, salah siapa datang di tengah-tengah keluargaku dan membuat mama serta papa bertengkar. Kamu itu penganggu, sama seperti wanita yang merebut kebahagian mama.

Kamu pun tumbuh bersama dengan aku yang selalu menjadikannya pembantuku.

Di sekolah pun aku tidak segan untuk menindasnya, meskipun mama memperlakukan dia layaknya pembantu, tapi mama tetap membiarkan dia sekolah.

Emh ... Ini sebenarnya atas keinginanku, aku bilang butuh seseorang untuk membawakan tasku.

Sampai Kami memasuki jenjang sekolah menengah atas, kami selalu satu sekolah dan kelas pun sama.

Dia pintar, dia cantik dan dia selalu punya teman yang mendekatinya tanpa pandang siapa dia. Aku juga memiliki beberapa teman, tapi mereka hanya tahu Aku Si nona muda keluarga Winandar.

Muak.... Tapi setidaknya mereka tidak ada yang macam-macam denganku dan selalu ada di pihakku.

Di sekolah banyak yang menyukainya, termasuk Kakak kelas yang sangat terkenal karena paras tampan dan prestasi gemilang.

Kakak kelas incaranku.

Aku hanya menatap tajam dia dari tempatku berdiri, tentu saja di temani oleh teman-temanku yang ikut mengomporiku.

Aku selalu merasa iri dengannya.

Padahal kami tidak pernah bertegur sapa, kecuali aku menyuruhnya untuk melakukan sesuatu.

Untuk percintaan, untunglah dia tidak pernah menerima setiap pernyataan cinta dari setiap laki-laki di sekolah, bahkan kakak kelas yang paling di incar pun ditolaknya.

Tahun demi tahun Kami lalui bersama namun tidak benar-benar bersama, sudah tahu kan kalau aku membenci dan tidak akan pernah mau berbicara dengannya.

Tahun akhir sekolah akhirnya tiba, sudah saatnya masuk di jenjang perkuliahan. Sayang sekali dia tidak bisa menjadi pembantuku lagi, dia di terima kuliah di universitas negeri dengan beasiswa penuh.

Aku ingin mengikuti jejaknya tapi otakku tidak sampai, aku bukan bodoh, aku hanya malas untuk berfikir kecuali tentang kecantikan.

Mama bilang cantik itu penting, kalau aku cantik aku akan mendapatkan laki-laki dengan mudah.

Di tahun pertama aku kuliah, aku menjadi ratu di kampus.

Heum.... Sudah aku bilang, aku ini cantik.

Banyak yang ingin menjadikanku kekasih mereka, tapi sayang incaranku adalah dia si kakak kelas yang paling kusuka dari masa sekolah atas.

Aku bingung kenapa siswa paling pintar di sekolah, malah tidak lanjut di universitas seperti dia. Tapi terserah yang penting aku bisa bertemu dengannya, aku juga semakin gencar mendekatinya dengan berbagai cara, tapi sayang dia menolakku terus.

Kurang aku apa, kenapa dia menolakku setiap aku mendekatinya.

Tapi aku juga sedikit takut, saat ada laki-laki asing yang tiba-tiba ingin dekat denganku.

Entah lah..., dia selalu melihatku dengan tatapan aneh, seperti rindu namun aku sendiri bingung rindu kepada siapa, sedangkan aku baru bertemu dengannya saat itu.

Hari-hari di kampusku tidak seseru saat SMA, saat ada dia yang bisa aku tindas sesuka hatiku.

Di tambah lagi si lelaki asing, tampan sih, tapi kalau kelakuannya aneh seperti itu aku 'kan takut juga.

Tapi tidak lama, untunglah dia lulus karena dia memang kakak tingkat akhir.

Bertahun-tahun kuliah Aku sudah banyak menjelajah cinta, tapi biasa saja tidak ada yang istimewa.

Bertahun-tahun juga dia, maksudku si lelaki asing itu selalu mendekatiku.

Aku kira dia sudah tidak bisa menemuiku karena dia sudah lulus, tapi nyatanya bahkan lebih parah, dia semakin membuat pergaulan seakan terbatas.

Laki-laki yang dekat dengaku juga selalu di ancamnya.

Dia fikir Aku suka, malah sebaliknya.

Ah ... Akhirnya masa kuliahku selesai juga, meski harus di bumbui kejadian mengerikan, teror cinta buta dari dia, Si Tuan muda yang mengerikan bagiku.

Saat ini aku sedang di ruang tamu, kumpul bersama keluargaku dan juga dia, si pembantuku.

Aku malas menyebut namanya.

Papa sedang membicarakan tentang perusahaan, karena kami sudah lulus kuliah dan artinya sudah saatnya kami ikut membantu papa di kantor.

Nenek memiliki wewenang untuk menunjuk penerus selanjutnya, jadi aku tidak perlu khawatir dengan nasibku. Tapi saat papa bilang ingin memberikan jabatan yang lumayan pada dia, seketika itu juga aku merasa marah kembali.

Aku tidak terima dan dia mengerti dari tatapan mataku, alhasil dia menolak pemberian pekerjaan yang ditawarkan dan papa cukup menerima keputusannya saat itu.

Hum ... Sudah seharusnya seperti itu.

Aliana pov end

Normal pov

Kediamanan Winandar

Sore harinya.

Keluarga Winandar hari ini kedatangan tamu keluarga terpandang dari kota X, mereka juga sedang melakukan pertemuan keluarga.

Kedua keluarga ini sedang membicarakan masalah kelanjutan pernikahan, antara anak-anak mereka, lebih tepatnya Aliana dengan anak satu-satunya dari keluarga yang sedang bertamu tersebut.

Keluarga Winandar menyambut dengan antusias, kapan lagi lamaran langka dari keluarga terpandang datang kepada mereka. Jadi dengan jabat tangan saat telah mencapai kesepakatan bersama untuk pernikahan, Berakhirlah pertemuan dengan ekspresi puas dari masing-masing anggota keluarga.

Malam harinya

Aliana yang baru saja pulang dari kumpul teman lama, harus berhenti saat namanya di panggil dengan semangat oleh sang mama.

"Liana sayang!"

Aliana pun berhenti lalu menghadap ke arah mamanya dengan ekspresi bertanya.

"Iya Mah, ada apa?" tanya Aliana penasaran, ia diam di tempat dan menunggu saat sang mama datang menghampirinya.

"Ada kabar baik!" seru Tari atau juga Betari Gia Winanda dengan semangat.

Aliana yang melihat sang mama memancarkan wajah berseri semakin bingung, alis hasil sulaman dan perawatan mahal miliknya terangkat dengan elegan.

"Ada apa sih, sepertinya senang sekali!" tanyanya semakin penasaran.

"Bagaimana kalau kita bicarakan di kamar saja, oke?" balas Tari, sambil menarik lengan anaknya naik ke atas menuju kamar milik sang anak.

Mereka pun jalan bersama menuju kamar Aliana. Begitu sampai di depan pintu kamarnya, Tari dengan semangat membuka pintu, membuat si empu kamar geleng kepala dengan kelakuan sang Mama.

"Aku ganti baju dulu Mah!" seru Aliana saat melihat mamanya duduk santai di atas tempat tidurnya.

"Iya Sayang, cepat yah!"

"Iya…."

Tidak butuh waktu lama untuk Aliana mengganti pakaiannya, Ia pun dengan segera menghampiri Sang mama dan duduk di hadapan mamanya yang langsung memasang posisi siap bercerita.

"Jadi ada apa, Mah?"

"Jadi sayang...."

Tari pun menceritakan tentang lamaran yang mereka terima tadi siang dengan antusias, tanpa melihat perubahan ekspresi yang di ditampilkan sang putri seperti apa.

Tari salah mengira, kalau netra membulat sang putri menandakan kaget dan ketidakpercayaann.

"Mereka itu dari keluarga terpandang ...

Cerita terus berlanjut dengan Aliana yang semakin merasakan perasaan aneh.

"Jadi sayang, apa Kamu menerimanya?" ujar Tari bertanya, ia mengakhiri cerita yang menurutnya berita bagus, kemudian melihat anaknya dengan pandangan berbinar.

Aliana hanya diam tanpa merespon pertanyaan untuknya, ia semakin menatap tidak percaya kepada mamanya yang ekspresinya berkebalikan dengannya.

Apa-apaan ini, batin Aliana marah.

Kebahagiaan yang baru saja ia rasakan, saat ia baru saja bebas dari bangku pendidikan harus dibatasi karena tali pernikahan.

Tidak, ini tidak mungkin, batinnya tidak percaya.

"Sayang, kamu pasti menerima ini 'kan? Kamu satu-satunya yang bisa membuat derajat keluarga ini semakin di atas. Kalau Kamu menikah dengan keluarga mereka, kita juga bisa dikenal dengan masyarakat luas," ujar Tari memandang sang putri penuh harap.

Apa yang harus aku lakukan, batin Aliana masih belum bersuara.

"Say-

"Siapa?"

"Hah, maksudnya?" tanya Tari cepat,

"Siapa keluarga kaya itu?"

"Ah.... Kamu pasti suka, laki-laki tampan dari keluarga Gwentama. Bagaimana?"

"Apa!?" pekik Aliana dengan netra membulat. "Ini tidak mungkin," lanjutnya lirih.

"Iya Sayang ini serius. Bagaimana, kamu pasti senang 'kan!?"

Oh Tuhan, tidak lagi, batin Aliana memandang sang mama nanar.

Bersambung