Chereads / Agnan / Chapter 1 - Si Putih

Agnan

Klara_Indira
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 10k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Si Putih

"Berani ya Lo!" teriak seorang bocah laki-laki di lorong yang sepi ini.

Tangan bocah laki-laki itu tiba-tiba saja menarik seragam bocah laki-laki yang berdiri ketakutan di depannya. "Agnan, jangan pernah panggil Gue hanya dengan nama Gue! Lo gak pantes jadi teman Gue apalagi setara sama Gue! Ingat, panggil Gue pakai Tuan, ngerti??" kata laki-laki yang ingin ia dipanggil Tuan.

Agnan, bocah berseragam putih biru harus berkali-kali mengambil nafas melalui mulutnya. Dadanya mulai mengembang dan mengempis dengan cepat. "B-Baik Ri-Rio hah... Tolong.. Lep-Lepaskan hahhh... Ak-Aku tidak bisa ber-nafas...," ujar Agnan sambil menatap memohon ke arah Rio.

Laki-laki muda dengan seragam yang bercorak sama langsung memiringkan senyumannya lalu ia melepaskan tangannya yang mengangkat seragam Agnan dan hampir mencekik Agnan.

"Agnan Agnan, senang juga ya mengerjai Kamu," ujar Rio. Agnan tersungkur di bawah Rio dengan memegang lehernya yang terasa sangat sakit.

Rio lalu menatap kedua temannya yang duduk bersandar tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Gino, Jay, bukankah jika kita lakukan hal yang seru kembali?" ujar Rio yang menatap Agnan dengan sinis.

"Satu video lucu, badut sepertinya bagus," ujar Jay yang langsung mengeluarkan tripod miliknya dan sebuah kamera ponsel miliknya.

"Tidak perlu meminjam lagi, sudah ada arang di sini," ujar Gino sambil menunjuk ke arah kayu yang sudah terbakar dan menjadi arah di ujung sana.

Agnan menatap ketiga orang yang berdiri sambil menatapnya. Mereka tertawa puas dan tidak merasa bersalah. Agnan mencoba berdiri, ia ingin kabur dari tempat ini sebelum semuanya membuatnya seperti yang mereka pikirkan.

"Eitss! Gak bisa lari," kata Jay yang sudah mencegah Agnan dan memegangi Agnan dengan kencang. Jay adalah laki-laki yang memiliki kemampuan bela diri dan terkuat di antara tiga orang itu. Agnan menghela nafasnya, ia tidak pernah bisa lolos dari perundung ini.

.

.

.

Agnan menyenderkan tubuhnya di dinding lorong sepi ini. Ia menatap tiga orang yang baru saja melakukan penindasan kepadanya. Ia mengatur nafasnya lalu memejamkan matanya.

Agnan berpikir apa yang salah darinya. Hanya karena dia berasal dari keluarga miskin dan seorang anak yatim piatu ia selalu menerima buli dan penindasan. Ia selalu dikucilkan dan selalu menjadi bahan tontonan. Segala hal sudah Agnan lakukan.

Ia menjadi juara kelas, menjadi kebanggan guru dan selalu berusaha bergaul dengan teman-temannya yang lainnya. Namun ia tetap saja tidak diterima baik oleh teman-temannya di sekolah.

"Jika Aku pulang sekarang, Ayah dan Ibu Panti pasti akan khawatir dengan coretan di wajahku. Sepertinya Aku harus kembali berbohong dengan mengatakan jika Aku sedang kerja kelompok di rumah teman dan Aku harus segera menghilangkan coretan ini," pikir Agnan.

Agnan membersihkan bekas arang di wajahnya, bukannya semakin bersih justru semakin merata di kulit wajahnya. Agnan menghela nafasnya mengingat mereka bertiga tidak hanya menggunakan arang tapi spidol hitam permanen.

Agnan tiba-tiba tertawa miris, "Teman? Kapan Aku bisa memiliki teman," lirih Agnan terdengar begitu menyesakkan hati.

.

.

.

Hari semakin sore, semua murid Sekolah ini sudah berhamburan pergi. Sekolah menjadi semakin sepi lambat laut. Sedangkan Agnan masih betah berdiam diri di lorong sepi dekat gudang sekolah ini.

Tempat yang sama ketika ia ditindas. Bedanya wajahnya sudah tidak hitam seperti tadi tapi lebih baik, hanya tersisa coretan spidol di wajahnya. Agnan memilih untuk menunggu sekolah sepi dan tidak ada lagi murid di sekolah. Ia akan pulang saat itu.

Cukup lama Agnan menunggu, namun sekarang ini sudah saatnya setelah dua puluh menit berlalu. Agnan berjalan mengambil tasnya yang ia letakkan di dekat kamar mandi agar tidak dirusak oleh teman-temannya.

Setelah itu Agnan memeriksa sekali lagi wajahnya ternyata sudah banyak coretan yang mulai pudar. Walau masih ada yang terlihat seperti baru. Agnan akhirnya keluar dari kamar mandi.

Agnan tiba-tiba memasang wajah serius. Ia mendengar suara kucing yang seperti kesakitan. Suara kucing itu terdengar tidak jauh dari tempatnya duduk.

Agnan menaikkan tubuhnya, berdiri, lalu berjalan menghampiri suara kucing itu. Suaranya berasal dari tempat penyimpanan di samping gudang.

Agnan tidak sebagai melihat ekor kucing berwarna putih. Agnan mendekati ekor itu dan semakin ia dekat ia semakin melihat bentuk wujud kucing. Kucing dengan bulu putih bersih, indah dan sangat terlihat mewah. Sayang bagian kaki kanan kucing luka parah sepertinya terdapat bekas bertarung sehingga bulu dan kulitnya rusak.

Agnan dengan pelan mengeluarkan kucing itu dari tumpukan kardus yang hampir menenggelamkan diri dan suara kucing. Agnan lalu tersenyum bahagia ketika kucing itu terlihat nyaman dengannya.

"Aku akan merawat Mu, lebih baik kita ke rumah panti ya, di sana ada obat yang bisa mengobati luka kaki Mu," ujar Agnan sambil mengelus kepala sang kucing.

Ketika Agnan akan mengangkat si kucing tiba-tiba saja suara aneh masuk sekelebat dalam pendengar Agnan. Suara itu mirip suara kamera besar ketika berfoto namun lebih terdengar seram.

Czkzzk...

"Saking lelahnya sampai ada hal-hal aneh seperti ini," ujar Agnan.

Agnan akhinya membawa si kucing dan kembali berjalan pulang. Terlihat raut bahagia dari wajah Agnan ia terlihat sangat senang dan begitu sangat senang.

Seorang satpam yang melihat hal itu ikut tersenyum. Satpam itu adalah saksi hidup bagaimana Agnan menjalani hari-hari berat di sekolah ini. Namun ia tidak bisa banyak membantu, karena di sekolah ini yang berkuasalah yang di hormati dan tidak tertandingi.

"Mari Pak, terimakasih sudah menutup gerbang lebih lama," ujar tulus Agnan yang justru membuat satpam itu menangis.

Agnan terus berjalan dengan hati yang bahagia. Ia sesekali mengajak berbicara kucing putih itu. "Rasanya aneh memanggil Mu dengan kucing. Em, nama apa ya yang cocok untuk Mu?" ujar Agnan sambil berpikir.

"Mungkin... Putih, karena bulu Kamu putih," kata Agnan dengan sederhananya menamakan si kucing.

"Bukan cuma itu, putih melambangkan perdamaian dan suci. Kamu sangat baik putih, mau berteman dengan Aku yang buruk ini, terimakasih," Kata Agnan membuat siapa saja yang mendengar menjadi sedih.

Rumah Agnan berjarak lumayan jauh dari sekolah, karena dirinya yang harus hemat uang maka ia selalu berjalan kaki ketika berangkat atau pulang sekolah. Namun kali ini perjalanan Agnan tidak terasa sepi dan hampa. Karena si putih yang menemaninya.

Ini adalah hari yang bahagia bagi Agnan. Di sepinya hari-harinya. Ya, panti asuhan yang Agnan tinggalin bukanlah panti asuhan yang terdapat anak-anak banyak. Hanya ada sepuluh orang dan semuanya sudah mendapatkan keluarga baru.

Hanya Agnan yang belum mendapatkannya. Ayah dan Ibu panti sangat menyayanginya namun mereka harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan mereka semua.

Agnan menjalani hari sendiri. Tidak ada teman yang di ajak berbicara, tidak ada teman yang di ajak bermain, tidak ada lagi ajakan bermain, tidak ada lagi yang mau berteman dengan Agnan si miskin yatim piatu.

Namun berkat si kucing, Agnan menjadi hidup dan menjadi sangat gembira lagi. Agnan bahkan begitu merawat si putih dengan tulus dan hati-hati.

Memberikan makanan yang baik walau ia belum bisa membeli makanan yang mahal-mahal itu untuk si Putih. Mulai saat itu pula si Putih terlihat begitu nyaman tinggal bersama Agnan. Bermain bersama. Dan bahkan si Putih selalu mengikuti kemana Agnan pergi kecuali Agnan memintanya untuk tidak mengikutinya namun itu jarang terjadi.

Si Putih sangat membantu Agnan. Mengingatkan Agnan belajar. Mengajak Agnan bermain agar tidak kesepian. Menemani Agnan pergi kemana saja. Dan si Putih tidak pernah meninggalkannya. Agnan senang, ia merasa punya seorang teman, bahkan kadang Agnan bercerita pada si Putih walau hanya dijawab dengan suara hewan Putih.

Ckhzztz..

Agnan terdiam ketika suara aneh itu kembali memasuki pikirannya sekelebat ada bayangan asing yang muncul di kepalanya.

"Kayaknya tadi ada yang berdiri di sana deh? Kenapa sudah gak ada?" tanya Agnan heran karena tadi ia sempat melihat ada laki-laki tua dan perempuan tua berdiri di sana dengan tongkat bersinar.

Agnan mengucek kedua matanya lalu kembali bermain dengan si Putih. "Aneh, kenapa mereka kayak pernah Aku lihat ya?" kata Agnan dalam hatinya.