"Emm.."Diana menggigit bibir bawahnya dan mengangguk lemah, dia merasa melayang dengan perlakuan Danny hingga menginginkan lebih.
"Tidurlah.. besok aku akan mengantarmu pulang"Ujar Danny setelah mengoleskan obatnya, dia bersiap untuk pergi.
"Kak.."Lirih Diana, Danny urung untuk bangun. Diana membalikkan badannya dan menatap Danny dengan sendu "Terima kasih untuk malam ini.."
"Em.." Danny mengangguk, dia dan Diana duduk sangat dekat dan saling berhadapan, di tambah dengan Diana yang belum menaikkan kemejanya dan hanya menahannya sampai dada, membangkitkan fantasi aneh di otak Danny.
"Dian, pakai kembali kemejamu.." Pinta Danny dengan nada serak.
"Kak.. Jangan menahannya.."
"Apa maksudmu.?"Danny terbelalak, wajahnya memerah seketika.
"Aku.. menyukai kakak sudah sejak dulu, bahkan sebelum kakak menyatakan cinta pada Maira" Diana mulai dengan berani mengutarakan isi hatinya, menatap langsung kedalam manik mata Danny yang nampak bingung.
"Kamu…"Mata Danny membola tak percaya dengan pernyataan cinta Diana yang tidak pernah di duganya."Bagaimana kamu berani mengatakan omong kosong..!"Nada Danny sedikit membentak.
"Aku tidak bicara omong kosong, aku memang sudah menyukai kakak" Diana menyela dengan keyakinan hati.
"Tapi aku tidak mencintaimu, aku tidak memiliki perasaan apapun padamu selain anggapan bahwa kamu adalah sahabat Maira"Sela Danny.
"Aku tau itu.."Diana menunduk seraya menutup matanya yang berair "Aku mencintai kakak adalah fakta yang tidak bisa ku tolak. Kak, aku serius.."
"Kamu ngaco.." Danny beringsut menjauh menimbulkan rasa sakit dihati Diana, mengapa Danny tidak mau menatapnya dan bahkan menjauh? Apakah dia se menjijikkan itu? Bukankah dia juga tak kalah cantiknya dengan Maira?.
"Saat Tuan Ramon berusaha untuk melecehkanku dan aku hampir putus asa, tiba-tiba wajah kakak melintas di mataku hingga aku memiliki kekuatan untuk melawan, aku.. aku tidak rela tubuhku di jamah oleh pria tua itu..
Kak, aku tidak tau apa yang akan terjadi padaku saat pulang kerumah besok, bisa jadi ayahku akan menyerahkan diriku kembali kepada Tuan Ramon dan aku tidak bisa menjamin aku bisa melarikan diri kembali.." Tatapan Diana penuh keteguhan terhadap pria yang menatapnya tajam.
Dengan pelan dia meraih tangan kanan Danny dan menyentuhkan ke dadanya, sebelah tangannya masih mencengkeram dengan erat kemejanya yang seluruh kancingnya sudah dilepas. Saat dia mendongak, tatapan mereka bertemu dan air mata Diana kembali bergulir masuk.
"Miliki aku malam ini kak,.."Lirihnya
"Kamu.." Suara Danny bergetar "Apa kamu sudah gila?" Bentaknya berusaha menghempaskan tangan Diana, tapi hempasan tangannya begitu lemah."Aku mencintai Maira, kami akan menikah tiga bulan lagi, dan kamu… kamu adalah sahabat baiknya, bagaimana kamu tega berbuat seperti ini?"
"Aku tau, aku bukan meminta kakak untuk mencintaiku, aku juga tidak akan mengganggu hubungan kakak dengan Maira. Aku hanya…. Ingin melakukannya pertama kali bersama kakak.."Danny makin terhenyak.
"Kakak boleh mengatakan aku sudah gila, iya.. aku memang sudah gila. Tapi jika bukan kakak yang mendapatkan kehormatanku, aku lebih memilih mati besok.."
"Kamu…" Danny kehilangan kata-katanya.
"Hiks..hiks… "Diana mulai terisak, dia menekan kuat tangan Danny di dadanya"Aku mohon, luluskan permintaanku yang pertama dan terakhir ini, setelah ini aku tidak akan perduli dengan apa yang akan terjadi padaku besok.."
"Tenanglah.. tidak akan terjadi apa-apa besok atau seterusnya, aku dan Maira akan membantumu keluar dari masalah ini.."Bujuk Danny masih berusaha menepis gejolak di dalam tubuhnya.
"Tidak..!"Diana menggeleng lemah "Maira sudah cukup kesulitan selama ini karena diriku, aku tidak ingin menyulitkannya lagi" Diana dengan sedih melepas tangan Danny tapi pria itu mengeratkan pegangannya.
Merasakan remasan tangan Danny, sebuah harapan terbit di hati Diana, mereka saling menatap selama beberapa waktu, meniimbulkan perasaan aneh diantara mereka.
Dengan berani Diana mulai mengecup bibir Danny cepat, kemudian dia membuat jarak diantara mereka, takut jika Danny memukulnya atau malah menghempaskannya karena kenekatannya.
Saraf Danny nampak menegang, dia masih terus menatap Diana dengan tatapan yang begitu sulit terbaca, bahkan dia bingung dengan perasaannya saat ini. Diana memang begitu menggoda sekarang, bahunya terbuka menampakkan kulitnya yang putih bersih, kemejanya yang kusut terangkat, hampir memperlihatkan area intimnya.
Darah Danny tiba-tiba bergejolak penuh hasrat, terhadap Maira, jangankan membelai atau mencium, memegang tangannya saja dia sangat segan. Terhadap Maira, jangankan tubuhnya yang nyaris telanjang seperti Diana saat ini, sehelai rambutnya saja Danny belum pernah melihatnya.
Dia pria normal, yang sering kali jika pulang dari pertemuan bersama rekan-rekan kerjanya dan melihat mereka yang bermesraan di depannya tanpa malu-malu, dia akan memuaskan hasratnya sendiri sambil membayangkan Maira yang telanjang.
Dia memang bukan pria sholeh, dia baru seorang pria yang berusaha mengikuti alur jalan hidup yang di pilih Maira, dia seorang pria bebas yang sedang berjuang memasuki dunia Maira yang terasing dari keramaian.
Meskipun terkadang, saat dia mendapatkan pelepasannya dengan menjadikan Maira sebagai objek fantasinya, dia akan merasa sangat bersalah terhadap kekasihnya itu.
Malam ini, disaat dia barusaja menggoda Maira dan sekilas membayangkan wanita berhijab itu hingga hasratnya bangkit, dia malah dihadapkan pada kenyataan seorang wanita cantik yang terlihat begitu putus asa, nyaris telanjang memohon bantuannya.
"Kak, aku janji, Maira tidak akan mengetahui apapun. Kakak dan Maira akan tetap menikah dan menjalani kehidupan yang tenang tanpa aku. Tapi aku mohon, penuhilah permintaanku yang pertama dan terakhir ini, aku akan pergi setelah ini dan…"
Cup
Sebuah ciuman menghentikan kata-kata Diana yang belum selesai, dia terdiam selama beberapa waktu karena tak percaya, tapi kenyataan Danny yang saat ini sedang menciumnya dengan rakus menyadarkannya bahwa ini bukanlah mimpi.
"Kamu yang meminta maka penuhi janjimu.." Ujar Danny disela ciuman panasnya, Diana hanya bisa menganggukkan kepalanya dan kembali bulir airmatanya jatuh. Dengan alami dia juga mulai membalas ciuman Danny yang panas dan terkesan menuntut.
Mereka berciuman cukup lama, hingga Diana hampir kehabisan nafasnya, keduanya terengah-engah dengan wajah yang begitu dekat, bahkan nafas mereka saling beradu. Danny menatap Diana yang begitu pasrah dengan tatapannya yang berkabut gairah.
Dia kembali melumat bibir Diana dan menggigitnya pelan menimbulkan sensasi nikmat dan sakit yang bersamaan bagi Diana, perutnya terasa bagai di aduk-aduk tapi begitu nikmat.
Entah sejak kapan kemeja Diana sudah terlepas, dia bersandar di sofa dengan Danny yang menindih diatasnya. Ciuman bibir mereka terlepas dengan air liur yang merembet keluar disela-sela mulut Diana, menimbulkan pemandangan yang indah dimata Danny.
Dia beralih mencium leher Diana , menghisap bahkan menggigitnya hingga Diana menjerit kecil, tapi Danny tak peduli. Nafsu menguasainya, dan saat ini dia membayangkan bahwa yang sedang dicumbunya dan Maira.
Dia selalu berfantasi tentang Maira, maka biarkan fantasinya kali ini dipraktekkannya pada Diana sambil membayangkannya sebagai Maira.
Ciuman Danny turun ke dua gundukan kembar milik Diana yang begitu pas di tangannya, dia menghisap dan menggigitnya hingga Diana menjadi begitu gelisah. Ini adalah pengalamannya yang pertama, ciumannya dan kontak fisik dengan lawan jenis adalah yang pertama baginya.
Danny juga merupakan tokoh fantasinya saat berkhayal melakukan hubungan dengan lawan jenis, setiap malamnya, saat dia begitu gelisah. Dia akan melalui malamnya sambil mengingat Danny, membayangkan pria itu berada diatasnya tanpa busana dan memasukinya.