Diana merasa sangat lelah hari ini, tapi dia tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Setelah lulus kuliah, dia dan Maira sama-sama menjadi guru privat, tapi bedanya Maira mengambil jurusan menjadi guru ngaji sementara dia mengambil jurusan matematika.
Hal ini dilakukan Diana untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan ayahnya jika kebetulan ayahnya sedang menganggur, dan Maira dilakukannya karena panggilan hati dan untuk bekal di akhirat nanti, kata Maira.
Diana hanya perlu mengajar tiga murid dengan gaji yang lumayan karena rata-rata murid SD tersebut adalah anak orang kaya di daerahnya.
Ada banyak tawaran untuknya, tapi Diana tidak ingin mengambil resiko menerima banyak murid yang menjadikannya tidak maksimal dalam mengajar. Apalagi dengan pemberian waktu yang relative singkat.
Diana mengajar di tempat yang cukup jauh dengan rumahnya, alasannya karena para orang tua di lingkungannya, tidak mengizinkan anak-anak mereka diajari oleh Diana disebabkan kondisi keluarganya yang kacau. Kenyataan ini membuat hati Diana sedih, tapi Maira selalu membesarkan hatinya. Karena ini pula sehingga dia harus beberapa kali berpindah kendaraan umum.
"Tidak apa-apa.."Kata Maira tiap kali menghiburnya "Itu tandanya bukanlah rejekimu, karena jika memang rejeki dari mereka milikmu, maka kamu akan tetap mengajari anak-anak itu dengan cara yang tidak kita duga sebelumnya."
Maira memang selalu menjadi orang yang bijaksana dalam segala hal, yang selalu menjadi penyemangat bagi Diana, tapi sahabat itu masihkah bisa bersikap bijaksana untuk dia dan bayinya jika dia tau bahwa bayi dalam kandungannya ini adalah milik Danny?.
Diana menunduk menatap jalan raya di bawahnya, dia barusaja keluar dari rumah salah satu anak yang menjadi muridnya. Rumah itu tergolong mewah, berada di kompleks perumahan yang hanya di huni oleh keluarga berada saja.
Tit tit
Bunyi klakson dari mobil di belakang Diana membuyarkan lamunannya, dengan refleks menoleh dan mendapati sebuah mobil sedan keluaran terbaru berwarna hitam mengkilap berhenti tepat didepannya.
Diana melihat sepertinya mobil itu berniat untuk memasuki halaman rumah dimana dia barusaja keluar. Diana menepi berusaha memberi akses bagi mobil mewah itu untuk masuk.
Mobil itu perlahan melewatinya, Diana dengan sopan menatap kearah mobil sambil tersenyum walaupun dia tidak tau siapa yang sedang mengemudi karena kacanya yang gelap. Diana juga tau bahwa itu bukan mobil pemilik rumah karena baru sekarang dia melihat mobil itu.
Setelahnya Diana menatap benda pipih ditangannya yang berdering, tertera nama Maira di sana. Berat hati DIana menerima panggilan Maira. Teringat bagaimana menderitanya dia selama dua bulan ini karena harus bersandiwara di depan Maira.
Sekuat dan sekeras apapun dia berusaha untuk menghindari Maira, dia masih harus tetap berurusan dengan sahabat satunya itu, karena Maira selalu memintanya melakukan banyak hal bersama. Sebenarnya itu bukanlah hal yang aneh, karena selama ini itulah yang selalu mereka jalani.
Tapi sekarang semuanya sudah tak sama lagi, Diana harus menjauh dari mereka berdua karena dia yang telah berbadan dua hasil dari perbuatan dirinya dan Danny malam itu. Dia bukanlah lagi sahabat sejati Maira sejak dia menikungnya dari belakang dua bulan yang lalu.
Kalau di pikir, bukan hanya malam itu dia dan Danny berhubungan intim, sebulan setelah itu mereka berdua bertemu kembali dalam kondisi yang benar-benar tidak menyenangkan.
Suatu malam, Diana mencari ayahnya di tempat perjudian, dia biasanya tidak peduli kemana ayahnya pergi dan menghabiskan malam, dia akan membiarkan saja sampai ayahnya pulang dengan sendirinya, sehari atau dua hari kemudian.
Tapi sikap ayahnya yang berubah lebih baik sejak kejadian malam itu dan kondisi ayahnya yang sedang sakit, membuat Diana mau tidak mau dilanda khawatir.
Sebenci-bencinya dia pada ayahnya, pria itu tetaplah ayah kandungnya. Yang telah membesarkan dan merawatnya sejak dia berusia sepuluh tahun ketika Ibunya tiba-tiba pergi meninggalkannya karena tidak tahan dengan himpitan ekonomi.
Ayahnya juga tidak pernah menikah lagi setelah itu, dan lebih memilih menjadikan judi dan minuman keras sebagai istri barunya. Dia berkata bahwa semua wanita sama saja, dan dia membenci semua wanita di muka bumi, termasuk Diana, putrinya sendiri.
Alasan itulah yang membuat Diana selalu mendapatkan perlakuan kasar dari sang ayah, kesalahan ibunya dialah yang harus menanggungnya sedangkan dia tidak mengetahui duduk persoalan mereka hingga berpisah.
Saat Diana sampai di sebuah kafe, dia berjalan kearah pintu samping dan mengikuti sebuah lorong yang sempit. Kafe yang cukup terkenal dibagian depan bukanlah satu-satunya bisnis sang pemilik. Karena ada satu tempat yang lebih luas, yang tidak di ketahui oleh orang luar tapi hanya orang-orang tertentu saja yang tau, dimana bagian belakangnya di jadikan sebagai tempat perjudian yang di bagi dalam beberapa ruangan yang cukup luas.
Selain perjudian, tempat itu juga menyediakan tempat karaoke khusus dimana terdapat beberapa wanita muda yang siap memberikan servis lewat nyanyian, tarian bahkan sampai kepada yang lebih pribadi dari itu.
Saat Diana sampai di bagian belakang kafe yang telah di kunjunginya sebanyak dua kali itu, dia mendapati ayahnya sudah dalam keadaan mabuk, dia mengumpat sendirian di sudut ruangan. Pemandangan ini sudah selalu Diana saksikan ketika ayahnya pulang dalam keadaan mabuk karena kalah berjudi.
"Silva jalang sialan, kamu meninggalkan aku saat aku jatuh bangkrut… kamu meninggalkan anak pembawa sial itu kepadaku hingga aku menderita.."Diana terpaku di pintu kamar yang sudah terbuka."Silva pembawa sial, matilah kau dimanapun kamu berada.. semoga kau tenggelam dilaut terdalam.."
"Sudahlah Jaka… istrimu tidak disini, rugi kau mengumpat-ngumpat.."Sela rekannya.
"Diam kau Reki.. kamu tidak tau apa-apa, dulu aku pria kaya dan sukses hingga Silva tergila-gila padaku, giliran aku bangkrut, dia melarikan diri dengan pria lain.."
Tubuh Diana mulai gemetar, beberapa pria dan wanita yang sedang berjudi menyadari keberadaannya. Mereka menatap Diana dan Jaka bergantian. Ada yang tidak peduli ada juga yang menatap iba namun ada juga yang menatap penuh hasrat pada dirinya yang hanya mengenakan baju seadanya tapi tak mengurangi kecantikannya.
"Jaka, putrimu datang menjemput. Pulanglah.." Reki menyela Jaka yang masih terus mengumpat sambil bersendawa beberapa kali"Jaka.. lihatlah putrimu yang cantik datang.."Tino menambahkan sambil mengedip nakal pada Diana membuatnya risih.
Setelah di panggil berkali-kali, Jaka akhirnya menoleh mendapati Diana yang berdiri di pintu. Dia bangun dan terhuyung berjalan mendekati putrinya."Mau apa kamu kesini hahh.." Jaka memegang lengannya sambil berteriak padanya dengan kesal.
"Ayah sedang sakit, pulanglah.."Ajak Diana berharap Ayahnya mau mengerti maksudnya.
"Heh.. Sejak kapan kamu peduli padaku..?" Jaka makin emosi, Diana hanya bisa menatap ayahnya, tidak tau harus mengatakan apalagi. Tidak bisakah ayahnya melihat ketulusannya? .
"Ayah.. ayo pulang.."
Jaka mengamati putrinya, Diana memakai setelan celana kain berwarna hitam dengan kaos oblong berwarna abu-abu. Rambutnya hanya diikat satu menyerupai ekor kuda.
"Jaka.. Putrimu sangat cantik.."Tino menggoda Jaka.
"Apa kamu menginginkannya?" Pertanyaan Jaka sontak membuat Diana maupun beberapa orang di ruangan itu terdiam.
"A..Ayah.."Diana tergagap antara sakit hati dan marah. Cengkeraman ayahnya di lengannya sedikit kuat, tiba-tiba Diana menyesal mengapa harus memaksakan diri untuk datang ke tempat ini.
"Lepaskan.."Marah Diana.
"Bagaimana Tino.. Bukankah beberapa waktu lalu kamu menawarkan pinjaman padaku?"Jaka menarik lengan Diana yang berusaha memberontak dan membawanya kehadapan Tino yang masih terkejut. Dia adalah seorang bujang kaya berusia lebih dari empat puluh tahun dan belum menikah.
Biasanya jika dia ingin memuaskan hasratnya, dia hanya akan membayar para wanita untuk tidur dengannya dan memuaskannya. Dia juga tipe pria yang tidak akan puas dengan hanya satu wanita dalam semalam, jadi dia biasanya akan memakai dua hingga tiga wanita dan bermain hingga pagi.
"Aku berikan putriku padamu dan kamu harus membayarku sebanyak limapuluh juta sebagai maharnya"Ucap Jaka dengan nada yakin.