Jadi.. terima kasih untuk malam ini dan malam itu, juga maaf untuk kejadian tidak menyenangkan malam itu" Ucap Diana tulus dari hatinya. Dia sudah menghindari Bayu sejak hari itu karena rasa bersalah, dia dan Bayu juga tidak pernah lagi bertegur sapa setelahnya.
Setiap kali mereka berpapasan di kampus, bahkan saat mereka kebetulan bertemu dalam satu ruangan bersama Maira, Danny dan teman-teman mereka yang lain, Diana tidak memiliki keberanian untuk menyapa Bayu lagi untuk mengatakan maaf maupun terima kasih.
Rasa bersalahnya terhadap sikap ayahnya malam itu, hanya mampu di tunjukkannya dengan cara mengabaikan Bayu agar pria itu tidak lagi sakit hati karena dirinya.
"Mengapa kamu jadi terlihat sedih?" Bayu mencubit pipi Diana membuatnya mengerang terkejut.
"Ti.. tidaaak.."Diana jadi serba salah, dia tersipu ketika tangan hangat dan lembut Bayu menyentuh pipinya.
"Jangan mengingat masa lalu, aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu"Sela Bayu "Ohh Yaa.. jadi selama kuliah dulu kamu menghindari aku karena masalah itu?" Bayu seperti teringat akan sesuatu.
Pantas saja dia sudah tidak bisa lagi mendekati Diana, dia berpikir jika semuanya hanya kebetulan saja, tapi nyatanya gadis itu memang sengaja menghindarinya.
Diana yang mendapat tatapan protes dari Bayu hanya bisa tersenyum karena serba-salah.
"Dian, aku tidak menduga kamu sampai segitunya menghindari aku gara-gara masalah sepele itu" Bayu menggeleng tak percaya "Tau begitu tetap saja ku kejar kamu waktu itu.."Gumam Bayu
"Maksud Kakak…?"
"Em, maksudku aku perlu nomor telponmu "Bayu mengubah topik
"Buat apa?"
"Buat di jual lagi… Ya buat menghubungi kamu jika ada keperluan.."Sela Bayu "Aku barusaja pulang dan tidak tau harus melakukan apa, aku harap kamu bisa menjadi temanku selama aku di sini"
"Lho.. memangnya Kak Bayu tidak menetap di sini lagi?"
"Tidak.. Aku bekerja di London sekarang"Diana berdecak kagum sambil mengacungkan jempolnya.
"Kakak luar biasa.."Pujinya.
"Sudah berikan ponselmu"Diana menurut dan memberikan ponselnya kepada Bayu. Bayu mengetik beberapa angka dan melakukan panggilan. Tak berapa lama ponselnya bordering."Oke.. sampai bertemu lagi Diana.."Ucapnya sebagai salam perpisahan.
Diana turun dari mobil Bayu"Ingat untuk menjawab panggilanku.."Diana memberi jawaban oke dengan tangannya.
"Hati-hati pulangnya.."Ucap Diana dan dijawab anggukan oleh Bayu, setelah itu dia melajukan mobilnya lagi.
Diana menatap mobil Bayu yang semakin menjauh, dan baru mengalihkan perhatiannya saat bayangannya menghilang di tikungan. Seketika senyum Diana menghilang berganti dengan kegetiran.
Keberadaan Bayu mengingatkannya pada Danny, andai pria itu bisa lebih ramah padanya seperti Bayu tadi, andai Danny mau menerima keberadaan bayinya. Sayangnya Danny tak pernah menginginkan hasil dari hubungan mereka malam itu.
Diana menghela nafas panjang, mengelus perutnya yang masih rata dia bergumam "Tenang saja Nak, kita berdua akan tetap hidup tanpa ayahmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, karena aku tidak ingin kamu mengalami penderitaan seperti yang aku rasakan.
Mari kita berdua saling menguatkan, tetap sehat di dalam sana, dan lahirlah dengan selamat untuk ibumu ini. Meski nantinya kamu tidak memiliki ayah, tapi aku bisa menjadi keduanya untukmu." Gumam Diana.
*
*
Diana bangun di pagi hari dengan perut mual, dia berlari kearah kamar mandi yang menyatu dengan dapur dan mulai memuntahkan isi perutnya.
Ugh.. mengapa kehamilan sangat menyiksa dirinya? Diana menarik nafas panjang, dadanya sakit karena muntah dalam waktu yang cukup lama. Sebelum kandungannya genap dua bulan, atau sebelum dia mengetahui jika dia berbadan dua
Diana sama sekali belum merasakan gejala apapun, tapi semenjak dia mengetahuinya, efek dari kehamilan ini mulai bekerja.
Diana menyeka peluh di keningnya, menyiram muntahannya dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung di jam sepagi ini ayahnya belum pulang karena berjudi sepanjang malam.
Tapi yang tidak di duga Diana adalah, saat ini ayahnya berdiri di pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tamu dengan satu tangan di pinggulnya dan satu di tiang pintu.
"A..Ayah.."Diana tergagap dengan wajah pucat.
"Anak siapa?" Tanya Jaka segera dengan tatapan dingin yang mengintimidasi.
"A..apa, maksud ayah?" Elak Diana.
"Katakan kamu hamil anak siapa..!!?" Bentak Jaka.
Brakk
Jaka memukul daun pintu dengan kasar "Aku tidak mengerti maksud Ayah…"Diana masih berusaha untuk menyembunyikan.
Brak
Jaka bergerak maju dan memukul dinding tepat di samping telinga Diana membuatnya gemetaran, dia takut ayahnya akan menyakitinya yang akan berakibat pada bayinya. Refleks Diana memegang perutnya untuk melindungi bayinya.
"Dian.. kamu berani membohongiku?"Wajah Jaka makin memerah marah melihat gerak reflex Diana. Dengan penuh emosi dia menarik lengan Diana dan menghempaskannya ke kursi sofa yang using di ruang tamu.
"Kamu sudah berani menjual dirimu sendiri? Kamu menentangku di hadapan banyak orang bahkan mempermalukanku, kamu menolak pernikahan yang ku rencanakan, dan sekarang kamu hamil?" Jaka mondar-mandir sambil berkacak pinggang dihadapan Diana.
"Sekarang katakan itu anak siapa!!?" Lagi-lagi dia membentak.
"Assalamu'alaikum.."Sebuah salam dari arah pintu menghentikan pertengkaran sepihak di dalam rumah sontak memalingkan wajah Jaka dan Diana.
Seketika wajah Diana lebih memucat, wajah cantik Maira dengan gamis dan jilbab syar'inya berdiri di depan pintu. Gadis itu tersenyum sangat manis, tapi Diana melihat seolah dia adalah hakim yang datang menjatuhkan vonis untuk dirinya.
"Om Jaka, boleh saya masuk?" Tanya Maira dengan ramah, Diana terpaku.
"Hahh.. "Jaka menatap Maira penuh sesal, kemudian beralih kearah Diana dengan marah "Maira.. Aku berpikir berteman denganmu akan memberi perubahan yang baik padanya, tapi lihat apa yang telah dia lakukan?"
Maira masuk dan duduk disamping Diana, dia meraih jemari Diana yang berkeringat dingin serta gemetar, menatap Diana dengan tatapan penuh rasa khawatir" Kamu kenapa?" Tanya Maira sambil menyeka keringat di dahi Diana"
Diana masih terdiam dengan pertanyaan Maira, dia tidak tau harus menjawab apa.
"Baiklah Maira, karena kamu adalah teman baiknya dan aku ini musuhnya, maka dia tidak akan menjawab pertanyaan dariku."Mata Maira mengerjap bingung dengan ucapan Jaka "Sekarang tanyakan padanya, dia hamil anak siapa.."
Degg
Diana makin gemetar, dia menunduk untuk menyembunyikan ekspresi bingung di wajahnya"Dian.." Maira mempererat genggamannya dan memanggil nama Dian lirih, dia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Dia tidak mau mengaku meski ku paksa. Dian, sekarang Maira ada di sini, katakan kamu hamil anak siapa?" Jaka kembali menekankan pertanyaan itu, tapi Diana tetap membisu.
"Dian.."Maira membelai punggung tangan Diana seolah memberi kekuatan dari sana "Apakah itu benar?" Tanya Maira lembut, sudut matanya sudah berair.
Diana mendongak dan bersitatap dengan Maira yang terlihat sedih, hatinya hancur menatap wajah teduh Maira yang bersedih untuknya.
' Maira, apa yang akan kau katakan dan kau lakukan jika kamu mengetahui aku hamil anaknya Danny? Apakah kamu akan memakiku? Apakah kamu akan mengataiku pengkhianat? Apakah aku masih sahabatmu?
Perlahan air mata Diana kembali tumpah, hatinya sesak membayangkan kenyataan yang akan terjadi dimasa depan untuknya dan Maira. Pernikahan Maira tinggal dua minggu lagi, apa yang akan terjadi dengan pernikahannya jika kebenaran ini terungkap?