Tiga tahun sudah Aku di Pesantren ini. Rindu dengan keluarga, tentu saja aku rasakan. Kehadiran Abah, Umi dan khususnya Kang Ali.
Tak terasa air mataku jatuh di lembaran mushaf yang sedang ku baca. Jauh dan mencoba kuat dengan keadaan ini Ya Allah aku sangat rindu dengan mereka.
Tak lama kemudian, terdengar suara dari mikrofon yang mengusikku "Ad da'wah ila Kayla Nadhifa Almaira shofia 2 min Bojonegoro di sambang."
Apa aku tak salah dengar? Secepat itu Allah mengabulkan do'aku? Siapa ya yang menyambang? Abah? Umi? Ah, aku tak peduli. Hati ini sudah rindu dengan panggilan pemberitahuan itu.
Dengan perasaan sangat senang, Aku segera bangkit menuju luar asrama. Berharap Lek Ali, atau mungkin Abah dan Umi yang menyambang. Aku pun berlari dengan tentengan Al-Qur'an di tanganku. Lagi dan lagi aku selalu berpapasan dengan Gus Zein. Aku hanya melihatnya sesekali saja setelah itu ku lanjutkan langkah kakiku menuju luar asrama putri.
Terkejut diriku, saat ku temui Abah menyambang ke Pesantren. Haru biru tersingkap dalam pandangan bola mata yang saling memandang. Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah. Sekian lama aku merindukan sambangan ini.
"Abah!!" teriakku kepada Abah yang sedang bercengkrama dengan Kyai Faqih. Tak peduli dengan pandangan sekitar aku pun langsung memeluk Abah.
"Piye Nduk mondokmu?"
"Alhamdulillah Abah, Umi mboten nderek?"
"Umimu ngurusi santri Nduk, iki ono titipan dari Umimu, katanya Kayla suka Asem-asem bikinan Umi," ucap Abah memberikan sebuah rantang.
"Nggih Abah, matur suwun." kuterima rantang itu dari beliau "abah piyambakan mriki?" ujarku pada Abah sambil melihat ke kiri dan kanan Abah namun tak kutemui siapapun. Ya, sepertinya Abah saja yang menyambangku hari ini.
"Ora Nduk," ucap beliau.
"Ning Kaylaaa!"suara itu, seperti suara Kang Ali. Apa benar itu Kang Ali? Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata benar itu Kang Ali dengan membawa suatu bingkisan.
"Kang Ali!" mataku berbinar melihat sosok itu datang lagi di hadapanku. Setelah sekian lama, aku melihat pemuda itu makin dewasa saja dengan sarung bermotif gamelan koko putih dan peci hitamnya. Makin tampan dan tak begitu berubah.
"Pripun kabarnya cah ayu?" ucapnya.
Abah hanya tersenyum melihat pertemuan kami. Eh, sejak kapan Kang Ali punya panggilan seperti itu ke aku?
"Kok Kang Ali saget mriki?"
"Kenapa? Ndak suka nggih Kang Ali sambang Ning Kayla?" tanyanya membuatku cemberut. Padahal yang ku harapkan juga pertemuan ini. Dasar Lek Ali tak peka.
"Sampun hafal pinten juz?"
"Rahasia." ucapku sambil tertawa.
"Gitu nggih sekarang, banyak rahasianya."
"Kang Ali kok manggil Kayla dengan cah ayu to?"
"La nopo malih kalau gak cah ayu? Cah ganteng?" ucapnya sedikit menggodaku.
"Pripun kabarnya Kang? masih di Al-Fatah?"
"InsyaaAllah tasik ngabdi malih di Pesantrennya Ning Kayla." ucapnya tersenyum penuh makna. "Ning Kayla," sambung Kang Ali menatapku.
"Hmm," ucapku masih terharu dengan kejadian saat ini.
"Semangat nggih." ujar Kang Ali dan aku hanya merunduk dan diam. "Kang Ali pengen Ning Kayla lulus dari sini sampun 30juz" ucapnya lagi dengan mata berbinar.
"InsyaaAllah Kang doanya."
"InsyaaAllah, mulai sakniki dalem seng nyambang Ning Kayla." ujarnya mengusap bahuku
"Abah, niku repot teng Pesantren, dadi sakniki Ning Kayla tanggung jawabe dalem, nggih. "
Apa maksud Kang Ali? Kenapa Abah membuat keputusan sedemikian rupa untukku dan Kang Ali? Aku rasa ada yang tak beres disini. Kenapa ndak Mbak Azizah atau Mas Syarif.
Lek Ali terlihat hanya tersenyum saja memandangku. Suasana hening sejenak.
"Emm... Kang."
"Nggih."
"Kayla angsal membuka bingkisan niki?
"Nggih, maaf nggih menowo ndak sesuai keinginan sampean." ucapnya khawatir aku akan tak suka dengan pemberiannya.
Perlahan aku buka dan "MasyaaAllah, bagus kang jilbabnya " ucapku.
"Alhamdulillah kalau sampean suka."
Ya, Aku mengerti KangAli adalah seorang santri yang sederhana dan memiliki gaya fashion yang sederhana pula seperti jilbab bermotif padi yang ku pegang ini. Cenderung ke dakwah budaya itulah Kang Ali.
"Niku ada filosofinya," ucap Kang Ali membuatku penasaran dengan apa yang akan di katakannya.
"Padi niku kan mantuk to, mboten ndangak? Wong akih ilmune iku biasane mantuk nek ndangak iku dudu wong berilmu tapi pari kotong alias gabah gapuk ora ono isine."
Lagi-lagi petuah jawa yang ku dapatkan dari Kang Ali. Kata-katanya selalu dengan kalimat Syi'iran.
"Ning Kayla kudu mantuk senajan ilmune akeh." petuahnya.
"Nggih Kang."
"Oh nggih Kang, ngertos Syi'ir Gundul-gundul Pacul?"
"Nggih, kengeng nopo?"
"Niku kok gundul-gundul pacul Kang? Nopo niku saking desa Pacul?"
Ku lihat Kang Ali tertawa girang mendengar ucapanku.
"Kaaang!"
"Nggih-nggih nduk tak terangkan, cubi niku jilbabe di gae."
"Hmmm." aku pun memakai jilbab yang di berikan Lek Ali. Nampak pas warnanya dan menyatu dengan kulit wajahku. Ku lihat pandangan mata Lek Ali tak berkedip.
"Kang." ucapku sambil mengayunkan telapak tanganku di hadapannya.
"Astaghfirullah, MasyaaAllah sampean malih ayu."
"Kang Ali lo bisa saja kok."
"Saestu."
"hmmm."
Meskipun aku sedikit geli mendengar ucapan itu. Di sisi lain aku bahagia memperoleh perhatian dari Lek Ali.
"Jadi iki syiirane?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Eh, nggih Kang. "
"Nggih mpun mirengke."
Kang Ali mulai menjelaskan makna lagu tersebut.
Arti kata Gundhul adalah kepala pelontos tanpa rambut. Kepala di sini merupakan simbol kehormatan dan kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Dengan demikian, gundhul adalah kehormatan tanpa mahkota.
"Oh, Kayla kinten niku orang kepala gundul."
"Hehe, enggih kepala niku kehormatan, rambut niku keindahan, tiyang gundul niku lak elek to di deleng gak ono bentuke."
"Kang Ali mboten pengen gundul?"
"Ning Kayla remen seng gundul?" ucap Kang Ali dengan muka yang penasaran.
"Mboten Kang."
"Terus Kayla remene seng pripun?" ucapnya lagi. Kenapa Kang Ali bertanya seperti itu.
"Emm, engkang cekapan."
"Koyo Dalem?" ucap Kang Ali sambil menggoda.
"Hehe, mungkin."
"Alhamdulillah."
Deg
Apa maksud Kang Ali mengucap hamdallah? Lek Ali lalu meneruskan makna tembang tersebut.
Pacul adalah bahasa Jawa dari cangkul, alat yang akrab bagi kehidupan para petani. Tidak lain merupakan kiasan untuk menyebut kawula cilik yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Namun dalam morfologi Jawa, pacul adalah kreta basa (akronim) dari papat kang ucul (empat yang lepas).
"Hehe, bukan desa Pacul ya Kang?"
"Sampean ki, wong pacul petani sedoyo nopo mboten?"
"Mboten."
"Laa nggih."
Namun, saat membawa bakul, sikapnya sombong hati (gembelengan), akhirnya Wakul ngglimpang segane dadi sak latar. Wakul ngglimpang (bakul terguling) melambangkan amanah dari rakyat yang terjatuh, akibat sikap sombong saat membawa amanah tersebut.
"Oh Kayla kira bakul sego terus segone niku tumpah sak bakule."
"Kaylaaa!!" ucapnya sambil mengenggam tangannya dengan wajah yang gemas"
"Hehe, mboten Kang mboten."
"Mirengke malih."
"Nggih Kang."
Sementara Segane dadi saklatar (nasinya jadi sehalaman) melambangkan hasil yang diperoleh menjadi berantakan dan sia-sia, tidak bisa dimakan lagi (tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat)
Dari uraian tersebut, makna yang bisa diambil adalah, bahwa seorang pemimpin itu harus bisa menjaga amanah yang telah diembankan kepadanya dengan sebaik mungkin. Jangan malah jadi sombong dan sewenang-wenang atas amanah tersebut.
Secara umum, tembang Gundhul-Gundhul Pacul berisi tentang anjuran agar orang tetap menjaga kesahajaan, tanggungjawab, dan kejujuran. Tidak boleh tampil pongah, sombong, dan sewenang-wenang. Lebih khusus pesan tersebut tertuju pada siapa saja yang menjadi pemimpin, yang memikul amanah besar dari rakyatnya.
"Oh berarti syiiran niku kagem Pemimpin engkang dzolim nggih Kang?"
"1000 kagem Ning Kayla."
"Hehe."
"Tak kira niku mboten wonten maknanipun Kang, lucu, gundul-gundul pacul kados tembang dolanan."
"Nggih seng mboten semerep nganggap ngoten, sak niki kan Ning Kayla sampun semerep to?"
"Nggih Kang."
"Kayla sampun makan?"
"Sampun Kang. "
"Nggih mpun, Ning Kayla seng sregep seng rajin nderese, mengken pulang di lamar."
Apa lagi maksudnya? Terdengar sangat ganjal. Siapa yang mau ngelamar? duh Kang Ali, selalu saja membuat teka-teki saat pertemuan menyapa.