Setelah menyetorkan hafalan, Kami menuju kamar asrama untuk beristirahat. Belum genap kakiku melangkah, seperti ada yang sengaja memaparkan kakinya di hadapanku dan "gedebuk!" aku pun jatuh dan mengalami cedera yang cukup serius.
"Keterlaluan kamu Siska! Ayu! Apa salah ning Kayla pada kalian!" ucap Amelia geram dan akhirnya terpaparkan bahwa Aku adalah seorang anak kyai dengan sebutan Ning.
Kakiku sangat sakit, Aku mencoba menhannya tapi nampaknya kakiku tak dapat kembali menuju tempat semula. Entah mungkin ada yang retak atau patah, Sangat sakit sekali terbentur di keramik bukan di tanah.
Dari jauh nampak Ustadzah Ainun segera berlari ke arahku.
"Innalillahi, Dek Kayla" ucap beliau mencoba membantuku berdiri. Tapi na'as sakit sekali bahkan untuk meluruskan kakiku aku harus menahan dengan air mata yang mengalir membasahi kerudung hijauku.
Andaikan ada Lek Ali. Mungkin Ia akan menggendongku dan membawaku untuk di obati. Kabar jatuhku terdengar sampai ke keluarga ndalem. Hingga Bu Nyai mengetahui apa yang terjadi dan mentakzir Siska dan Ayu.
Sedangkan beliau meminta semua agar membawaku ke ndalem beliau, untuk di obati disana. Tak lama kemudian rasanya barang-barang di depan mataku melayang dan bergerak-gerak.
"Ya Allah apakah aku akan pingsan" semua terlihat berputar-putar tak tentu arah.
Aku pun tak mengerti apa yang terjadi terhadapku saat pingsan. Saat aku bangun aku sudah tertidur di sebuah kamar, entah kamar itu milik siapa, aku pun tak mengerti. Tak lama kemudian Bu Nyai menghampiriku dan aku segera bangkit.
"Mpun ampun di paksa, sampean tasek sakit nduk" tutur beliau dengan nada yang santun dan lembut.
"Niki di unjuk nggih" sambung beliau dengan menyodorkan jahe hangat padaku dengan tangan beliau yang lembut.
"Matur suwun Bu Nyai, dalem sampun mendingan" ucapku segera bangkit tapi kakiku tak mengijinkanku untuk melangkah. Berat sekali rasanya karena benturan yang terjadi sangat mengilukan tulang kakiku.
Tak lama kemudian datang Gus Zein yang masih rapi memakai jubah putih sorban hijau dan peci putih di hadapan kami. "Antum? Kok bisa disini?"
"Zein, biarkan Ning Kayla istirahat disini"
"Kenapa di kamar Zein Mi? Kan bisa di sofa sana"
"Zein...!"
Nampaknya Ia tak suka aku terbaring di kamarnya. Aku pun dengan sekuat tenaga melangkahkan kakiku untuk bangkit dari tempat tidur itu. Satu dua langkah ku lancar. Tiga, badanku mulai tak dapat menjaga keseimbangannya dan "brukk" aku terjatuh tepat di depan Gus Zein.
Setelah itu aku tak sadar apa yang terjadi. Kembali badanku terbaring di kamar putra Kyai Faqih.
Aku mulai tersadar lagi, kosong di sekelilingku. Hanya ada laptop yang tertutup di sebuah meja kecil di hadapanku. Beberpa menit kemudian Gus Zein menghampiriku, kali ini dengan sepiring makanan.
Ya Allah, baik sekali keluarga ini. Langkahnya makin mendekat padaku.
"Maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi seperti ini" ujarnya dengan meletakkan makanan itu di lemari kecil.di samping tempat tidur yang ku pakai. "Syafakillah" ucapnya lalu pergi dengan terburu-buru.
Mungkin karena Ia akan mengajar atau ada urusan lain. Ah, kenapa aku jadi kepo dengannya.
Niat untuk meninggalkan kamar ini mengetuk sanubariku. Aku pun tak mau menjadi aib atau fitnah di keluarga Pesantren ini. Dengan langkah yang pelan aku menuju kamar asrama. Tiba-tiba sampai di tangga, aku bertemu dengan Ririz.
"Astaghfirullah, Ning" ucapnya sambil memapahku berjalan ke atas menuju kamar asrama. Aku pun tersandar di pintu loker para santri.
"Sampean belum sembuh to Ning? Kalau bu nyai nyari sampean gimana?"
"Aku ndak mau merepotkan keluarga ndalem"
"Ya sudah ning tidur, waktunya tidur Ning" ucap Ririz lalu pergi menuju kamar sebelah. Setelah itu datang Amelia.
"Loh Ning Kayla?" Ucapnya. Ya Allah identitasku semakin jelas disini.
Semua menjadi perhatian padaku kecuali Siska dan Ayu yang masih dendam padaku karena ulah mereka kepadaku akhirnya pengurus mentakzir mereka.
Aku pun tertidur, bersandarkan loker dengan bantal kecil. Malam semakin larut. Semua pengurus berkeliling untuk melihat siapa yang belum terlelap tidur. Karena sekarang adalah jam tidur bagi para santri putri maupun perempuan.
***
"Dek Kayla" ucap Lek Ali dalam balutan mimpi.
"Lek Ali" aku pun mengejarnya. Namun yang ku dapati hanya senyuman manis yang terpancar dalam wajah indahnya.
***
"Aaaaaa!!!"
"Astaghfirullah, dek Kayla kengeng nopo (Kenapa)?" suara Mbak Ainun terdengar lirih di telingaku.
"Kang Ali, Kang Ali. "
"Dek, dek Kayla. Istighfar dek" ucap Mbak Ainun padaku.
Beberapa menit kemudian mataku terbuka "Kang Ali!"
"Dek? Kengeng nopo?"
"Astaghfirullah, mboten nopo-nopo Mbak."
"Nggih mpun tilem malih nggih." ucap Mbak Ainun menyelimutiku.
Aku tak dapat tidur setelah itu. Bagaimana kabar Kang Ali? Kapan Kang Ali kesini? Aku rindu Kang Ali.
Anganku masih menyusuri kenangan yang terlukis indah dalam kanvas otakku.
Tak lama kemudian kantukku pun datang dan aku mulai tertidur. Belum satu jam penuh aku harus terbangun lagi, karena waktunya qiyamullail dan tahajud. Dengan mata yang masih sipit, aku bangkit dan menuju kamar mandi.
Kulihat antrean gayung yang panjang memenuhi seluruh pintu kamar mandi. Sepertinya aku harus menunggu lebih lama lagi untuk membasuh seluruh tubuhku.
Ya Allah, kakiku masih sakit, tapi aku tau ini tak seperti apa yang di ujikan pada Nabi Ayub Alaihis Salam, Maka kuatkan aku untuk melangkah Ya Allah. Tak lama kemudian giliranku untuk membersihkan diri.
"Heh! Aku dulu, aku ketua kamar!" suara itu mengangguku lagi. Suara seorang ketua kamar Shofia 2 yang terkenal jahat dan sombong.
"Silahkan, kamu duluan" ucapku ramah padanya.
"Sampean itu gimana to dek? Mau saja di perlakukan seperti itu" ujar salah satu mbak-mbak senior yang berdiri di belakangku.
"Biarkan mbak Man Shobaro Zhafiro" ucapku masih dengan menyentuh bagian kakiku yang terasa ngilu.
"Ya Allah dek, sabar itu juga ada batasnya,"
"Bukan sabar jika ada batasnya Mbak" tuturku, beliau hanya diam menjawab jawabanku.
Setelah membersihkan tubuh, kulangkahkan kakiku menuju musholla untuk sholat tahajud. Ya Allah, berikanlah hamba kesabaran yang cukup untuk menghadapi setiap ujianmu. Berikanlah hamba ketaqwaan yang tinggi untuk selalu berhusnudzon pada-Mu.
Setelah sholat shubuh, aku pun mengikuti nadhoman yang menjadi rutinitas para santri saat hari mulai terang. Setelah Nadhoman selesai kami pun di beri jatah makan untuk sarapan. Menu kali ini adalah nasi tempe sambel pete. Pas dengan apa yang tak ku sukai.
Pete, makanan yang katanya enak dan lezat tapi membuat bau nafas tak sedap. Justru itu membuat muntah saat memakannya. Terpaksa aku hanya memakan nasi dan tempe saja. Ya, lauk yang sangat sederhana namun lezat untuk perut kosong seorang santri yang sedang tirakat untuk untuk mendapat barokah ilmu yang berkualitas karena ikut Kyai.