Durasi tampilan kamipun selesai, saatnya para juri untuk menilai. Ku lihat di barisan ke dua setelah tamu kehormatan terdapat Kang Ali yang tersenyum memberikan dua jempolnya untukku.
"An-Nisa Mambausshofa. Berapa lama latihannya?"
"Untuk pengiring, satu minggu Ustadz, Untuk saya satu minggu dan untuk vokal utama tidak ada persiapan" jawab Mbak Khodijah dan Mbak Izzati.
"Vokal tanpa latihan? MasyaaAllah, tapi bagus dan kompak"
"Alhamdulillah"
"Ning Kayla dulu sama Ustad Ali pernah menang lomba banjari ya?" tanya salah satu juri.
"Nggih" jawabku
"Kok semerep?" sahut Gus Ashfal
"La saya jurinya,"
"Eh, makanya kok seperti sudah biasa sholawatan" ucap Gus Ashfal.
"Semangat mensyiarkan sholawat nabi nggih" tuturnya.
"Semoga beruntung" imbuh Gus Ashfal lagi dengan senyuman ramah di depan kami.
Setelah selesai tampil kami pun turun untuk menunggu pemenang lomba Al-Banjari.
"Suaramu Nduk iku?" ujar Kang Ali yang ada di depanku.
"Mboten Kang, suaranya sound."
"MasyaaAllah suaranya Ning Kayla merdu" sahut Gus Ghoffar
Aku hanya menundukkan pandanganku dan tersenyum pada Gus Ghoffar.
Tiba-tiba Mbak Zulaikha menghampiri kami dan berkata, "Dek, di panggil Gus Zein" ucapnya.
Dari jauh memang kulihat Gus Zein selalu memandangiku ketika aku berbicara dengan ikhwan yang lain. Aku pun memohon diri untuk menghampiri Gus Zein
"Wonten nopo nggih Gus?" ucapku dengan kepala yang menunduk
"Mboten, cuma nimbali mawon" jawabnya. Astaghfirullah, sabarkan aku Ya Allah. Ku kira ada yang penting.
"Nggih mpun dalem rumiyen," ucapku menelungkupkan tanganku menuju tempat Lek Ali lagi.
"Ono opo nduk Gus Zein?" ucap Kang Ali se-sekali memandang ke arah Gus Zein.
"Mboten jelas Lek"
"4 tahun sampean sudah bisa meluluhkan hati putranya Kyai Faqih, dua-duanya" papar Kang Ali.
"Apa to Kang, wong ndak ada apa-apa kok,"
"Berat sainganku,"
"Nopo Kang?"
"Ndak ono opo-opo,"
"Kang Ali mesti ngoten,"
Kulihat matanya berkaca-kaca tapi Ia bisa menahan tangisnya.
"Sampean gak buru-buru to nduk pulang pesantren?"
"Hmm, nurut Gus Ghoffar"
"Yo wes, melu aku sek"
"Teng pundi Kang?"
"Wes, ayo!" ajak Kang Ali menarik tanganku. Sampailah kami di perkebunan tebu.
Aku bingung, kenapa Kang Ali mengajakku ke sini?
"Ning, sek iling to nyolong tebu di kejar pak tani?"
"Haha, nggih Kang"
"Kang Ali, kok mandang seperti itu to?" ucapku. Sepertinya Kang Ali mulai menghalu.
"Kang.. !"
"Eh, Astaghfirullah"
Mataku beradu dengan sosok lelaki yang sangat perhatian dan sayang padaku. Tapi sayang, aku harus memendam perasaan ini sendirian.
Kang Ali, banyak lelaki yang datang padaku, tapi semua tak bisa menggantikan sosok Kang Ali yang sangat baik hati juga penyayang.
"Kang Ali, mboten pengen lanjut kuliah?"
"Mboten Nduk, pengen selawase urip nang pondok"
"Ning Kayla ajeng kuliah?"
"Mboten Kang. ,"
"Tak lamar gelem Nduk?" ucap Kang Ali.
Suasana menjadi hening, kabar baik bagiku, jika Lek Ali ingin mengkhitbahku. Tapi, apa Abah akan setuju dengan hubungan kami. Mengingat Lek Ali hanya seorang Abdi Ndalem.
"Ning Kayla,"
"Nggih Kang. "
"Kok meneng wae?"
"Mboten nopo-nopo Kang. "
"Ning Kayla" ucap Kang Ali mendekat padaku
Pertemuan yang membuat sekujur tubuhku di penuhi dengan aliran yang tak sanggup ku jelaskan. Ya Allah, Tak sanggup ku bayangkan menikah dengan seseorang yang mempunyai lingkup keluarga sama denganku yaitu keluarga besar Pesantren Al-Fatah
"Kang Ali niku ada-ada saja,"
"Serius niki,"
Suasana mendadak hening.
"Ning Kayla," ucapnya memegang kedua bahuku membuat mata kami saling bertatapan.
" Lek, kadose acaranya ajeng di umumkan pemenangnya," ucapku membuat Lek Ali yang akan bicara, berhenti seketika. Nampak Lek Ali sedikit kecewa.
Kami pun kembali ke tempat acara. Tangannya masih menggenggam tanganku.
"Kang, mboten pantes di sawang tiyang"
"Aku gak peduli."
Aku pun tak dapat berbicara apa-apa. Selama ini aku tak pernah membantahnya. Terlihat Gus Zein dan Gus Ghoffar melihat kami saling bergandengan. Gus Ghoffar maklum dengan itu tapi Gus Zein seperti menyemburatkan rasa marah dan kesal.
Kini saat yang mendebarkan untuk para peserta. Karena aku yang menggantikan vokal utama, tanggung jawabku semakin berat disini.
"Juara ke 3 diraih oleh Al-Musthofa Jombang, juara ke 2 di raih oleh Al-Fatah Bojonegoro"
Alhamdulillah Pesantren Abah meraih predikat juara dua. Tentu itu tak lepas dari bimbingn master sholawat disana yaitu Lek Ali.
"Kang Ali, hebat."
"Mboten kang Ali, tapi mereka semua yang mempunyai semangat tinggi untuk.
mensyiarkan sholawat Nabi" terang Kang Ali merendah.
"Dan inilah juara yang ditunggu-tunggu. Juara pertama Lomba Al-Banjari se-provinsi Jawa Timur jatuh kepada. An-nisa Mambausshofa Gresik"
"MasyaaAllah Kang" ucapku tak sadar memeluk Kang Ali. Nampak binar senyum di wajah Kang Alii. Aku malu, sangat malu.
"Kang Ali, bangga padamu Nduk" ucapnya. Aku hanya dapat tersenyum dan bergabung bersama anak-anak Al-Banjari untuk menuju ke atas panggung dan menerima sebuah penghargaan.
Dari jauh binar mata Kang Ali tampak jelas disini. Terharu, air mataku ingin jatuh. Tak ada persiapan hanya dengan Bissmillah aku mengawalinya.
Setelah acara lomba selesai, kami pun pulang ke Pesantren masing-masing.
"Ning Kayla, hebat" ujar Gus Ghoffar
"Mboten Gus, hanya beruntung saja,"
"Monggo, mlebet" ucap Gus Ghoffar membuka pintu mobilnya.
Tiba-tiba saat ku melangkah Gus Zein dari jauh berkata, "Ning Kayla, ikut mobil saya saja" ucapnya.
"Mobil sampean gak cukup Zein,"
"Tukar, Mbak Zulaikha ikut mobil Mas Ghoffar, Ning Kayla biar ikut aku,"
"Yo jangan gitu, tadi kan Ning Kayla sama mobilku. Yo pulangnya ikut aku,"
"Apa bedanya? Tujuannya kan sama Mas"
"Wes Ning Kayla ikut aku!"
"Gak wes, ikut aku saja."
Astaghfirullah, ada apa dengan mereka berdua. Hal sepele di ributkan, mau aku ke mobil salah satunya tetap sama tujuan.
Kulihat Kang Ali berjalan ke arah samping mobil.
"Kang Ali..!"
"Dalem."
"Kang Ali saget ngantar Kayla ke Pesantren kan?"
"Lho, lha ini sudah ada Gus Ghoffar sama Gus Zein,"
"Ning Kayla kalih dalem mawon nggih?" ucap Gus Ghoffar
"Mboten Gus, demi kebaikan dalem kalih Ustadz Ali mawon, Assalamu'alaikum," ucapku pergi dan menarik tangan Lek Ali.
Aku pun menuju mobil yang di kemudikan Kang Ali. Lek Ali memindahkan para santri menuju mobil yang di bawakan Mas Syarif.
"Lho Kay, ndak ikut ke Pesantren?" tanya Mas Syarif
"Mboten Mas, tolong sampaikan salam saya pada semuanya ya Mas."
Kang Ali membukakan pintu mobil untukku dan kami pun memulai perjalanan.
"Ning Kayla,"
"Hmm,"
"Kok Hmm to ?"
"Hehe, nggih Kang,"
"Ning Kayla. "
"Nggih Kang Ali,"
"Kesusu gak (buru-buru tidak)?"
"hmm, memang kenapa Kang?"
Diam saja.
Kang Ali, manusia teraneh, manusia terunik yang pernah ku kenal. Tiba-tiba Ia memilih jalan yang tak seharusnya kami lewati.
"Kang mau kemana?"
Hanya tersenyum membuatku takut sendiri.
"Kang ini arah Tuban?"
Tersenyum lagi
Hening sampai tujuan dan aku pun tertidur.