Chereads / Senyum untuk Pihu / Chapter 2 - Mas, aku harus bagaimana

Chapter 2 - Mas, aku harus bagaimana

Namun hari ini, dia ingin membuat Pihu senang. Setelah seharian kelelahan setidaknya dia bisa memberi Pihu sesuatu yang di inginkan nya. Meski itu tidaklah seberapa.

"Silakan Buk! Giliran sampean sekarang," ucap seseorang mengagetkan Bunda dari fikiran nya.

"Ohh anu Pak, iya sebentar,"jawabnya dengan gugup.

"Bunda kesana sebentar ya Nak, Pihu disini saja jangan kemana-mana oke? Habis ini kita beli ice cream"

Pihu mengangguk, Bunda mengecup kepalanya sebentar kemudian berlalu meninggalkan Pihu di kursi kayu itu.

Kepalanya menoleh sebentar ke arah Pihu yang tengah terduduk manis, matanya tak puas menjelajahi setiap sudut kota ini dengan seksama.

Meski ada ragu di hatinya meninggalkan Pihu sendirian, namun ia tetap pergi ke tengah kerumunan itu. Ia ingin segera menyelesaikan nya lalu pergi pulang secepatnya. Rasanya hari ini sangat melelahkan, ingin rasanya cepat-cepat berbaring di kasur lapuk miliknya.

Namun terlambat, ketika dia kembali ke tempat dimana ia tadi meninggalkan Pihu dia sudah tidak ada di tempatnya. Ceroboh sekali memang, meninggalkan seorang anak di tengah keramaian ini.

Wajah nya sudah pucat, berlari kesana kemari seperti orang yang kehilangan akal. Berteriak-teriak memanggil nama Pihu namun tidak ada yang meresponnya. Semua orang hanya sibuk dengan diri mereka sendiri.

Ketika ia hanpir putus asa, matanya membulat. Takut salah mengenali. Namun ya, benar itu adalah putri kecilnya Pihu sedang duduk manis sembari asyik menikmati ice cream di tangannya.

Bunda segera berlari dan memeluk Pihu dengan erat. Ia menangis sejadinya karena benar-benar takut kehilangan orang yang ia cintai lagi.

"Bunda kok nangis? Pihu kan ga kemana-mana cuma makan ice cream yang enak ini doang," ucapnya polos dengan mulut yang belepotan.

"Bunda takut kamu kenapa-kenapa"

Suaranya tercekat di tenggorokan ketika melihat seorang pria paruh baya yang duduk di samping putrinya.  Pandangan mereka beradu, lututnya seperti kehilangan tenaga sekarang. Dia?

"Maaf Buk, tadi saya liat dia sendirian disana, jadi saya mengajak nya kesini karena saya fikir anak Ibu ini tersesat. Maafkan saya sekali lagi," ucap pria itu memohon.

Sedang sang empunya hanya diam tak bergeming, dunianya seolah berputa ke masa lalu. Masa yang sedang ia hindari saat ini.

"Dan ini, sebagai permohonan maaf saya ibu bisa hubungi saya jika sedang butuh bantuan. insyaAllah saya akan membantu semampunya, tolong diterima," lanjut nya kemudian sambil menyodorkan kartu kecil dengan sebuah nama di atasnya, lengkap dengan alamat dan perusahaannya.

Ia enggan menerimanya, namun entah apa yang merasuki jiwa nya tangan itu perlahan bergerak meraih kartu nama tersebut. Setelah mengambilnya, ia segera undur diri. Menundukan kepalanya lalu segera menggendong Pihu di pangkuannya.

Pria itu hanya mematung, fikirannya sedang berkelana. Wajah wanita itu tak asing baginya. Tapi siapa?

Ia pandangi lekat-lekat hingga ia menghilang di tengah kerumunan. Namun nihil, ia tak dapat mengingatnya.

Wanita dan anak manis itu sudah pergi, hilang dalam keramaian ini. Ia hanya mengacak rambutnya asal, kemudian berlalu. Meninggalkan tempat itu, yang semakin siang semakin berjejal manusia dari berbagai kalangan.

____

Pihu masih dengan santai duduk di belakang ibunya  sambil menghabiskan sisa ice cream di tangan nya. Wajahnya tampak girang ketika mereka berpapasan dengan beberapa peternak yang sedang menggiring itik-itik mereka.

Pihu tak hentinya berceloteh tentang mereka, bahkan merajuk ingin membawa satu itik untuk dibawa pulang. Bundanya hanya terkekeh pelan, mengabaikan ocehan Pihu yang semakin berisik.

Mereka telah sampai setengah jalan, ketika hujan mulai mengguyur tanah yang subur ini kembali. Beruntung, ia selalu membawa segulung plastik transparan yang biasa digunakannya untuk menutupi jagung jika hari mendadak hujan.

Setidaknya ini cukup untuk melindungi putrinya dari air hujan, masalah dirinya terkena hujan dia sudah terbiasa dengan ini. Semua sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya.

Pihu berhenti berceloteh Sekarang, tangan mungilnya memegang erat plastik itu dengan terus memeluk Bunda.

Rasa takut mulai menjalar di tubuhnya ketika petir saling bertautan menyambut mereka.

Air hujan seolah di curahkan begitu dahsyatnya, tanpa ampun menhujam tubuh kecil itu dengan tega.

Badannya sudah menggigil kedinginan di balik plastik. Bibirnya tak henti menggumamkan dzikir agar di selamatkan sampai rumah. Bunda? Jangan ditanya lagi. Bibirnya sudah membiru menahan dingin, namun ia tetap  berusaha kuat demi putrinya.

Tangannya sudah bergetar hebat, giginya bergemerutuk saling beradu. Tatapannya mulai buram, tapi sedikit lagi dia sampai, dia harus kuat.

____

"Pihu, ayo makan dulu nak.. dari siang kamu belum makan,"

Panggil nya sembari menyiapkan makanan ala kadarnya. Hanya sup dan nasi hangat untuk malam ini. Namun sang empunya nama tak juga menunjukkan diri, Bahkan menyautpun tidak.

"Pihu?" Ia mulai cemas, setengah berlari ia menghampiri Pihu yang tengah meringkuk di kasur lapuk milik mereka. Badan nya tertutup kain tipis yang biasa mereka gunakan sebagai selimut.

"Pihu ko ga nyaut, dari tadi Bunda panggil kamu lho," ucapnya sembari membuka selimut yang putrinya gunakan, tapi tangannya langsung berhenti ketika secara tak sengaja menyentuh permukaan kulit Pihu.

"Ya Allah badan kamu panas sekali Pihu," kagetnya sembari menyentuh dahi anak itu. Dengan gusar dia membungkus badan Pihu dengan selimut, lalu membawanya keluar.

Dengan segera mengendarai sepeda tuanya, menembus malam yang dingin dan gelap dengan Pihu di gendongan nya. Namun nahas, jalan yang berlumpur setelah di guyur hujan membuatnya kehilangan keseimbangan.

Braakkkk

____

Dengan segala usaha dan doa dia tiba di pelataran rumah yang cukup luas. Matanya bercahaya, seakan harapan berada di hadapan nya kini. Bulir bening jatuh dari pelupuk matanya, sekejap mengerjap kemudian segera meraih pintu kayu yang berdiri kokoh di depannya.

Ia mengetuk pintu itu dengan amat keras, peluh sudah mengucur dari pelipisnya. Bukan karena betapa lelahnya ia, namun begitu takutnya akan sesuatu yang buruk menimpa anak semata wayangnya.

Tokk tokk tokkk

"Assalamualaikum Buk Bidan," ucapnya lantang di tengah kesunyian malam. Namun tak terdengar sambutan dari dalam. Hening, masih tetap hening.

Ia ulangi berkali-kali, suaranya mulai bergetar sendu. Dia terserak merintih, bersimpuh di hadapan pintu kokoh itu. Kemana semua orang sebenarnya? Dia begitu lemah. Namun tak ada seorangpun disana yang sekedar menawarkan pertolongan.

Tubuh Pihu melemah, panas tubuhnya meningkat, bibirnya sudah memucat. Wajah ayunya tampak sakit, Ya Allah ia tidak sanggup melihat harta satu-satunya seperti ini.

"Siapapun tolong saya, tolong putri saya," ungkapnya sendu. Bibirnya tak henti terisak menahan sesak yang menyeruak. Menjalar ke setiap sendi, betapa tidak mampunya dia menjadi ibu yang baik untuk Pihu. Dia hancur oleh kenyataan itu.