Sebenarnya Beni sudah merasa betah dengan suasana di kota ini, ia merasa berat juga jika harus meninggalkan kota ini, apalagi sekarang ia dan Chacha sudah menjalin hubungan cinta. Bahkan sudah berbuat yang lebih kepadanya.
"Hufftt ...."
Beni menarik nafasnya dalam-dalam, fikirannya tidak bisa berhenti memikirkan rentetan kejadian di beberapa hari ini yang telah menimpanya.
Studio yang dia bangun selama tujuh tahun sudah habis terbakar, lalu tanpa disangkanya sama sskali, dia akan mendengar cerita Chacha yang sangat menyakitkan itu. Cerita yang membuat Beni merasa semakin terpukul. Apalagi pada saat rasa cinta yang tumbuh kepadanya semakin membesar.
"Jaman sekarang masih ada yang menjodohkan anaknya!?, Arghhhh Sia**ala*n!" Beni mendumel dalam hatinya sendiri.
Beni sungguh ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah dia perbuat padanya, tapi orang tua Chacha pasti tidak akan merestuinya.
"huuuuuffttt ...."
Lagi-lagi beni hanya bisa menarik nafasnya dalam perih hatinya. Tampak jelas mukanya kini nampak lebih kusut, lelah menahan beban hidup yang mulai terasa berat di fikirannya.
Saat ini hanya Chacha yang telah membuatnya merasakan lagi ketenangan, gadis yang sudah di kenal dan ia sukai sejak dulu. Gadis yang sudah menyerahkan diri untuknya, gadis yang merasa hidupnya sudah hancur akibat perjodohan oleh orang tuanya dengan lelaki tua itu.
"Aaarrhh! Dunia dan alam semesta sungguh tidak adil!! Eerrrghhhh!! Huuuuuuuffftt ...."
Beni benar-benar merasa disudutkan oleh keadaan. Mencekiknya dengan semua kejadian yang menimpanya. Satu hal yang bisa menenangkannya adalah kehadiran Chacha dihidupnya.
Beni kembali mencium punggung tangan Chacha dengan lembut, sampai lama tak juga dilepaskannya ciuman itu, seakan ingin mentransfer kekuatan dan memberikan perlindungan penuh kepada Chacha, juga pada dirinya yang saat ini sama-sama rapuh.
Setelah cukup puas berkeliling kota sembari menikmati dinginnya angin malam, mereka mampir ke resto cepat saji. Pertarungan tadi sore yang cukup menguras tenaga itu membuat mereka berdua makan dengan lahapnya.
"Mau nambah lagi makanannya sayangku?" Ucap Beni dengan lembut.
"Aku mau pesan satu porsi lagi ya sayang, hehe, lapar banget." Jawab Chacha dengan tersenyum, manis sekali.
"Siap kumendan! laksanakan!"
Senyum Beni mengembang, lalu bangkit dari tempat duduknya dan segera melangkahkan kakinya menuju kasir dan memesan satu porsi lagi buat Chacha.
"Sayang, malam ini kamu nginep di kostan aku ya temani aku. Mau kan?"
Selesai makan, Chacha meminta Beni untuk menemaninya malam ini, menginap di kostannya. Kebetulan kostan Chacha tergolong kostan yang bebas, jarak rumah ibu kost dan kostannya itu lumayan cukup jauh, dan tetangga-tetangganya seorangpun tidak pernah ada yang usil.
"Serius? gak apa-apa gitu? Kalo si Joni adik kecilku ini bangun lagi gimana? Repot nanti urusannya, hehe."
Entah bercanda atau serius ucapan Beni itu, matanya genit menatap Chacha, tanpa disadari otaknya kembali membayangkan pergulatan sore tadi, membuat jantung Beni kembali bergetar, dan si Jonipun menegang.
Beni lelaki normal yang mempunyai nafsu syahwat diatas rata-rata. Tadi sore, Jika saja Chacha tidak mengajaknya keluar cari makan, sampai 5 ronde tanpa henti sekalipun, tentu akan dilahap habis sama dia.
"Isshh! Adik kecil itu siapa namanya, Joni? Hem, lebih keren nama adiknya ya, haha. Joni mah baong ih, gara-gara si Joni, sampai sekarang masih berasa ada yang mengganjal di sini nih, hehe." Dengan matanya, Chacha menunjuk ke sela-sela pangkal pahanya, area sensitif miliknya yang indah itu. Seketika, pipinya yang putih bersih itu mendadak berubah kemerahan.
Chacha terdiam dan tersipu malu, dadanya bergetar, jantungnya kembali berdetak kencang tidak karuan. Belum apa-apa nafasnya sudah mulai tidak teratur, mengingat pertempuran hebat antara dia dan Beni sore tadi.
"Maaf ya sayang, aku tak bisa menahan diriku. Aku mencintaimu Cha."
Beni menggenggam erat jemari Chacha dengan sangat lembut, nampak binar mata keduanya itu telah dipenuhi dengan perasaan cinta yang menggelora.
"Aku juga mencintaimu a Beni sayang" Jawab Chacha sembari menatap Beni lembut. Seuntai senyum menghiasi wajahnya yang cantik.
"Cuuuuppp! Cuuuuppp!" Kecupan hangat itu kembali mendarat sempurna di punggung tangan Chacha, seolah memberi isyarat untuk segera meninggalkan resto siap saji itu.
Lalu mereka melangkah beriringan menuju ke parkiran motor dimana tadi Beni memarkirkan sepeda motornya.
Sebelum sampai di kostan nya Chacha, Beni berhenti dan mampir ke mini market pinggir jalan yang dilaluinya itu, membeli segala sesuatu keperluan untuk nanti malam.
Beni mengambil beberapa cemilan untuk Chacha. Tidak lupa membawa dua botol air mineral kemasan, minuman ringan bersoda, rokok dan pengaman. Antisipasi biar kejadian tadi sore tidak terulang, Beni merasa tidak enak hati juga kalau harus mengeluarkannya di perut Chacha. Seperti di film-film begitu.