Tidak membutuhkan waktu lama, Chacha dan Beni akhirnya sampai di kostan Chacha. Kebetulan hari ini weekend, banyak penghuni kost yang sedang pulang kampung.
"Yuk a Beni masuk." Chacha mengajak Beni masuk ke dalam. Beni segera melepaskan sepatunya, lalu menaruhnya di rak sepatu.
"Iya cha, gak apa-apa nih aku masuk?" kata Beni rada sedikit sungkan, walaupun kenal sudah sejak lama, baru kali ini Beni diajak ke kostannya Chacha. Selama ini mereka biasa bertemu di studio, atau membuat janji temu di lokasi hunting photo saja.
"Emang kenapa? ga apa-apa lah, mau apa-apa juga gak apa-apa asal a Beni senang lah. Hihi" Jawaban Chacga agak sedikit ngawur, membuat otak Beni travelling kemana-mana, degdegan.
"Ah kamu mah, degdegan nih, hehe" Berasa dapat angin segar, Beni langsung masuk ke kamar kostan Chacha.
"Mana cha katanya punya yang seger-seger, hehe." nampaknya Beni sudah tidak sabar ingin meneguk wine itu, terlebih es batu nya sudah sedikit mencair.
"Eh iya, itu a Beni ambil aja di kulkas ya" kata Chacha sembari menunjuk kulkas kecil di deket pintu kamar mandi.
Kamar kostan Chacha tergolong kamar yang bagus dan nyaman, kamar mandi nya pun ada didalam. Sedang kulkas kecil dan segala perabotannya itu rupanya Chacha sengaja bawa sendiri dari rumah.
"Siaaap aku bawa yaa." Ucap Beni seraya melangkahkan kaki ke arah kulkas kecil itu. Sembari membawa botol wine itu, tangannya meraih gelas kosong dan mangkuk kecil dari rak diatas kulkas, untuk menyimpan es batu yang barusan dia beli.
Chacha nampak sudah berganti baju dan duduk di pinggir kasur kostannya. Di kostannya, Chacha memang lebih suka lesehan, kasur di gelar di bawah Karpet permadani tebal tanpa ranjang, didepan kasurnya tampak sebuah televisi menempel di dinding tembok, jadi posisinya itu pas banget, ketika Chaca sedang dalam posisi tiduran, matanya tepat mengarah ke televisi itu.
"Ini Cha, enak dingin." Beni menyodorkan gelas yg sudah di isi wine dicampur es batu setengah gelas.
"Aaw lezat nihh hehe, makasih ya a Beni," ujar Icha melengkungkan senyumannya kearah Beni.
"By the way, a Beni tabah ya, semoga semua yang hilang secepatnya tergantikan dengan yang lebih baik. Amiinn." Kata Chacha sembari menatap Bejo dalam-dalam. Tatapan itu nampak tulus, ada kesedihan tersirat dari sorot matanya.
"Iya makasih banyak ya Cha" sahut Beni pelan, berusaha nampak tegar, lalu melayangkan senyuman tipis kearah Chacha.
"Sepertinya aku akan pulang ke Bandung cha. Studioku tidak aku asuransikan, tabunganpun sudah sangat menipis. Aku tidak akan bisa bertahan lagi disini." Kata Beni lirih, gelas yang sudah kosong itu, di isinya lagi. Kali ini gelas itu terisi hampir full.
Sekali tenggak, habis sudah wine di gelas itu semuanya. Lalu Beni lihat masih ada sisa setengah botol lagi, Beni mengisinya lagi gelasnya itu sampai full. Lalu ditegak lagi sampai habis.
"Huuuuffttt." Beni meghembuskan asap rokoknya itu dengan sangat panjang. Seakan ingin membuang segala beban di pundaknya.
"Hah? apa? serius mau pulang lagi ke Bandung? terus studio nya gimana? jadwal - jadwal yang sudah masuk gimana?"
Chacga tidak henti mencecar Beni dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Beni terdiam untuk sesaat, lalu berkata.
"Ya kondisinya seperti itu. Segala sesuatunya besok akan aku urus, sekarang aku hanya ingin melonggarkan dulu syaraf-syaraf otakku cha, semuanya terasa tegang, sampai-sampai adikku dibawah ini ikutan tegang berdiri! Wkwk eh duh maaf cha keceplosan, bercanda. Hehe" Ucap Beni ngawur.
"Iihhhh a Beni, apaan sihh!" Chacha berguman pelan dalam hati, pipinya nampak memerah.
Sepertinya Beni malas membahas masalahnya. Biarlah hal itu dia fikirkan nanti saja dirumah sendirian.
Sebenarnya tadi Beni bercanda saja, ngomong asal jeplak. Walaupun fikirannya memang sempat rada-rada ngeres juga melihat Chacha mengenakan celana pendek ketat serta kaos oblong itu. Sampai-sampai, ketek mulusnya itupun terlihat sempurna dimata Beni.
"wah gawat!" Beni berguman pelan dalam hati seraya sesekali melirik ke tubuh Chacha yang nampak seksi sekali memakai setelan itu.
Paha Chacha memang sangat mulus, Putih bersih, dilengkapi dengan bulu bulu yang sangat halus. Cowok mana yang sanggup menahan diri melihat mahluk secantik Chacha?
"Haah? Apanya yang tegang berdiri?"
Pertanyaan frontal yang diajukan Chacha itu sontak menyadarkan fikiran ngeres Beni. Nampak tangan kanan Beni menggaruk kepalanya tidak keruan seraya melengkungkan senyum kikuknya.
Tetiba saja, Chacha merasa malu bertanya seperti itu, Pertanyaan macam apa pula itu? Semua yang terlontarkan keluar begitu saja dari mulutnya tanpa tersaring, mukanya kembali memerah.
Karena tanpa sepengetahuan Beni, dari dulu Chacha sebenarnya menyimpan rasa buat Beni, tetapi Chacha selalu berhasil memendam semuanya. Ia simpan dan kunci rapat agar Beni tidak mengetahuinya. Setidaknya sampai Beni yang mengungkapkan perasaannya lebih dulu,
"Ahahaha, becanda denk chaa." Beni terkekeh, merasa malu menyadari kelakuan konyol nya sendiri, senyum bodoh nampak diwajahnya.
Setelah musibah kemarin malam yang menimpa studionya, baru sekarang dia bisa tertawa lepas, menertawakan kekonyolannya sendiri.
"A Beni mah ada ada aja ah, tolong isi lagi donk a, aku mau lagi, hehe."
Chacha menyodorkan gelas kosong di depannya, lalu dengan sigap Beni mengucurkan wine yang tinggal tersisa setengah botol lagi itu, ditambahkannya es batu dua buah, lalu gelas yang sudah terisi wine itu langsung di sodorkan nya ke Chacha.
"Ini cha, makasih yaa, setelah musibah kemarin malam, baru kali ini aku merasa santai lagi. Terima kasih sudah mengajakku kemari dan menawariku wine enak ini, akhinya aku bisa tertawa dan melepaskan penat sesaat" Ucap Beni sembari mengunci pandangan matanya kearah Chacha. Senyum Beni menghiasi wajahnya penuh arti, Chacha salah tingkah dibuatnya.
Chacha segera meneguk wine itu sampai habis. Entah mengapa, melihat senyum lelaki dihadapannya itu dadanya tiba-tiba berdebar kencang. Gelas kosongnya itu kembali ia letakan diatas karpet, pandangannya ia jatuhkan ke bawah kaki yang disilangkannya menyerupai seorang petapa. Sementara kedua jemarinya saling meremas pelan.
Beni tidak mengerti, mengapa bola matanya selalu menuntunnya kearah mahluk cantik didepannya itu. Rasa hati ingin selalu menatap lekat seraut wajah Chacha yang cantik, seksi, padat, berisi dan menggemaskan itu.
Mungkin ada koneksi kuat diantara mata mereka hingga turun sampai ke hati. Ketika bola mata Beni tersambung dengan matanya yang bening itu, hati Beni seketika merasa menjadi lebih tenang, seakan tidak pernah terjadi sesuatu apapun yang menimpanya.
Tiba-tiba Beni meraih tangan Chacha pelan, digenggamnya kedua tangan itu sembari berbisik.
"Cha, andaikan aku punya waktu dikota ini lebih lama, ingin rasanya aku selalu bersamamu, ah kenapa tidak dari dulu ya!?" Ucap Beni lirih.
"Deg!"
Entah apa maksud Beni, Dia tidak tahu kemana arah pembicaraannya itu. Semua mengalir begitu saja keluar dari bibirnya. Pengaruh wine atau memang berasal dari hati, Beni tidak memahami. Mungkin ia telah larut terbawa suasana. Jiwanya seakan menuntut untuk tidak lagi berlama-lama tenggelam dalam lautan kesedihan.
"Mak-maksud kamu gi-gimana a Beni?" Tanya Chacha sedikit terbata-bata mendengar ucapan Beni tersebut, walaupun dalam hatinya merasa senang mendengar Beni mengucapkan hal itu. Ada riak-riak kecil dihatinya, sebuah rasa yang menyalurkan kenyamanan menjalar keseluruh tubuhnya.
Beni lalu lebih mendekat, tangannya masih saja menggenggam lembut tangan Chacha. Mereka begitu dekat, tidak sedikitpun Beni ingin melemparkan pandangannya ke arah lain selain ke arah mata dan bibir Chacha yang nampak mulai menggigit kecil bibir bawahnya. Bibir yang berwarna merah muda itu mungil dan sexy. Sangat menggairahkan.
"Ternyata Chacha menggemaskan ya duh, kenapa aku baru menyadarinya" guman Beni dalam hati. Jantungnya mulai berdetak tidak tidak beraturan.
"Chaa"
Panggil Beni dengan suara pelan.
"hemm"
Chacha menjawab singkat dengan deheman kecil, kepalanya masih tertunduk malu, bersiap diri jika ada sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya.
"Kemungkinan besar aku tidak akan menetap lagi disini, huuftt." ucap Beni lirih, membuang hembusan nafasnya perlahan.
"haaahhh? Beneran?" Chacha membelalakan mata, padahal hatinya sudah meleleh dengan rayuan Beni.
Pipinya memerah mengutuk fikirannya sendiri yang sempat menyangka Beni akan menciumnya. Malu hati rasanya.
Chacha memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. Mata nya tiba-tiba membulat. Begitu bening dan indah menatap Beni dengan tatapan serius.
Ah, padahal barusan sempat terlintas dalam fikiran kotor yang ia kutuk itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ia sempat berharap. Jika hari ini, disini, di kostan ini ia akan bercumbu untuk pertama kalinya dengan Beni, lelaki yang dia cintai dari dulu.
"Eehh kenapa aku punya fikiran seperti itu" Chacha merasa kaget menyadari fikirannya bisa seberharap itu.
"Gak apa-apa, nanti aku pasti mampir lagi ke kota ini menemuimu Cha, tidak apa kan?" kata Beni masih dengan suara lirih.
"Ya gak apa-apa atuh a Beni, malah aku tunggu, jika memang kondisinya mengharuskan kamu untuk meninggalkan kota kecil ini, aku pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu." Suara Chacha terdengar pelan dan lirih seakan menahan tangis.
Beni mengangkat dagu Chacha sedikit, pandangan mereka beradu, sangat dekat sekali, nafas kedua nya pun mulai tidak teratur.
"Aku pasti akan rindu kamu cha" Beni membisikan kata-kata itu di telinga Chacha, Chacha hanya diam. Pasrah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sekali lagi Beni menatap lekat kearah mata bening dan bibir mungil itu. Wajah mereka sudah sangat dekat, membuat pandangan menjadi sedikit agak kabur karena jarak pandang yang sangat teramat dekat itu.
Secara naluriah, Chacha menutup matanya, entah kenapa tetiba muncul gairah hebat di dadanya. Nafaspun terasa semakin pendek tidak beraturan. Desiran rasa yang aneh itu menjalar kencang didalam aliran darahnya.
Perlahan Beni mendaratkan bibirnya ke bibir mungil Chacha yang basah itu. Seketika Chacha merasakan sengatan indah yang luar biasa dari hangatnya ciuman itu, dadanya bergetar semakin hebat. Itu adalah ciuman pertama bagi Chacha.
Walaupun ada beberapa orang yang menilainya negatif karena Chacha Suka banget minum wine, tapi bukan berarti dia bisa segampang itu menyerahkan dirinya untuk disentuh siapa saja. Ia serahkan hati, cinta dan tubuhnya hanya untuk orang yang memang ia cintainya dengan setulus hati.
Cukup lama ciuman itu mendarat di bibirnya, Beni sempat terdiam sesaat, menunggu reaksi Chacha. Setelah merasa yakin tidak ada reaksi penolakan apapun, Beni semakin berani memainkan seluruh bagian bibir icha, sampai merangsak maju kedalam rongga bibirnya.
Gelora didadanya begitu memuncak, semakin lama Chacha merasa ada kehangatan dan kenyamanan yang menjalar perlahan ke seluruh sistem di tubuhnya.
"Aahh." Desisnya, ciuman itu lembut sekali, Kenyal, manis dan memabukan.
Selagi Chacha menikmati seluruh aktifitas yang memicu Libidonya itu, Tiba-tiba Beni melepaskan ciumannya, lalu merangkul erat tubuh icha.
"Maafkan aku cha, aku tak bisa menahannya." Bisik Beni pelan.
"Aku sungguh sayang kepadamu cha, andai saja aku tidak harus pergi. Aaarrghhhh!" Beni berbisik pelan dengan lirih lalu mengambil nafas panjang dan membuangnya dengan kencang.