Aku sudah siap dengan seragamku dan sedang menunggu ibu menyiapkan sarapan untukku. Bersekolah memang melelahkan. Setiap hari aku harus bangun pagi dan merapikan tempat tidur. Kemudian aku harus mandi, lalu memakai seragam dan menyisir rambutku. Oh ya, jangan lupakan saat di malam hari sebelum tidur aku harus melihat jadwal untuk besok. Aku benar-benar lelah. Kehidupan ini seperti monoton bagiku. Untung saja aku mengenal banyak orang di sana. Jadi, tidak begitu menyebalkan. Hidup ini masih bisa kumaafkan.
"Astaga, Windy. Kenapa dasimu jadi kotor? Kau pasti tertidur di meja dan lupa menutup spidolmu," ucap Ibu yang jengkel melihat dasiku terkena coretan spidol berwarna kuning.
"Sungguh, Ibu, aku tidak tidur di meja semalam. Alex yang melakukannya. Alex tidak sengaja, meskipun itu sangat menyebalkan," ucapku.
Akhirnya sarapanku sudah matang. Ibu mengambilkan nasi yang di atasnya diberi kecap dan telur. Ibu tidak bisa memasak rending atau yang lainnya karena dia harus bekerja. Kaukui, aku memang anak yang malang karena terlalu sering sendirian di rumah. Namun tidak apa-apa, aku memiliki banyak barang di kamarku yang bisa kuajak bicara. Kedengarannya memang sedikit tidak waras, tetapi sebenarnya itu membuatku tetap waras.
"Ibu aku berangkat dulu," ucapku setelah selesai sarapan.
"Jangan lupa mampir ke warung dan belilah makan siang di sana," ucap Ibu yang setiap pagi kudengar.
Setelah diberi uang saku, aku mengambil sepedaku di garasi. Sebelum mengayuhnya, aku menoleh ke belakang dan melambaikan tangan pada ibu.
Sesampainya di sekolah, kutaruh sepedaku di samping sepeda-sepeda yang lainnya. Tidak sengaja aku bertemu dengan dua anak kembar yang paling tidak kusukai di sekolah ini. Aku benar-benar tidak menyukai orang yang lebih cerewet dariku, maksudku suka mengejek. Sebenarnya aku tidak memiliki banyak masalah pada mereka, mungkin hanya saling mengejek saja. Namun itu tidak masalah, mengingat kemenangan yang lebih sering berpihak padaku.
"Hai, Windy," sapa Joanna dan Jesselyn bersamaan.
"Hai, kembar," balasku menyapa mereka.
"Kuning," ucap Joanna.
Seketika aku menunduk untuk melihat dasiku. Pastinya aku tahu apa yang dimaksud oleh Joanna. Tidak masalah, aku tidak tersinggung. Kurapikan dasiku dan menunjukkan pada mereka bahwa dasiku memang terkena coretan berwarna kuning.
"Windy yang aneh," ucap Jesselyn.
"Kalian berdua lebih aneh," ucapku lalu berjalan melewati mereka.
"Kau aneh, Windy! Rambut keritingmu tidak cocok dengan jepitan rambut pelangi," ejek Jesselyn.
Pelangi maksudnya karena aku memakai lima jepitan rambut kecil berwarna merah, kuning, hijau, biru dan ungu. Tanpa mendengarkan mereka aku tetap berjalan ke depan. Sebentar lagi bel tanda masuk akan berbunyi. Kupercepat langkahku supaya cepat sampai di kelas. Teman sebangkuku adalah Anne. Anne adalah satu-satunya perempuan yang kuanggap teman karena dia memiliki sifat yang berbeda dengan yang lainnya. Aku lebih suka bermain dengan laki-laki karena mereka begitu asyik bagiku. Karena itulah aku lebih sering menghabiskan waktu dengan mereka.
"Alex!" teriakku.
Aku menjambak rambut Alex dan menunjukkan dasiku. Alex menatapku dengan bingung dan aku juga jadi bingung. Apakah ingatan seseorang bisa hilang dalam waktu satu hari? Itulah yang ingin kutanyakan pada Alex.
"Ibuku mengomeliku karena dasiku kotor karenamu. Sekarang kita impas," ucapku setelah mengarahkan spidol berwarna hijau ke dasi Alex.
Orang-orang yang ada di dekatku tertawa. Namun tanganku justru ditarik oleh Anne. Aku diminta duduk olehnya. Padahal aku belum puas membalas pebuatan Alex padaku.
"Kenapa kau menarikku? Selalu saja kau tidak suka melihatku menjahili Alex," ucapku merasa tidak terima.
Anne menaruh jari telunjuknya di depan mulut sebagai tanda supaya aku diam. Tak lama kemudian Bu Deandra datang. Bu Deandra hanya menjelaskan materinya secara singkat dan langsung memberikan tugas. Sungguh, aku tidak membenci tugas. Aku hanya membenci waktu yang singkat yang diberikan kepada kami. Terkadang aku merasa kasihan pada otakku karena dipaksa bekerja dalam tekanan. Karena bosan, aku mengeluarkan camilan dari dalam tasku. Aku membukanya di bawah meja dengan sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara. Tenang saja, aku tidak melakukan ini setiap hari, aku hanya melakukannya di saat aku bosan. Perut kita harus terisi supaya bisa berpikir dengan baik.
"Awww…"
"Windy, ada apa?" tanya Bu Deandra.
Aku hanya menggeleng karena masih ada makanan di mulutku. Syukurlah Bu Deandra tidak menaruh curiga padaku. Dengan tatapan mematikan aku melihat Alex. Rupanya Alex ingin meminta camilanku. Sudah minta, masih merepotkan.
"Anne, tolong berikan ini ke Sisca dan bilang ke Sisca untuk memberikannya ke Darren, kemudian bilang ke Darren untuk memberikannya ke Alex," ucapku meminta tolong pada Anne.
"Alex?" tanya Anne.
"Berikan dulu ke Sisca, lalu ke Darren dan baru setelah itu ke Alex," jawabku.
Anne temanku yang baik ini tidak akan menolakku. Di antara semua orang di kelas ini, Anne tidak pernah menyebutku berisik atau sebutan yang lain dan itu membuatku spesial. Anne hanya menganggapku sedikit banyak bicara dan bertingkah. Mungkin terlihat sama saja, tetapi itu lebih terdengar halus di telingaku.
Sehabis pulang sekolah aku mampir dulu di warung. Aku akan membeli nasi ayam dan sambal. Karena antriannya cukup panjang, kutinggalkan pesananku dan pergi ke toko es krim. Kebetulan di depan ada toko es krim yang cukup besar. Apa toko es krim ini baru? Sebelumnya aku tidak pernah melihat toko es krim dengan bangunan yang cantik seperti ini. Aku menghampiri kasir dan meminta menunya. Namun, di toko yang sebagus ini mengapa hanya menjual tiga jenis es krim saja? Saat kulihat ke sekeliling, pengunjungnya ramai. Mungkin saja es krimnya enak, meski hanya tersedia tiga jenis saja.
"Permisi. Aku ingin memesan es krim stroberi," ucapku pada seseorang yang sedang menulis pesanan pelanggan lain.
"Siapa namamu?" tanya Stro Ruby jika kubaca dari label nama di bajunya.
"Windy," jawabku.
"Baik, tungu sebentar. Kau bisa membaca buku ini jika kau bosan," ucap Stro Ruby "Namanya sedikit aneh," ucapku pada diri sendiri.
Kubawa buku itu sambil mencari tempat duduk. Di warung aku harus menunggu lama, begitu juga di sini. Namun di sini lebih nyaman, jadi aku akan sabar menunggu. Saat kubuka bukunya, sebuah cahaya berwarna putih muncul dan membuat mataku silau. Aku berusaha melihat apa yang terjadi, tetapi cahayanya begitu menyilaukan mata. Lama-kelamaan cahaya itu menghilang dan digantikan dengan aroma es krim yang begitu kuat. Aku bisa mencium aroma stroberi, vanilla dan cokelat yang terasa segar di indra penciumanku. Anehnya lagi, buku setebal ini hanya terdiri dari tiga halaman. Kututup lagi bukunya untuk mengecek mengapa buku ini sangat tebal. Namun saat kubuka lagi, hanya ada tiga halaman. Kututup dan kubuka buku ini berulangkali untuk menemukan jawaban dari keanehan ini.
"Saat kubuka kertasnya tidak begitu tebal. Tapi saat kututup, bukunya jadi sangat tebal, seakan ada ratusan lembar di dalamnya," ucapku memandangi bukunya.
Oh ya, sebelumnya aku pernah melihat buku yang bisa mengeluarkan aroma saat digosok. Mungkin buku ini juga memiliki keunikan seperti itu. Namun bedanya, aroma es krim ini sangat kuat, seperti aku dikelilingi oleh tumpukan es krim.
"Satu es krim stroberi atas nama Windy!" panggil Stro Ruby.
Kututup bukunya dan kubawa ke kasir. Kemudian kuletakkan bukunya di meja dan mengambil es krimnya.
"Buku ajaib," ucapku pada Stro Ruby.
Saat aku akan kembali menoleh untuk melihat reaksinya, Stro Ruby tidak ada di sana. Karna tidak ingin ambil pusing, aku keluar dari toko ini.