Chereads / Ice Cream Windy / Chapter 2 - Kucing Jalanan

Chapter 2 - Kucing Jalanan

Aku menuntun sepedaku dengan sebelah tangan dan tangan yang lainnya memegang es krim. Aku sengaja menuntunnya dengan pelan supaya bisa menikmati es krimnya. Toh tidak ada yang menungguku di rumah. Aku tidak bisa berhenti menjilati es krim sepanjang perjalanan pulang. Bukan pertama kalinya aku memakan es krim stroberi, tetapi kali ini rasanya begitu berbeda. Rasanya seperti aku memakan buah stroberi secara langsung. Jangan lupakan rasa susunya yang begitu terasa di dalam mulut. Saat sedang asyik menjilati es krim, sesuatu menghalangi sepedaku. Saat kulihat ke depan, ternyata ada seekor kucing. Kucing itu tampak sangat kotor. Bulu-bulunya terlihat kusut dan terkena cairan berwarna hitam. Apa kucing ini habis tercebur di dalam got?

MEONG…

Suara kucing itu membuatku iba, aku jadi ingin menggendongnya. Sebelum menggendongnya, kuhabiskan dahulu es krimku. Kemudian aku menggendongnya dan mengelus kepalanya. Kucing itu tidak memberontak dan terlihat senang dengan perlakuanku. Kalau begitu aku akan membawanya pulang. Kuambil kantong plastik yang ada di dalam keranjang dan menggantungnya di setang. Kemudian kuletakkan kucingnya di dalam keranjang. Kukayuh sepedaku sambil sesekali melihat kucingnya. Tidak lucu kalau tiba-tiba kucingnya melompat keluar.

Sesampainya di rumah, kutaruh kantong plastiknya di atas meja. Kemudian kunyalakan keran dan mengisi baknya. Sambil menunggu bak penuh terisi air, aku mengambil sabun cair. Kumatikan kerannya saat airnya sudah penuh. Sekarang saatnya memandikan toby. Eh, dari mana aku mendapatkan nama toby? Sudahlah, mulai dari sekarang aku akan memanggilnya toby.

"Toby yang manis, sekarang waktunya mandi," ucapku berbicara pada toby seolah dia mengerti.

Kuguyur tubuh toby dengan air sedikit demi sedikit. Toby memang tidak mencakarku, tetapi dia sedikit banyak bergerak. Kemudian kutuangkan sabun cair ke tubuhnya, lalu kugosok dengan pelan. Setelah dipakaikan sabun pasti tubuhnya akan wangi. Langkah terakhir adalah memasukkan toby ke dalam bak air. Kaki toby terus bergerak naik, tetapi aku memegang tubuhnya dengan kuat supaya tidak lepas.

"Sekarang kau sudah wangi," ucapku.

Di kamar, kunyalakan kipas angin untuk mengeringan bulu-bulunya. Dengan sabar aku memegang toby di depan kipas angin supaya bulunya cepat kering. Aroma sabun menguar ke seluruh kamar. Aku memang tidak salah membeli sabun.

"Windy!"

Aku terkejut mendengar ibu sudah pulang. Kugendong toby dan membawanya keluar. Ibu pulang dengan wajah kesal. Mungkin saja ibu lelah dengan pekerjaannya. Saat aku akan berbalik ke kamar, ibu kembali memanggilku.

"Windy. Apa-apaan ini?" tanya Ibu sambil menunjuk ke lantai.

Ya ampun, lantai ini penuh dengan jejak kakiku. Aku melihat ke bawah untuk mengecek kakiku. Astaga, aku lupa melepas sepatuku. Berarti aku memandikan toby dengan sepatu yang masih melekat di kakiku. Pantas saja lantainya kotor.

"Ibu sudah bilang untuk melepaskan sepatu sebelum memasuki rumah dan meletakkannya ke dalam rak. Berapa kali Ibu harus mengingatkanmu?" keluh Ibu.

"Aku akan mengepelnya," ucapku lalu menurunkan toby ke kursi.

Kulepaskan sepatuku dan menaruhnya di rak. Kuisi ember dengan air dan menuangkan sabun ke dalamnya. Setelah itu kuambil pel dan membawa embernya ke dalam rumah. Kemudian kucelupkan pelnya ke dalam ember dan memerasnya terlebih dahulu. Baru setelah itu aku bisa mengepel lantai.

"Kucing siapa itu? Ibu sudah bilang untuk tidak memelihara hewan apa pun sampai kau berhasil mengurus dirimu sendiri," ucap Ibu mengingatkanku.

"Aku menemukannya di jalan. Aku sangat kasihan pada toby, dia terlihat kucel dan tidak terawat. Karena itu aku membawanya pulang," ucapku dengan nada mendramatisir.

"Sekarang dia sudah bersih. Pulangkan dia ke tempat asalnya," perintah Ibu.

"Jangan, Bu. Aku akan merawatnya. Aku ingin mengajaknya bicara sepanjang hari," ucapku.

"Kucing tidak memahami bahas manusia. Kembalikan dia," perintah Ibu sekali lagi.

"Setiap hari Ibu pergi bekerja dan aku hanya sendirian di rumah. Aku membutuhkan seseorang untuk bisa berbicara padaku karena aku begitu kesepian," ucapku dengan sedih.

Aku menunduk dan tidak mendengar ibu mengatakan apa pun. Detik selanjutnya aku mendengar langkah kaki ibu yang menjauhiku. Aku menoleh ke belakang untuk melihat apa yang sedang ibu lakukan. Ternyata ibu hanya menaiki tangga.

"Selesaikan kegiatan mengepelmu atau Ibu yang akan membuang kucingmu," ucap Ibu yang membuatku tersenyum lebar.

"Ibu mengizinkan toby tinggal di sini? Sungguh? Terima kasih, Ibu," ucapku kemudian berlari ingin memeluk Ibu.

Namun, Ibu langsung menyingkir saat aku hendak memeluknya. Tatapan matanya itu menyiratkan kemarahan padaku. Baru saja aku merasa senang, sekarang aku ditatap seperti itu oleh ibu. Tatapan ibu beralih ke seragamku. Lagi-lagi aku sudah membuat kesalahan. Seragamku kotor karena menggendong toby tadi.

"Taruh seragammu di bak, Ibu akan mencucinya," ucap Ibu.

Semoga saja air got tidak mempersulit ibu.

Keesokannya aku sedang melihat pertandingan basket dengan Anne. Aku tahu kalau Anne tidak suka keramaian, tetapi aku memaksanya. Menurutku Anne harus melihat pertandingan yang seru seperti ini.

"Kenapa tidak ada pedagang yang membawa es teh? Aku ingin sesuatu yang dingin," ucapku.

"Ini di sekolah, Windy. Tidak akan ada pedagang yang berkeliling membawa es teh," ucap Anne yang membuatku tertawa nyengir.

Sorakan dari penonton kian keras seiring makin sengitnya pertandingan. Bagaimana tidak? Kedua tim kini seimbang. Untuk menang hanya dibutuhkan satu poin lagi. Kalau aku hanya bersikap netral. Anggap saja kehadiranku hanya untuk meramaikan suasana.

"Pasti enak sekali jika sambil makan es krim," ucapku membayangkan rasa es krimnya kemarin.

"Es krim rasa semangka sangat segar," ucap Anne.

"Tidak. Rasa stroberi jauh lebih enak. Rasanya setiap hari ingin terus membelinya," ucapku.

"Di mana?" tanya Anne.

"Toko es krim di dekat lampu merah," jawabku.

"Lampu merah? Aku tidak pernah melihat ada toko es krim di dekat lampu merah di sekitar sini. Nama tokonya apa?" tanya Anne penasaran.

"Entah. Aku tidak sempat membacanya. Tapi es krim di sana sangat enak. Tokonya cukup besar dan indah," ucapku mendeskripsikan tokonya.

Tidak hanya sampai di situ saja, aku juga mengatakan menu apa saja yang ada di sana. Namun lagi-lagi Anne tidak mengetahui jika ada toko es krim yang seperti ini. Karena merasa gereget, sehabis pulang sekolah aku mengajak Anne pergi ke toko es krim itu. Aku sengaja mengayuh sepedaku dengan cukup kencang karena sudah tidak sabar menunjukkannya pada Anne.

"Anne, cepatlah! Sebentar lagi kita sampai!" ucapku pada Anne yang ada di belakangku.

Namun, aku tidak menemukan toko es krim itu. Aku tidak salah kok, kemarin toko es krimnya ada di depan warung ayam ini. Ke mana perginya toko itu? Aku hanya melihat sebuah lapangan sepak bola di sana, bukan toko es krim.

"Di mana tokonya?" tanya Anne.

"Kemarin aku melihatnya di sana. Toko itu ada di sana. Aku tidak bohong." Aku menunjuk ke arah lapangan bola.

"Tidak ada, Windy. Dari dulu hanya ada lapangan bola di depan sini," ucap Anne.

Sekarang aku jadi bingung sendiri. Tidak mungkin toko itu menghilang begitu saja. Namun aku tidak salah lihat, jelas-jelas toko es krim itu ada di depan sini. Apa kemarin aku hanya berkhayal?