Saras meraih tangan mungil adiknya. "Sundari, Bayu, Permadi, jangan bersedih, jangan menangis, masih ada Mbak Saras di sini. Kita harus relakan Emak untuk istirahat dengan tenang," ucap Saras sembari memeluk adik-adiknya dengan kasih sayang.
Neneknya cuman bisa menatap cucu-cucunya dengan hati yang hancur, tidak pernah terbayang dalam pikiran akan terjadi musibah seperti ini.
"Oalah Menik, bagaimana nasib anak-anak kamu sekarang? Apa lagi bapaknya pergi tanpa kabar entah ke mana," ucapnya lirih sambil mengusap derai air matanya dengan sudut jarik yang ia pakai.
Dalam kesedihan yang amat dalam, Saras berusaha tabah. Matanya menangis, tapi tubuh dan hatinya, ia kuat-kuatkan untuk tetap tegar di hadapan adik-adiknya.
'Aku harus kuat, adik-adik butuh aku. Kuat, aku harus kuat!' kata-kata itu yang terus ia lantunkan dalam hatinya.
Hati Saras semakin hancur tatkala melihat neneknya yang bersimpuh di lantai dengan derai air mata mengalir di pipinya yang keriput.
"Ya Allah, kenapa harus anakku yang lebih dulu Engkau, diambil, ya Allah! Kenapa bukan aku saja yang Engkau ambil! Menik, anakku!" suara isak tangis neneknya semakin membuat suasana dicekam kesedihan yang mendalam.
Bulek Nuning mendekat dan merangkul neneknya Saras, ia menghapus air matanya dengan selendang yang tersampir di pundaknya.
"Simbok, relakan Yu Menik pergi, Mbok!"
"Bagaimana, Simbok bisa rela, kalau Menik pergi meninggalkanku mendadak tanpa pamit padaku!" ucapnya di sela isak tangisnya.
"Simbok yang sabar, ya!"
"Bagaimana bisa Menik tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil? Bagaimana nasib mereka tanpa ibunya? Aku juga sudah tua, bagaimana bisa aku menjaga mereka, ya Allah ...."
Hati neneknya Saras hancur lebur melihat anak perempuannya meninggal lebih dulu di hadapannya. Mata wanita yang sudah tua renta itu, semakin sayu dan sembab. Air matanya tak henti-hentinya mengalir di pipinya yang keriput, tubuhnya yang kurus terguncang oleh tangisan yang tersedu-sedan.
"Mbak, Ibu sudah tiada, siapa yang akan mencari uang untuk hidup kita?" tiba-tiba saja Bayu bertanya pada Saras.
Pandangan matanya hampa, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana, Ibunya yang setiap hari bekerja membanting tulang untuk menghidupi mereka semua.
Mereka hidup dan bertahan karena kasih sayang ibunya, Bapak mereka tidak pernah memberikan kasih sayang selayaknya seorang Bapak. Bapaknya tenggelam dalam minuman keras dan juga perempuan nakal.
Pondasi keluarga Saras adalah ibunya, tapi kini pondasi itu telah runtuh. Saras sebagai anak perempuan pertama harus siap menjadi penerus untuk melindungi dan menjaga adik-adiknya.
"Emak, aku harus bagaimana?" lirih Saras berbisik.
Saat mereka duduk diam di ruang tengah, tiba-tiba salah seorang keluarga mereka ada yang menyuruh mereka untuk minggir, "Awas, minggir. Tolong beri jalan jenazah mau di baringkan di sini."
Ibu-ibu anggota rukun kematian yang ada di desa Saras dengan cekatan membopong jenazah ibunya Saras untuk di kafani.
Tidak butuh waktu lama, jenazah sudah siap untuk di berangkatkan. Saras dan adik-adiknya menatap jenazah ibunya yang terbujur kaku yang ada dalam keranda mayat yang di tutup kain warna hijau dengan tulisan ayat-ayat suci Al-quran di atasnya.
Salah satu pengurus rukun kematian bertanya pada keluarga, jenazah mau langsung berangkat atau menunggu keluarga yang belum datang melayat.
"Mohon maaf, ini jenazah sudah siap diberangkatkan," kata Pak Modin.
"Kita tunggu sebentar kedatangan suami almarhumah Ibu Menik dulu ya, Pak!" kata Bude Sumiati.
"Ya Allah, Kang Jarwo mana, sih! Kenapa belum datang, juga?" gumam Bude Sumiati.
Sambil menunggu, Saras meminta adiknya untuk mengambil Al-Quran di dalam kamar tidurnya, "Le, tolong ambilkan Al-Quran di kamar Mbak Saras, ya!" ucapnya sambil memandang Permadi.
"Baik, Mbak!" Permadi adik kecilnya itu langsung berdiri lalu berjalan pelan melewati orang-orang yang duduk berkumpul di sekitar jenazah ibunya.
Tidak berapa lama, Permadi membawa Al-Quran dan juga sebuah buku bacaan surat Yasin di tangannya. Permadi duduk dan memberikan Al-Quran pada Saras, sedangkan dirinya dan Bayu membaca buku surat Yasin.
Sudah lama orang-orang menunggu, bahkan Saras pun sudah selesai membaca surat Yasin, tapi bapaknya belum juga datang.
Pak Modin mulai gelisah, ia lalu berdiri dan berkata, "Mohon maaf, ini bagaimana? Suaminya kok belum datang? Apa langsung di berangkatkan saja? Kasian kalau nunggu lama-lama."
"Langsung berangkatkan saja, Pak!" teriak laki-laki dari balik kerumunan orang-orang yang datang melayat.
Ternyata Pakde Jarwo yang datang. Wajahnya terlihat merah padam. Mereka yang ada di sana merasa heran dan juga bingung.
"Ada apa ini?" salah seorang warga bertanya pada temannya.
"Aku tidak tahu, Kang!" jawab orang itu.
Pakde Jarwo maju ke arah Pak Modin. "Pak, tolong berangkat saja, tidak usah nunggu suaminya!" suara Pakde Jarwo bergetar menahan kesedihan bercampur amarah.
"Baiklah, kalau begitu. Hmm, kasihan juga almarhumah kalau menunggu lama. Ayo kita berangkat! Bismillahirohmanirohim Allahu Akbar La ilaha illallah!"
Keranda jenazah ibunya Saras pun di gotong keluar pekarangan menuju jalan setapak yang menghubungkan jalan itu ke pemakaman umum.
Saras wajahnya berubah memerah, amarah dan juga kesedihan bercampur aduk di dalam hatinya.
"Sungguh, aku tidak bisa memaafkan dirimu, Pak! Untuk yang terakhir kali, kenapa Bapak tidak mau mengantar kepergian Emak? Kenapa, Pak?" gumam Saras dengan derai air mata.
Orang-orang sudah mulai bergerak menuju ke pemakaman, Bayu berdiri di samping Saras dan menarik tangan kakaknya.
"Mbak, ayo ikut rombongan ke makam!" ajak Bayu.
"Ayok!" jawab Saras dengan langkah gontai berjalan mengikuti rombongan orang-orang yang mengiringi jenazah ibunya menuju ke pemakaman.
"Mbak Saras terlihat marah, Mbak marah sama Bapak?" tanya Bayu sambil berjalan di samping Saraswati.
"Iya, aku sangat marah!"
"Aku juga. Andai saja, Bapakku bukan dia, pasti hidup kita tidak akan jadi begini, Mbak!" kata Bayu sambil mengusap air matanya.
"Mungkin." Saras menjawab tanpa semangat.
"Andai saja aku bisa memilih orang tua, aku akan memilih Bapak yang kaya biar Emak hidup bahagia dan tidak susah seperti ini," ucap Bayu.
"Apa yang terjadi pada kita, memang sudah menjadi takdir kita Bayu. Kamu jangan menyalahkan takdir Allah."
"Kenapa kita harus punya Bapak yang tidak punya malu seperti dia, aku sungguh benci dia, Mbak!"
"Sudahlah, jangan bicara seperti itu, kita doakan saja Bapak segera mendapatkan hidayah."
"Aku lebih suka dia mati," ucap Bayu penuh amarah.
"Astaghfirullah Bayu, jangan begitu Le! Istiqfar Ke!"
Bayu meneteskan air, ia menangis karena marah, sedih, dan kecewa yang bersatu padu dalam hati dan pikirannya. Saras menggandeng tangan Bayu dan Permadi, walau hatinya serasa tercabik-cabik, tapi tangannya memegang tangan adiknya dengan lembut dan penuh kasih.
"Kita harus kuat, jangan biarkan Emak melihat kita terus bersedih. Emak mungkin telah tiada, tapi Emak bisa melihat kita dari surga," ucap Saras.
Mendengar ucapan kakaknya, kedua adik Saras merangkul pinggang Saras dan berjalan beriringan. Walau air mata terus mengalir, tapi mereka berusaha untuk tabah.
Bersambung...