Chereads / Janda Kembang / Chapter 7 - Keputusan Sulit

Chapter 7 - Keputusan Sulit

"Mbak Saras jangan khawatir, aku akan bekerja agar dapat uang untuk membantu Mbak Saras membayar hutang bapak," sahut Bayu sembari memegang tangan kakak perempuannya itu.

"Tidak, Bayu! Kamu harus tetap sekolah, bagaimanapun caranya, kamu harus tetap sekolah dan menjadi orang sukses. Tolong bantu Mbak mewujudkan cita-cita Mbak."

"Tapi Mbak! Bagaimana cara Mbak Saras membayar hutang Bapak?" tanya Bayu.

"Kita pikirkan nanti saja."

"Bagaimana kalau Broto ke sini dan nagih utang?"

"Bayu, biarkan Mbak istirahat sejenak, pikirannya Mbak masih kacau."

"Mbak, biarkan aku bekerja saja."

Saras memandang ke arah adiknya dengan tatapan tajam, ia terlihat kesal tapi juga sedih. Saras lalu menyandarkan kepalanya di dinding rumahnya yang terbuat dari bambu.

"Bayu, Mbak ingin kalian semua, adik-adikku yang Mbak sayangi menjadi orang hebat dan sukses. Jangan seperti Mbak yang bodoh ini."

Bayu yang mendengar ucapan kakaknya yang dia hormati dan juga sayangi, dia terdiam. Dalam hati dia berjanji akan mewujudkan impian kakaknya, tapi ia juga tak mau kakaknya menikah dengan Broto sebagai jaminan bayar hutang bapaknya.

"Mbak Saras, aku akan berusaha sebaik mungkin, aku juga ingin hidup selayaknya orang kaya, selama ini kita sudah terlalu menderita."

Saras tersenyum mendengar ucapan adiknya, ia bangga dengan pemikiran adiknya yang dewasa dan juga bijaksana.

"Tetaplah sekolah dan buat Mbak bangga saat kau wisuda kelak."

"Iya Mbak," jawab Bayu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Duduklah sini, kita kumpul bareng sini."

Saras melambaikan tangan meminta Bayu duduk mendekat ke arahnya, ia juga menatap ke adik-adiknya yang lain.

Adik Saras ada tiga, yang pertama bernama Bayu Subiantoro umur 16 tahun cowok dan sudah kelas 1 SMA, adik kedua bernama Permadi Wicakcono umur 13 tahun sekolah SMP kelas 1, adik yang ketiga perempuan bernama Sundari Widiyowati berumur 10 tahun masih duduk di bangku sekolah kelas 4 SD. Mereka sekarang menjadi tanggung jawab Saras setelah ibunya meninggal dunia.

"Saat ini kita hanya bisa menunggu keajaiban, Mbak tak tahu harus bagaimana lagi," ucap Saras dengan suara bergetar.

Mereka semua sedang duduk di lantai tanah yang beralaskan tikar dari daun pandan, mereka baru pulang dari pemakaman jenazah ibu yang mereka cintai.

"Emak kenapa pergi ninggalin kita? Hiks ...."

Mereka semua lalu menatap Sundari yang sedang menangis, Saras hatinya menjerit melihat adik-adiknya yang menderita karena di tinggal ibunya meninggal dunia. Semua keadaan yang menimpa mereka menyisakan kenangan sedih yang tidak pernah bisa mereka lupakan.

"Jangan berkata seperti itu, kasihan Emak, biarkan Emak tenang di surganya Allah," ucap Bayu, di antara saudara Saras, Bayu yang sudah punya pemikiran dewasa.

"Dik, betul kata Mas Bayu, kita jangan membuat Emak sedih di alam kubur," ucap Saras dengan derai air mata sambil memeluk Sundari.

'Mak e, maafkan aku, anakmu ini belum bisa membuatmu bahagia, aku janji akan menjaga adik-adik dengan baik. Aku akan menjadi ibu serta kakak buat mereka, tenanglah, Mak! Istirahat dengan tenang di surganya Allah, aamiin,' batin Saras.

Suasana sedih menyanyat hati menyelimuti ruangan itu, sanak saudara mereka juga ikut berkumpul dengan mereka di ruang tengah itu. Tatapan mata penuh rasa iba terlihat dari semua mata yang tertuju pada empat bersaudara itu. Mereka seakan tidak percaya dengan nasib sedih Saras beserta adik-adiknya.

***

Satu Bulan kemudian...

Juragan Broto datang ke rumah Saras dengan di kawal ketat oleh pengawalnya yang berbadan kekar dan berkumis tebal bagai penjahat yang kejam.

"Wong ayu, piye?" ucap Broto sambil merapikan jenggotnya yang brewok.

Saras terkejut melihat kedatangan Juragan Broto. Saras jadi ketakutan, memang dirinya mau meminjam uang dari Munifah dengan syarat ia menjadi TKW, tapi Saras tak bisa pergi ke Singapura untuk bekerja dan meninggalkan adik-adiknya dengan neneknya yang sudah tua, jadi Saras tidak punya uang buat bayar hutang bapaknya.

"Juragan, tolong kasih tempo, kami akan bantu bayar hutang-hutangnya bapaknya Saras, asalkan Saras tidak dijadikan istri Juragan." Pakde Jarwo mencoba menjawab.

"Kamu tak ada urusan dengan keluarga ini, jadi kamu menyingkir dari sini saja, ngerti!"

"Tapi Juragan, kami akan bayar utangnya, tapi kasih tempo satu minggu lagi."

"Tidak ada tempo lagi, sekarang ada uang kamu bayar, kalau tak ada uang, jangan banyak bicara!"

Mendengar ucapan Broto yang tegas dan menakutkan, Pakde Jarwo diam seribu bahasa, sedangkan seluruh keluarga besar Saras menangisi nasib buruk yang menimpa dirinya.

'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?' batin Saras sambil duduk bersimpuh di ruang tengah rumahnya.

Semua kursi yang terbuat dari bambu masih ada di luar semua, karena belum 40 hari ibunya meninggal, jadi ruang tengah itu masih di manfaatkan untuk tempat slametan saat 40 hari ibunya yang satu minggu lagi.

"Wong ayu, jangan menolak ajakan aku untuk menikah, kalau tak ingin aku obrak-abrik rumah dan aku siksa adikmu!"

Saras melihat keluarga dan juga adik-adiknya ketakutan dengan sikap Broto dan pengawalnya yang garang, ia juga tak ada cara lain selain menikah dengan Broto.

"Baiklah, aku mau menikah denganmu, tapi ijinkan aku tetap berjualan di pasar," pinta Saras.

Broto menatap tajam Saras, "Untuk apa kamu berjualan, kamu istri juragan Broto yang kaya raya. Kamu minta uang, aku kasih, Wong ayu!"

"Aku tidak butuh uangmu, aku tidak mau adik-adikku makan uang haram darimu, kalau kau menolak permintaanku, maka aku lebih baik mati, dari pada menikah denganmu. Aku bersumpah demi ibuku!" ancam Saras.

Mendengar ancaman Saras yang terlihat tegas dan tidak main-main, juragan Broto pun mengabulkan permohonan Saras untuk berjualan di pasar. Saras berjualan untuk mencari nafkah buat adik-adiknya, ia tidak mau adiknya makan uang haram Broto.

"Baiklah aku setuju, jadi besok kita menikah wong ayu. Hahaha!" tawa jahat Broto memenuhi ruangan itu.

Broto beserta anak buahnya lalu pergi begitu saja, tapi di depan pintu rumah Saras ada dua pengawal Broto yang berjaga-jaga. Keluarga besar Saras jadi takut untuk banyak bicara ataupun banyak berulah, mereka takut di hajar oleh pengawalnya Broto.

Saras hanya bisa diam dan bersandar di dinding rumahnya yang terbuat dari bambu, Saras pasrah, ia sebenarnya memilih untuk mati bunuh diri, tapi saat melihat adik-adiknya, Saras tak sampai hati meninggalkan mereka.

'Andaikan Emak tidak meninggal dunia, aku pasti bisa bayar hutang dengan jaminan aku jadi TKW, tapi sekarang Emak pergi dan adik-adik dengan siapa kalau aku nekat bunuh diri? Aku sekarang harus bagaimana?' batin Saras sambil berderai air mata.

Neneknya mendekati Saras, matanya bengkak dan merah, setelah kematian anaknya satu bulan yang lalu, neneknya Saras sering menangis dan bersedih hati, kadang juga jarang makan dan membuat Saras khawatir dengan kesehatan neneknya.

"Saras, pergilah yang jauh, pergilah Nduk!" pinta neneknya.

"Mbah, saya tak bisa pergi, kalau saya pergi bagaimana dengan adik-adik?"

"Jangan pikirkan mereka, kamu pergi saja Nduk!"

"Mbah, aku-" Saras tak sanggup melanjutkan ucapannya, ia menangis tersedu di pangkuan neneknya.

Bersambung...