Kalau harus jujur, sebenarnya Alfa bukan penyuka hujan. Dia hanya sesekali menikmati suaranya, dan suasananya, terlebih saat malam semakin larut.
Bukan karena hujan mengingatkannya pada Elion. Alfa tidak semelankolis itu. Dia sudah sejak lama menghabiskan malam memandang ke luar jendela saat hujan turun. Alfa hanya merasa ... ada sensasi menyesakkan yang nyaman. Aneh. Perasaan itu membuat Alfa berlarut-larut dalam perasaannya yang abstrak
"Gue matiin lampunya." Bianca bilang begitu sambil menyeret selimut ke arah saklar di samping pintu kamar.
Riani sudah tenggelam dalam mimpinya sejak seperempat jam yang lalu. Meringkuk dengan selimut yang tergulung di bawah kaki, dan posisi kepala miring ke pinggiran ranjang. Satu kata, memprihatinkan. Sedikit lagi saja dia bergerak, kepalanya sudah pasti jatuh dulu menghantam lantai. Tapi baik Alfa maupun Bianca terlalu enggan kalau harus menggotong Riani dan memposisikan tubuh gadis itu dengan normal di atas ranjang.
"Lo mau bengong di situ sampai kapan?"
"Lagi gue pikirin."
Bianca berdecih. Naik ke tempat tidurnya dan mulai menarik selimut hingga sebatas pinggang. "Jangan bilang lo melo gini gara-gara kepincut sama Kak Arega."
"Daripada Kak Arega, gue lebih kepincut sama kakak lo, bego." Alfa ingin berkata begitu, tapi akhirnya dia hanya menggumam pelan sebelum akhirnya menatap ke luar lagi. Melihat air hujan mulai membentuk genangan di halaman belakang. Sesekali tetesannya jatuh ke jendela, meniggalkan jejak garis sebelum akhirnya ikut jatuh ke tanah.
Sejenak, Bianca memperhatikan punggung Alfa. Gadis itu hanya duduk di sofa single yang ada di samping jendela besar kamar Bianca. Bahunya bersandar pada sandaran sofa, menekuk kaki sambil memandangi hujan di luar sana.
Kadang, Alfa berubah jadi sendu begini saat menyembunyikan perasaannya. Jadi, alih-alih menutup mata, Bianca memulai pembicaraan.
"Lo kalau suka sama cowok nggak bisa ya cerita sama gue duluan? Mesti banget Ari yang dikasih tau, terus gue belakangan?"
"Kali ini juga gue nggak ngasih tau Ari."
"Kenapa?"
"Soalnya gue nggak yakin cowok itu bakal suka balik sama gue."
Waktu Alfa suka ketua paskib, Bianca tahu setelah Alfa diamprat Ari.
Waktu Alfa suka Fariel yang usilnya nggak ada obat, dan doyan gonta-ganti pacar, Bianca tahu setelah Alfa dipaksa jauh-jauh dari Fariel ... oleh Ari juga.
Sekarang entah siapa lagi yang mulai mengusik Alfa. Sahabatnya itu masih betah tak bercerita.
"Emang waktu naksir Fariel, lo yakin dia bakal suka lo juga?"
Alfa diam. Tidak terlihat punya niat menjawab. Gadis itu malah menarik selimut hingga menutupi pindaknya.
Saat beberapa saat hanya hening, Bianca berdecak. "Terserah deh."
"Emangnya lo cerita ke gue kalau lo suka sama Kak Arega?" tanya Alfa tiba-tiba.
Bianca yang mendengarnya sempat terkejut. Ingin menyangkal, tapi dia yakin tak ada gunanya berbohong pada Alfa. "Buat apa? Tanpa gue cerita juga lo udah tau. Tapi kalau lo kan susah ditebak."
Alfa diam lagi, membuat Bianca sedikit jengkel. Menarik selimutnya sampai ke pucuk kepala dan mulai memejamkan matanya.
Bianca tidak tahu Alfa suka pada Fariel karena sejak kelas X pun mereka sudah cukup akrab. Karena jabatan ketua-wakil di kelas yang tidak berubah selama dua tahun berturut-turut. Fariel bersikap baik—dan usil—ke semua orang, tapi jelas menunjukkan respeknya pada Alfa. Sedangkan Alfa tak pernah sekali pun menunjukkan gelagat kalau dia tertarik pada rekannya.
Yusuf ketua paskib juga begitu. Sering ke sana-sini dengan Alfa karena banyaknya event. Sampai kedekatan mereka tak terlihat janggal.
Sampai Bianca tak bisa membedakan mana Alfa yang tengah jatuh hati dan mana Alfa yang biasa.
Bianca hanya bisa tahu Alfa suka seseorang saat moodnya berubah seperti ini, bukan dari interaksinya dengan orang yang bersangkutan.
Sampai pukul setengah sebelas malam, Alfa masih betah di tempatnya, memandangi hujan deras yang perlahan berubah menjadi rintik-rintik halus. Dia baru akan pindah tidur di samping Bianca saat mendengar salah satu ponsel di atas nakas bergetar panjang.
Sempat, Alfa berpikir itu pacar Riani. Makanya dia membiarkannya.
Tapi begitu panggilan itu berlangsung cukup lama, bahkan diulang-ulang sampai lebih dari tiga kali, akhirnya Alfa bangkit dan melihat ponsel siapa yang mengusiknya.
Milik Bianca.
Dan panggilan video dari ... Elion.
Tadi hanya mendengar nama Elion disebut Riani saja Alfa sudah berdebar, saking senangnya. Sekarang, menyadari laki-laki itu menelepon Bianca membuatnya semakin berdebar, menyadari kemungkinan saat Bianca mengangkatnya Alfa akan ikut tertangkap kamera.
Dengan segenap rasa antusias yang ditahannya, Alfa mengguncangkan tubuh Bianca. Berharap kali ini saja sahabatnya itu tidak jadi kebo dadakan.
Sayang, sampai berkali-kali pun Bianca hanya menggumam, menggeliat, dan kembali mendengkur, seolah guncangan Alfa hanya gangguan sekecil serangga yang tak perlu dia gubris.
Alfa sudah menyerah, terduduk di pinggir ranjang dengan bahu luruh. Kehilangan harapan.
.... Sampai dia mendapati telepon itu tidak berhenti. Elion masih terus berusaha menelepon. Sekarang Alfa malah merasa Elion memang punya kepentingan daripada iseng menelepon Bianca malam-malam begini.
Setelah menenangkan jantungnya sendiri, Alfa meraih ponsel Bianca, duduk lagi di sofa dekat jendela sampai wajahnya cukup terlihat karena lampu halaman belakang.
"Oh—"
"Loh? Bianca mana?"
Elion terkejut. Alfa juga. Keduanya mendelik dengan keterkejutan yang berbeda.
Elion yang tak menyangka wajah Alfa muncul, alih-alih Bianca; dan Alfa yang shock melihat Elion dengan ... wajah berdarah.
"Eh? Kak Elion ... itu kenapa? Kok bisa .... " Alfa kehilangan kata-katanya, antara ngeri dan cemas melihat laki-laki di seberang sana.
Elion terlihat menghela napas, menyeka cairan kemerahan yang mengalir di sepanjang pelipis hingga rahangnya. "Bianca mana? Gue perlu ngomong sama itu anak."
"Aku udah coba bangunin dari tadi," Alfa menjeda, menoleh ke belakang punggungnya di mana Bianca masih di tempat semula. Lalu menatap Elion lagi. "tapi dia nggak bangun-bangun."
"Ya udah."
"Eh," Alfa menahan saat Elion seperti ingin mengakhiri panggilan. "Kak Elion mau bilang apa?"
Walau terlihat ragu, Elion akhirnya bilang, "Gue sebenernya mau minta Bianca buat anterin kotak P3K ke deket gerbang perumahan—"
"Kak Elion di depan gerbang sekarang?" tanyanya. Alfa berdebar, antata excited akan bertemu dengan Elion dan takut kalau harus melihat luka Elion secara langsung.
"Iya."
"Biar aku aja yang ke sana."
"Nggak usah. Entar gue pikirin lagi deh caranya buat balik."
"Nggak! Tunggu di sana. Aku keluar." Alfa buru-buru bangkit, memutuskan panggilan dan meletakkan ponsel Bianca di sakunya.
Walau takut, Alfa tidak bisa mengalahkan perasaan cemasnya sendiri.
Dengan tergesa gadis itu keluar dari kamar, mengambil kotak P3K yang tergantung di ruang TV, dan benar-benar keluar tanpa mengenakan jaket atau payung.
Kadang ... saat khawatir, Alfa berubah jadi gegabah dan ... cukup bodoh.