Chereads / Another One For You / Chapter 9 - MASIH JADI RAHASIA

Chapter 9 - MASIH JADI RAHASIA

Baju Alfa lembap karena gerimis. Jadi, dia memutuskan untuk mandi, berganti baju, lalu mengambil segelas air putih di dapur sebelum benar-benar naik ke atas ranjang. Dia sempat berpapasan—sekali lagi—dengan Elion di dapur. Jelas laki-laki itu mengantre untuk menggunakan kamar mandi.

"Ngomong-ngomong, makasih," katanya sebelum Alfa keluar dari dapur.

Dan Elion tak tahu, efeknya membuat Alfa senyum-senyum sendiri sampai terlelap.

Kalau boleh dibilang, malam itu kemalangan untuk Elion; dan kesempatan untuk Alfa. Sebab, sedetik setelah Elion mendaratkan tangan di kepalanya, Alfa merasa dia punya peluang.

Sayangnya, peluang yang membuat Alfa senyum-senyum sampai bangun tidur itu dipatahkan dalam hitungan detik saat telinganya mendengar percakapan dari ruang TV. Saat gadis itu menyeret handuk dan seragam untuk mandi.

" .... Itu namanya bego. Tau nggak?"

Sebenarnya Alfa tidak ada maksud menguping. Hanya saja, suara Rena—kakak pertama Bianca yang sudah menikah—terdengar menusuk. Ada nada jengkel dalam kalimatnya.

"Lo nggak tau—"

"Iya, gue nggak tau rasanya soalnya gue nggak bego. Gue masih punya logika buat mikir."

Padahal kalimat Elion yang dipotong, tapi malah Alfa yang merasa jantungnya dicengkeram kuat.

"Kalau udah kelar ya udah. Nggak usah lo kejar-kejar."

"Ren, pelan-pelan ngomongnya."

"Adek kamu udah gede. Kasih taunya nggak usah kayak gitu, Kak."

"Nggak bisa, Yah, Bun. Anak ini udah dibilangin baik-baik nggak dengerin, sekarang sampai kayak gini kan jadinya? Terus siapa yang rugi? Dia sendiri, kan? Makanya, lo kalau mau apa-apa dipikir! Pikir dulu! Segini masih belum ngerti juga?"

Alfa yakin kalimat-kalimat terakhir Rena ditujukan untuk Elion. Walau tak melihat ekspresinya secara langsung, Alfa cukup bisa membayangkan bagaimana wajah marah Rena. Perempuan itu terlihat ... sedikit menakutkan saat emosi.

Alfa juga membayangkan respons Elion yang diam saja. Mungkin, laki-laki itu duduk di sofa, tertunduk dikerubungi Meli, Heru dan Rena—karena baru suara mereka bertiga yang Alfa dengar.

"Harusnya emang gue nggak usah balik."

Rena terdengar berdecak. "Terserah deh. Capek gue ngurusin orang kayak lo. Bun, Yah, Rena pulang dulu. Mau mandiin Ghea."

"Lo baliknya jangan sambil gigitin kerikil di jalan." Celetukan itu Alfa identifikasikan sebagai Riani, yang memang sudah hilang dari kamar sejak Alfa bangun.

"Diem lo daripada gue gampar."

Sejenak, Alfa bisa mendengar suara tawa kecil di ruang sebelah. Kadang omongan Riani yang seenaknya memang bisa mencairkan suasan.

.... Walau tak berlangsung lama, karena setelahnya sempat hening. Lalu, suara Heru terdengar lagi.

"Motornya nanti biar Ayah bantu bawa ke bengkel. Pinjem mobil Mas As. Sekalian ke rumah sakit, cek Abang kenapa-kenapa atau nggak."

"Nggak usah, Yah. Biar Abang sendiri yang urus—"

"Fa, ngapain lo bengong di situ? Ini udah jam berapa, woy? Kamar mandinya antre. An-tre! Kalau lo lupa." Bianca muncul, bicara sambil menunjuk-nunjuk jam khayalan di pergelangan tangannyna. Dan suara gadis itu membuat Elion menghentikan ucapannya. Alfa sendiri hanya tercengir sebelum buru-buru masuk ke kamar mandi.

Alfa tidak tahu duduk perkaranya. Entah objek apa yang—kata Rena—dikejar-kejar oleh Elion. Padahal, kalau memang hanya masalah kecelakaan semalam, Elion sudah bilang itu hanya karena dia kecapekan.

Kecuali Kak Elion emang nggak bermaksud bilang begitu, batin Alfa.

Tanpa sadar, dia kepikiran. Bahkan setelah bokongnya terduduk di kursi makan, bergabung dengan Elion dan Heru, Alfa masih sibuk dengan pikirannya.

"Nugget atau sosis? Atau dua-duanya? Atau bawa sup semangkuk berdua?"

Bianca yang baru saja meletakkan tasnya di kursi samping Elion mengernyit pelan. Melirik Alfa yang melamun sebelum kemudian menatap Meli. "Semuanya deh, Bun. BUNGKUS SEMUA! BAYAR BELAKANGAN."

Tapi melihat Alfa masih menatap kosong piring di atas meja makan membuatnya mendengkus.

Udah gue bela-belain nyindir begitu juga masih bengong aja.

"Ini anak kalau lagi kasmaran bukannya girang malah suka jadi orang linglung dadakan." Tangan Bianca mengibas demi menenangkan Heru dan Meli yang menatap Alfa khawatir. "Biarin aja."

Tapi Meli tetap menyentuh lengan Alfa sampai gadis itu memberikan atensi penuh padanya. Tidak terlihat terlonjak sedikit pun. "Sakit?"

Hanya saja, untuk sepersekian detik, Alfa menatap bingung sebelum akhirnya berkata, "Alfa minum susu aja, Bun."

"Loh? Kenapa?"

"Dari tadi perutnya nggak enak. Kayaknya masuk angin."

"Asal jangan tetiba ketut di sini aja," cetus Riani yang baru saja masuk ke ruang makan dengan senyum cerah.

"Gue nggak jorok kayak lo."

"Wah, nggak sopan lo sama orang tua. Gini-gini juga gue lebih tua daripada lo."

"Lo nggak tau kan semalem lo kentut berapa kali sampai rasanya gue mau mati?" Alfa menyeringai, tipis dan terkesan dipaksakan, dengan tangan mengibas meniru Bianca. "Nggak usah ngomongin soal umur di depan gue."

Heru tertawa, sedikit menyondongkan kepalanya ke arah Elion, lalu berkata, "Menurut Abang, gimana kalau kita adopsi Alfa?"

Meli yang mendengarnya langsung tergelak. "Ya udah, bobrok lagi rumah ini. Rena sama Tiana keluar, Alfa masuk ... dah, sama dengannya nggak berkurang."

"Iya kan? Ayah juga mikir gitu loh. Alfa itu kayak nggak ada bedanya sama Bianca-Riani."

"Kecuali Alfa lebih pinter dan lebih rajin," tambah gadis itu dengan percaya diri.

"Dan lo yang paling burik." Kalimat senada itu membuat Bianca dan Riani yang berucap serempak bertos ria. Tergelak puas.

"Fine."

Bianca masih mempertahankan tawanya. "Yah, ngambek."

***

"Bi, kemarin lo pergi ke restoran Korea yang baru buka itu kan?"

Alfa langsung menyeringai melihat Nawasena berhenti di depan Bianca yang bersandar di tembok pembatas koridor. Laki-laki itu masih menyandang ranselnya. Baru berangkat. Dan lagi-lagi memilih jalan memutar.

Demi Bianca Sang Pujaan Hati, batin Alfa heboh sendiri.

"Yoi, tapi jelas ada alasannya." Bianca menepuk-nepuk punggung Alfa di sampingnya. "Nih, gue pergi karena dibayarin Bos Besar."

Nawasena sempat melirik Alfa yang mengerling padanya. Sontak, ujung telinga laki-laki itu memerah saat kembali menatap Bianca. "Daerah mana tuh?"

Dengan seringaian yang semakin lebar, Alfa memiringkan kepalanya.

"Perlu gue tinggalin berdua nggak nih?"

Tapi Bianca sudah lebih dulu mencubit pinggang Alfa sampai gadis itu menghentikan seringaian menyebalkannya. "Gue buta arah. Kemarin aja kita dianterin babu lo kan, Fa?"

"Siapa?"

"Ari. Siapa lagi? Udah ah, gue mau bikin contekan ulangan dulu," katanya, lalu masuk setelah memberikan pelototan terbaiknya pada Alfa yang tergelak.

"He," Begitu melihat Bianca sudah ribut mengambil buku teman di dalam kelas, Alfa menoleh pada Nawasena. "kalau lo butuh kongsian bilang aja."

Nawasena terdiam sejenak, lalu bertanya, "Lo mau pergi nggak?"

"Ke mana?"

"Ke restoran itu. Gue beneran pengen ke sana."

"Kalau gue berhasil bawa Bianca, lo mau traktir?"

"Nggak sama Bianca juga kalau lo mau pergi gue yang bayar."

Alfa gagal paham. Demi apa pun sejak beberapa waktu belakangan dia mengira Nawasena mencoba mendekati Bianca.

Terus kenapa anak ini bilang gini? tanyanya pada diri sendiri.

"Lo .... " Alfa berdehem, sedikit menyondongkan tubuhnya. Memberi gestur agar Nawasena menyamai tingginya. Dan begitu laki-laki itu sedikit menunduk, Alfa mulai berbisik pelan. "Bukannya lo lagi dalam misi PDKT sama Bianca?"

____________________