Chereads / Another One For You / Chapter 14 - HARI PATAH HATI

Chapter 14 - HARI PATAH HATI

Elion sebenarnya benci kalau harus terjebak dalam perasaan seperti ini. Membuatnya lemah sampai terlihat tak berdaya.

Tapi itu yang selalu Nadia lakukan padanya.

Elion bisa saja dengan percaya diri menganggap Nadia punya perasaan yang sama dengannya. Nyatanya? Sekarang dia akan menyaksikan laki-laki lain yang akan mengikatnya dengan janji suci. Bukan Elion.

Suara siulan membuat Elion ditarik dari pikirannya sendiri.

"Abang cakep, butuh tumpangan?"

Sontak, laki-laki itu tertawa geli mendapati Alfa tersenyum lebar di bawah sana. Di kursi kemudi mobilnya.

"Wah, minta digampar lo?" teriak Bianca. Gadis itu masih mengenakan babydoll dan sandal rumahan. Rambutnya acak-acakan. Dalam sekali lihat pun Alfa sudah bisa memutuskan bahwa Bianca baru bangun tidur.

"Mohon maaf, Babu, Tuan Putri nggak pengen turun nyamperin babu-babu yang masih ileran."

"Sialan lo!" Riani juga di sana.

Sebenarnya, kalau boleh dibilang, Alfa malah kelihatan seperti akan menjemput calon mempelai pria. Melihat penghuni rumah Bianca berkumpul di teras seperti mau melepas kepergian Elion.

Ini ... agak berlebihan. Gadis itu mendengkus dalam hati. Tangannya melambai pada Meli dan Heru yang masih terkekeh-kekeh mendengar ucapan  nyeleneh Alfa barusan. Matanya mencoba untuk mengabaikan Elion yang tengah menuruni undakan.

Sialnya, itu membuat Alfa membayangkan Elion ada di altar.

Alfa turun begitu Elion membukakan pintu di sampingnya. Bertukar tempat.

"Ini nggak bakal malu-maluin, kan?"

Sejenak, Elion memperhatikan penampilan Alfa yang hanya berdiri dua langkah kecil di hadapannya. Dibalut dress selutut tanpa lengan dengan kombinasi warna hitam polos—bagian atas sampai sebatas pinggang—dan motif batik—dari pinggang sampai ujung. Rambut Alfa digerai, sedangkan kedua sisi rambutnya dikepang dan disatukan di belakang.

"Nggak," kata Elion sambil menarik kedua sudut bibirnya.

"Okay."

Alfa yang sempat melambai sekali lagi pada orang-orang di teras itu tidak tahu kalau sekali lagi ... Elion mengakui pesonanya.

"Aku belum pernah pergi kondangan loh."

Elion menoleh selagi tangannya sibuk memasang sabuk pengaman. Mengangkat alis pada Alfa yang tengah melakukan hal yang sama.

"Artinya, ini pertama kalinya aku mau susah payah menghadiri acara paling membosankan urutan kedua setelah pertemuan bisnis papa."

"Tapi gue nggak merasa terhormat." Ada senyum jenaka di bibir Elion saat berkata demikian.

Alfa sempat diam sebentar menatap wajah Elion. Lalu mengalihkan pandangannya ke depan sana. "Ya ... karena Kak Elion sibuk nenangin diri."

Ucapan Alfa tidak salah, kalau Elion tak bisa menyebutnya 'tepat sasaran'. Karena itu, dia memilih untuk mendengkus dan mulai menyalakan mesin mobil. Membunyikan klakson sebagai ganti berpamitan pada orang-orang rumah, lalu melaju.

Saat Elion menjemput dan mereka naik mobil pikap, Alfa tak merasakan apa pun. Mungkin karena ada Bianca yang mengoceh sepanjang perjalanan di antara mereka, mengalahkan suara berisik radio yang memutar lagu lawas pengantar tidur dalam perjalanan.

Sekarang lain. Alfa merasa canggung. Mereka terperangkap berdua dalam ruangan sempit yang dia sebut sebagai ... mobil. Padahal tempatnya jelas lebih leluasa daripada mobil pikap, tapi rasanya lebih menyesakkan. Alfa ... terjebak dalam pikirannya sendiri. Memikirkan entah topik apa yang bisa membuatnya lebih rileks. Mungkin, daripada Elion yang gugup karena akan menyaksikan pernikahan mantannya, Alfa lebih gugup berkali-kali lipat menyadari dia bakal berdekatan dengan Elion selama berjam-jam.

Helaan napas Alfa membuat Elion menoleh sekilas pada gadis itu. "Kenapa malah lo yang gugup sekarang?"

"Bukan gugup. Aku cuma lagi mikir aja nanti mau memperkenalkan diri sebagai apa."

Dan Elion tergelak demi mendengar pernyataan konyol itu—tanpa menyangka Alfa hanya beralibi. "Nggak perlu—"

"Nggak apa-apa," potongnya, "aku cukup hebat kalau harus memperkenalkan diri tanpa kata-kata."

Awalnya, Elion menganggap itu hanya kepercayaan diri Alfa. Sampai dia menggeleng geli dan mengabaikan gadis itu yang mulai mengotak-atik LCD radio dan memutar beberapa musik.

Elion sempat teralihkan. Hanya sampai dia memarkirkan mobil di dekat rumah yang dipasangi janur kuning.

Alfa bisa membayangkan perasaan Elion, yang tiba-tiba terdiam dengan pandangan menembus kaca film di depannya. Tapi Alfa tak punya ide, dan dia merasa tak punya hak untuk ikut campur ... bahkan hanya untuk sekadar menenangkan Elion.

Alfa juga diam beberapa saat. Membiarkan Elion mengambil waktunya sendiri.

"Ayo," Sampai Elion berkata begitu, Alfa mengangguk dan mulai keluar setelah meraih tas di samping tempat duduknya.

"Oh? Kak Elion," Alfa menahan saat Elion hendak mengunci mobil dari pintu seberang. "aku bawa kado. Apa ... nggak apa-apa?"

Walau ekspresinya lesu, Alfa bisa melihat Elion tersenyum kecil saat mengangguk. Dia sendiri beralih ke pintu belakang, mengeluarkan sesuatu dalam bungkus kado cantik bermotif batik. Senada dengan dressnya.

Alfa tidak menggandeng Elion saat masuk. Dia hanya berjalan dalam jarak dekat, tak sampai bersentuhan. Tapi orang-orang yang melihatnya sudah cukup bisa menyimpulkan. Seperti yang Alfa katakan, dia ...  cukup pandai kalau hanya urusan menjelaskan tanpa banyak bicara.

Setelah melempar senyum dan meletakkan kadonya di meja pintu masuk, Alfa menarik napas panjang. Ini sama seperti pertempuran untuknya.

"Nggak usah merasa terbebani." Ucapan Elion itu membuat Alfa sedikit menengadah, bersitatap hanya dalam sepersekian detik.

Nadia mengundangnya secara formal dengan undangan. Tapi gadis itu juga memintanya untuk datang sebagai saksi. Itu artinya, Elion akan bergabung bersama orang-orang terdekat dari kedua mempelai. Menyaksikan gadis pujaannya diikat oleh laki-laki lain. Secara langsung.

Elion tidak tahu motif Nadia. Entah gadis itu ingin mengujinya, atau justru ingin menyadarkannya bahwa sampai kapan pun mereka tak akan pernah bisa bersama. Namun, satu hal yang pasti, Elion membenci ini.

"Ayo, lo ikut masuk." Elion bukannya bermaksud menunjukkan citra lain—semacam, dia bakal baik-baik saja tanpa Nadia karena bisa datang dengan gadis lain—saat merangkul Alfa yang hampir mengambil tempat duduk di jajaran kursi di depan panggung pelaminan. Hanya saja, dengan segenap hati, Elion mengakui rasa jengkelnya pada gerombolan tamu laki-laki di kursi seberang yang enggan melepaskan pandangan dari Alfa. Ini bisa diartikan sebagai sikap defensif, yang tak ada bedanya dengan saat Elion bersama Bianca. Tak lebih.

.... Sayangnya, Elion melupakan tempat tangannya sampai mereka duduk di barisan paling belakang para saksi. Kedatangannya menyedot perhatian seluruh penghuni ruangan, tak terkecuali Nadia yang duduk di depan seorang penghulu.

Nadia terlihat terkejut, jelas. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Rena, Nadia ... tidak kenal Alfa. Ditambah lagi pakaian mereka tampak serasi.

Beda halnya dengan Nadia yang nampak kesulitan menarik sedikit kedua sudut bibirnya, Alfa dengan segenap rasa percaya dirinya melengkungkan senyum. Padahal, jika harus jujur, dia berdebar menyadari tangan Elion bertengger manis di pinggangnya.

Sunyi sebentar sampai akhirnya salah satu kerabat Nadia melambai, memberikan ruang untuk Elion dan Alfa duduk.

"Kak Elion ... oke?"

Elion perlu melegakan tenggorokannya sepersekian detik sebelum menggumam sebagai jawaban dari pertanyaan Alfa.

.... Tapi Alfa tahu bahwa Elion tidak baik-baik saja.

______________________