Chereads / Another One For You / Chapter 19 - CERITA LAMA

Chapter 19 - CERITA LAMA

Dulu Bianca pernah punya pacar. Namanya Neil. Tubuhnya setinggi Nawasena, dengan senyum mematikan semacam Arega. Tapi itulah malapetakanya.

"Gue nggak suka." Alfa bilang begitu hanya setelah melihat Neil dari kejauhan.

"Lo kebiasaan nge-judge orang dalam sekali lihat."

"Karena gue punya insting yang lebih peka daripada lo. Intinya gue nggak suka kalau lo sama dia."

Padahal hari itu Bianca punya rencana menghabiskan akhir pekan dengan Alfa dan Neil. Berharap keduanya punya hubungan baik karena ke depannya akan sering bertemu lewat Bianca. Sayang, hari itu juga Bianca dibuat menyesal sudah membawa Alfa. Gadis itu memang memberi space untuk Bianca dan Neil, tapi sikapnya jelas menunjukkan penolakan terhadap eksistensi Neil. Dan itu menghancurkan hari Bianca.

"Sebut aja gue kolot. Tapi cowok yang ngecat rambutnya sama sekali nggak cocok sama lo, Bi. Dia pakai gelang tangan sama tindik di telinga. Please, dalam sekali lihat pun gue udah bisa rasain atmosfernya nggak enak banget." Kemudian Alfa menambahkan. "Kalau lo ngerasa dia emang baik buat lo ... ya silahkan. Tapi kan lo ngajakin gue hari ini karena mau minta pendapat gue."

"Lo bilang gini bukan karena lo iri gue udah punya pacar sedangkan lo masih ditahan Ari?"

Bianca tahu ucapannya sedikit kelewatan, dan menyinggung Alfa. Jelas dari perubahan mimik wajah Alfa yang terlihat sepersekian detik sebelum kembali datar.

"Orang kan bisa dinilai dari circle-nya. Dia satu circle sama Kak Arega, artinya dia nggak jauh-jauh dari Kak Arega." Alfa mengibaskan tangannya sebelum Bianca membalas. "Udahlah ya. Gue nggak mau berantem cuma gara-gara ini. Intinya gue udah kasih pendapat. Kalau lo merasa nggak relate sama pendapat gue, it's okay. Lo punya keseluruhan hak buat memutuskan. Toh, lo udah gede. Gue ngerti lo nerima dia karena ada sisi dia—yang gue nggak tau—yang bikin lo suka. Lo nggak salah."

Sejak awal Bianca tahu Alfa risih dengan Arega. Karena lingkungan Alfa cukup bagus. Karena Alfa tumbuh dan dibesarkan di lingkungan yang prestise. Walau jelas Alfa bisa menunjukkan penerimaannya terhadap kebanyakan orang, tapi Bianca tetap tahu, dalam hatinya Alfa memilah mana yang bisa ditoleransi dan mana yang tidak. Neil ... di luar batas toleransi Alfa.

Dan seolah semesta mendukung Alfa, dua minggu setelah hubungan Bianca berjalan dengan Neil, sesuatu yang menyakitkan menerjangnya.

Neil memutuskannya hanya karena alasan sesepele 'Bianca tak mau diajak main malam minggu'.

Bianca menghabiskan hari Minggunya di kamar. Menangisi Neil yang tak bisa dia pertahankan ... sambil mendengarkan ceramahan Alfa dan Riani yang tak tahu rasanya diputuskan sepihak.

Lucunya—atau brengseknya—paginya Bianca dan Alfa melihat Neil sudah nongkrong di halte bersama komplotannya. Digelayuti seorang gadis dengan rambut coklat-ombre-merah.

Karena pengalaman menjengkelkan itu, Bianca jadi malas cerita pada Alfa soal laki-laki yang dia taksir.

Kalau soal Arega, Bianca memang suka dari dulu. Bahkan saat pacaran dengan Neil pun Bianca masih menaruh harapan pada Arega. Singkatnya, Arega tak bisa dibandingkan dengan siapa  pun di hati Bianca.

"Mau bengong sampai kapan, Neng?" Suara itu membuat Bianca berkedip. "Iler lo jatuh ke pempek tuh."

"Sejak kapan lo di sini?"

Fariel berdecak, kakinya dinaikkan ke atas kursi  panjang yang dia duduki.

"Dari lo sampai. Gue ada di situ," katanya sambil mengedik ke bangku sebelah yang diisi sekitar 6 orang laki-laki. Lalu seringaian jahilnya terbit. "Terus kasihan aja lihat ada jones yang bengong nonton orang ciuman."

"Bacot lo—" Bianca urung memaki saat menyadari ucapan Fariel benar. Matanya berpaling pada mangkuk pempek di hadapannya.

Fariel terbahak melihat kulit wajah Bianca merah padam. "Ke sini sendiri? Nggak sama pacar lesbian lo?"

"Sekali lagi lo bacot, gue gaplok kepala lo pakai sandal."

Masih dengan tawanya, Fariel membalas, "Habis lo sama Alfa udah kayak perangko. Lengket abis."

Kadang Bianca juga berpikir begitu. Dia sampai tak punya terlalu banyak teman dekat karena hanya main dengan Alfa. Sesekali, saat Alfa ada bimbingan lomba dan sering skip kelas, Bianca merasa asing dengan teman sekelasnya.

"Overdosis nggak lo temenan sama tuh anak?"

.... Overdosis.

Mungkin alasannya karena Alfa. Bianca sudah terlalu nyaman dengan segala macam tingkah Alfa yang mungkin tak akan dia temukan dari kebanyakan orang. Melankolis dan 'gila' sekaligus. Kontras, tapi memang begitulah Alfa. Kadang konyol sampai Bianca lupa kalau Alfa jauh lebih pintar darinya.

"Menurut ngana?" Bianca hanya menyahut sekenanya. Memasukkan potongan pempek ke dalam mulutnya.

"Kalau gue jadi lo sih palingan udah sampai level sakau kalau ditinggalin." Fariel kembali terbahak setelah mendapatkan jitakan keras dari Bianca. "Tapi serius. Gue ketua kelas cuma formalitas aja. Semua yang mikir kan si Alfa. Kalau nggak ada dia udah pasti gue ogah dijadiin ketua. Kena damprat guru terus paling. Dijadiin babu sama anak kelas, bukannya ketua."

Mendengar omongan Fariel membuat Bianca menyangga dagunya di atas meja, menatap laki-laki itu dengan mata menyipit. "Jujur deh, selama hampir dua tahun ini pernah nggak sekali aja lo punya pikiran buat suka sama Alfa?"

Bianca tak terlalu pandai membaca ekspresi orang. Hanya saja, Fariel yang sempat terdiam membuatnya mendengkus. "Nggak perlu bilang. Gue udah tau jawabannya."

Fariel tercengir. "Kalau nggak ada Ari sih udah dari dulu gue gebet dia."

"Cemen banget takut sama Ari."

"Lagian gue nggak ada niat buat mainin cewek kayak Alfa. Sekadar suka pernah. Cuma gitu aja, terus udah."

"Sekarang?"

"Menurut lo Genny anak IPS itu gimana?"

"Owalah, emang brengsek ya lo."

Fariel cengengesan setelah berhasil mengalihkan pembicaraan dari Alfa ke Genny.

Hujan turun sejak tadi. Akhir-akhir ini memang begitu. Malam selalu datang disambut gerimis. Semakin malam, semakin deras. Tapi begitu menjelang tengah malam, hujannya berubah menjadi rintik halus. Itu juga alasan mengapa Bianca memilih duduk di sini lebih lama, menghabiskan satu porsi lagi pempek dan susu jahe.

Besok hari Senin. Untuk Bianca tak ada bedanya hari Senin atau bukan. Soalnya dia bakal datang mepet-mepet bell masuk. Malahan, Bianca lebih suka masuk gerbang pas bell di hari Senin. Soalnya dia tak perlu bolak-balik kelas ke lapangan depan untuk upacara. Tasnya bisa ditaruh sembarangan sementara dia mengambil tempat berbaris.

Suara klakson mobil di depan ruko yang Bianca dan Fariel tempati membuat keduanya menoleh. Karena hujan deras, tak ada satu jendela pun yang dibuka.

Tak selang berapa lama, ponsel Bianca yang ada di samping mangkuk bergetar.

Fariel menahan dengkusannya membaca nama pemanggil di layar ponsel gadis itu. "Alfa?"

"Ape?" Bianca menyapa, lalu mengernyit setelah suara di seberang sana terdengar. "Gue emang nitip sate, anjir. Kalian kelamaan. Gue keburu mati kelaparan. Iya iya, ini gue udah kelar. Bawel banget lo berdua."

Bianca beranjak dengan bibir mencebik kesal. Mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celana jeans-nya.

"Kenapa?"

Dagu Bianca mengedik ke arah mobil yang tadi membunyikan klakson. "Alfa ternyata."

"Baru juga diomongin."

Bianca tak tahu kenapa dia memberikan informasi yang tak diperlukan pada Fariel, yang pasti dia berkata, "Habis pergi sama abang gue dia."

"Ngapain?"

"Menurut ngana?" katanya sebelum melambai pada Fariel dan beranjak membayar makanannya.

Fariel sendiri memperhatikan sampai Bianca masuk ke dalam mobil, sedikit hujan-hujanan, dan melesat dari pandangannya.

__________________