Chereads / Another One For You / Chapter 20 - MARAH

Chapter 20 - MARAH

"Lo diem-diem ketemu Fariel ya ternyata."

Bianca di bangku belakang menghentikan tangannya yang tengah mengeringkan lengan baju menggunakan tissue, matanya melirik Alfa dengan bahu mengedik pelan. "Nggak perlu cemburu gitu. Seganjen-ganjennya gue, nggak bakalan gue nikung gebetan temen."

"Oh, jadi cowok tadi itu yang lo taksir?"

"Sori-sori jek nih ya," Alfa menoleh ke belakang demi menghadiahi tatapan tajam pada Bianca. "gue udah nggak-suka-Fariel-sama-sekali. Emang bener brengseknya dia belum selevel sama Kak Arega, cuma ya ... gue sekarang udah waras."

"Jadi, pas kemarin lo suka Fariel, lo lagi nggak waras gitu?"

"Ya gitu deh."

"Yah, apes deh lo. Padahal barusan gue dapet informasi super spektakuler membahana membelah dunia."

"Bacot. Apaan?"

"Nggak jadi gue kasih tau. Gue berubah pikiran soalnya."

"Bergaul berapa lama lo sama Fariel? Kok kayaknya lo mulai ketularan nyebelinnya itu anak."

Elion yang awalnya berniat masuk dalam percakapan dua gadis itu memilih untuk diam lagi. Membiarkan keduanya adu mulut sampai di pinggir jalan depan rumah.

Tentang pertanyaan Alfa tadi, "Apa Elion punya teman?"

Jawabannya, banyak. Di mana-mana. Hanya saja, Elion tak begitu menyukai hubungan yang terlalu intim. Dia bisa pergi kapan pun dengan mereka, tapi tak suka kehidupan pribadinya dicampuri. Jadi, mungkin untuk sekadar teman, Elion punya. Tapi jika ditanya soal sahabat, semacam hubungan antara Bianca dan Alfa, Elion tak punya. Bahkan satu pun.

Elion punya teman di tempat kerja. Mereka hanya tahu Elion pernah pacaran dengan Nadia. Hanya sebatas itu.

Elion punya teman sekolah yang sampai sekarang masih sering kabar-kabaran. Tapi mereka hanya tahu hubungannya dengan Nadia berakhir setengah tahun yang lalu.

Elion punya teman hasil kenalan di jalan, yang kadang mengajaknya mendaki gunung atau traveling. Sebagian dari mereka berpikir Elion sudah menemukan pengganti Nadia.

.... Tanpa ada yang tahu Elion tak pernah benar-benar selesai dengan gadis itu.

Hanya orang rumah yang tahu kekonyolan Elion karena perasaannya terhadap Nadia. Ditambah Alfa.

"Nih, pesenan lo. Sekalian sama martabaknya bunda." Setelah menghentikan mobilnya di bawah, Elion mengulurkan keresek berisi bungkusan sate sejumlah penghuni rumah dan keresek lain dengan dua kotak martabak yang masih hangat.

"Lha ngapain kasih ke gue? Lo kan juga mau naik." Lalu mata Bianca menatap Elion menyelidik. "Jangan bilang lo mau ngomong berdua sama bocah ini. Emangnya sejak kapan kalian ngobrol sembunyi-sembunyi dari gue?"

"Sejak lo banyak omong. Udah ini bawa, pegel tangan gue."

"Ogah."

"Gue mau anterin Alfa ini. Keburu kemaleman."

Alfa yang mendengar ucapan Elion ikut mendelik seperti Bianca. Serempak bertanya, "Ngapain?"

Bianca yang berdecak duluan. "Alfa bisa nyetir sendiri. Buat apa dianterin? Lagian baliknya lo mau gimana, Abangku tercinta?"

Alfa mengangguk-angguk setuju atas pernyataan Bianca. Sepertinya sudah cukup dia terjebak berdua dengan Elion sampai semalam ini, tidak dengan membiarkan laki-laki itu menyetir dan mengantarnya balik. Selain karena Alfa mulai capek kalau harus cari bahan obrolan, dia juga sedikit banyak yakin kalau kehadiran Elion bakal mengundang kekepoan orang tuanya.

"Udah malem. Hujan. Nggak baik anak cewek nyetir sendirian."

"Aku—"

"Lha itu gara-gara lo. Kelamaan ngebucinin Kak Nadia bikin lo tambah bego kuadrat. Kalau udah tau Alfa nggak boleh balik malem sendiri ya harusnya lo bawa balik dia dari tadi. Kenapa malah lo ajakin kelayapan—"

"Bi!" Alfa gantian memotong ucapan Bianca yang untuknya, lagi-lagi, terdengar kelewatan.

Hanya sepersekian detik berselang sampai akhirnya Bianca kelihatan mendengkus kesal, kemudian mengambil alih dua keresek dari tangan Elion. Dengan berlari kecil, gadis itu naik ke rumah setelah membanting pintu mobil.

Alfa menghela napas, melirik Elion yang juga tengah memandangi tempat terakhir Bianca terlihat.

Dalam situasi ini, Alfa merasa dia tak perlu memberikan pengertian pada Elion soal sikap kekanakan Bianca. Sebab, mereka sama-sama mengenal Bianca. Lebih-lebih Elion. Walau jelas sikapnya barusan itu bukan hanya menyinggung Elion, tapi juga Alfa.

"Aku bisa pulang sendiri, Kak Elion." Alfa menahan Elion yang menjatuhkan salah satu tangannya di tuas gigi.

"Gue nggak mungkin biarin lo balik sendiri."

"Aku biasa pulang sendiri. Lagian ini belum terlalu malam. Dan lagi, jalanan rame, rumah aku di pinggir jalan gede, nggak ada yang perlu dikhawatirin." Alfa hampir kehilangan kata-kata waktu Elion mulai melajukan mobil yang mereka tumpangi.

"Kak Elion,"

Sayang, Elion tak mendengarkan. Dia hanya fokus menatap jalanan yang betulan ramai malam itu. Mereka membelah sisa hujan malam itu dalam diam. Dengan Elion yang menampakkan ekspresi kaku, marah.

"Kasih tau gue kalau waktunya belok." Hanya itu kalimat terakhir yang Alfa dengar karena setelahnya, sepanjang perjalanan, Elion benar-benar diam.

Mungkin ... Bianca membenci Nadia setengah mati sampai mengabaikan Elion. Kekesalan itu adalah sebentuk kepedulian dan rasa sayangnya pada Elion, sampai Bianca lupa bahwa dia perlu memposisikan dirinya di posisi laki-laki itu. Alfa tidak bisa menyalahkan, karena kalau dia adalah Bianca, hal semacam itu mungkin saja terjadi. Dia mungkin bakal khawatir setengah mati menyadari kakaknya nyaris meregang nyawa hanya karena seorang gadis yang kemudian memutuskan untuk menikah dengan laki-laki lain.

Seolah di dunia ini hanya ada gadis itu.

Di sisi lain Alfa tidak bisa menyalahkan Elion. Perasaan yang sudah dirawat sejak lama itu ... mungkin memang terlampau sulit untuk diabaikan hanya dalam waktu setengah tahun.

Setengah tahun ....

Bukannya itu terlalu singkat untuk hubungan Elion dan Nadia yang berlangsung selama itu?

Saat Alfa lihat, buku-buku jari Elion di atas kemudi memutih karena pegangannya yang terlalu kuat. Rahangnya terlihat tegang. Dan di balik bibirnya yang terkatup rapat, Alfa yakin gigi-gigi Elion mengerat.

Pengecut!

Alfa memaki dirinya sendiri. Dia tak punya cukup nyali untuk mengalihkan perhatian Elion atau menenangkannya.

Lalu, begitu Alfa menunjukkan rumahnya, Elion berbelok. Laki-laki itu memasukkan mobil ke garasi depan, berjajar dengan beberapa mobil lain yang sudah terparkir rapi di sana.

Hujan sudah sepenuhnya reda. Hanya menyisakan genangan-genangan air tipis di halaman depan rumah.

"Gue langsung balik."

"Nggak mau ngopi dulu?"

Elion menggeleng, mengembalikan kunci mobilnya pada Alfa.

"Mobilnya dibawa aja nggak apa-apa, Kak Elion." Alfa sempat bilang begitu saat tersadar Elion mungkin harus menunggu taksi untuk beberapa saat. Namun, laki-laki itu hanya mengangkat tangannya sebagai gestur menolak. Kakinya melangkah keluar melewati gerbang depan.

Alfa gamang. Dia ingin mendekat, menemani Elion sampai laki-laki itu mendapatkan taksinya, tapi di sisi lain dia merasa bahwa Elion mungkin butuh waktu untuk sendiri. Tanpa diganggu, tanpa ditanyai macam-macam.

Tapi akhirnya Alfa tetap mendekat. Berdiri di sebelah Elion yang nampaknya sedang mencoba memesan taksi online. Laki-laki itu sempat meliriknya sedikit dengan senyum kecil, lalu sibuk lagi dengan ponselnya. Alfa juga tidak berusaha memperpanjang pembicaraan mereka. Dia tetap di sana dalam hening sampai sebuah mobil berhenti di depan mereka, mengonfirmasi pesanan atas nama Elion.

"Hati-hati di jalan." Hanya itu yang sempat Alfa katakan sesaat sebelum Elion benar-benar masuk ke kursi belakang, lalu dibawa melesat oleh mobil asing itu.

______________