Kalau bicara soal Jujur, Alfa akan mengaku bahwa selama kompetisi fokusnya terbagi. Katakanlah dia menyampaikan presentasi dengan baik, menjawab—nyaris—semua pertanyaan dengan percaya diri. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Alfa memikirkan sesuatu.
Lalu, saat pengumuman, Alfa tak bisa berdebar. Untuk pertama kalinya dia merasa hambar menjelang menentuan pemenang. Bahkan setelah akhirnya mereka nama mereka bertiga dipanggil sebagai peringkat pertama pun Alfa hanya bisa mengulas senyum tanggung.
Mereka menang telak. Dengan skor yang jauh melampui tim lain dan berhasil membawa pulang dua piala. Satu piala kejuaraan, satu lagi piala bergilir yang tingginya setengah tubuh Alfa.
Namun, setelah menerima dua piala beserta uang pembinaan; setelah dimintai foto bersama dengan banyak pihak; setelah sempat diajak bicara dengan ketua panitia yang gantengnya luar biasa; setelah jalan-jalan setengah hari di hari berikutnya, Alfa mencoba mengelak ... bahwa semua itu tak ada apa-apanya begitu dia menginginkan perjalanan pulang. Dia lebih ingin makan di stasiun dan bicara lagi dengan Elion.
Begitu hari yang dinantinya tiba, Alfa mencoba untuk bersikap senormal mungkin. Sekalipun dadanya meletup-letup menahan euforianya sendiri.
Gadis itu memeluk piala bergilir mereka. Berjalan ringan masuk ke stasiun sambil mengabaikan tatapan orang-orang di sepanjang jalan. Mungkin, beberapa dari mereka melihat Alfa turun dua hari lalu, dan tak menyangka gadis itu bakal pulang membawa piala. Ya, kalau saja Alfa boleh berkhayal demikian. Mengalihkan gejolak di dadanya.
Ini memang bukan pertama kalinya untuk Alfa; jatuh hati sampai terlihat bodoh. Dan Alfa juga menyadari bahwa dia sering melewatkan kesenangan untuk mencari kesempatan yang dia inginkan.
"Kita nggak makan dulu?" Alfa mengangkat alisnya saat Bu Diana menggiring mereka ke kursi tunggu di sisi kanan. Alfa kembali berdebar, dengan debaran yang berbeda. Cemas. Khawatir kalau-kalau Bu Diana memang tak bermaksud membuat mereka mampir di tempat Elion.
Tita, teman satu tim Alfa, mengangkat keresek putih besar yang dia bawa sejak dari luar. "Lo nggak nyadar ya Bu Diana udah beliin roti sama minuman buat kita? Lagian, kita kan udah makan siang sebelum check-out. Lo udah laper lagi?"
Bego!
Alfa mengutuk kebodohannya. Jelas dia sudah makan siang. Perutnya juga sepertinya sudah tak muat bahkan hanya untuk dijejali satu gigitan roti.
.... Dan dia menanyakan soal makan siang?
Dia mengharapkan makan siang di stasiun?
"Masih laper?" Akhirnya Bu Diana bertanya begitu. Wanita itu juga sudah berdiri lagi dari kursinya, bersiap membawa anak-anaknya ke tempat makan. Tapi pemberitahuan mengenai kereta mereka yang akan segera datang membuat wanita itu menilik jam tangannya. "Udah nggak cukup waktunya, Fa. Makan di kereta aja gimana kalau masih laper?"
Alfa kecewa. Dia tak bisa menikmati momen apa pun hanya demi hari ini. Alfa kelewat excited untuk sampai di stasiun sampai menolak diajak foto bersama saat jalan-jalan. Dia dengan serampangan membeli apa pun tanpa pertimbangan hanya demi bisa segera pulang. Sekarang Alfa menyesal.
Dengan setengah hati, Alfa tercengir tipis. "Alfa lupa kalau masih kenyang, Bu Diana."
Wanita itu mengangkat alisnya. Yakin sekali Alfa tak bermaksud mengatakan demikian. Dan dia membiarkannya saja.
"Ayo siap-siap."
Sekali lagi, Alfa melayangkan pandangannya pada bangunan di pojok sana. Dekat mushola. Tempat yang sempat dia singgahi. Sambil sedikit berharap kalau Elion bakal menampakkan batang hidungnya.
Tapi nihil. Sampai kereta mereka datang; sampai Alfa berdiri di belakang orang-orang yang mengantre masuk, tak sedikit pun Alfa melihat Elion.
.... Dan itu membuat Alfa menyerah. Menghela napas panjang sambil merelakan semuanya terlewatkan begitu saja.
Elion ada di sini. Jauh dari tempatnya. Tak ada lagi waktu untuk Alfa mencuri kesempatan dengan sering-sering datang ke rumah Bianca.
Kadang, saat bepergian seperti ini Alfa berharap dipilihkan tempat duduk terpisah. Bertemu dengan orang asing, duduk berjam-jam dan saling diam ... Alfa jelas tak bisa begitu. Karena itu, dia ingin punya teman baru, walau hanya dalam selang waktu paling singkat yang dia bisa. Sayang, acara sekolah tak pernah membiarkannya demikian.
"Ah, nggak kuat," keluhnya saat bagasi di atas tempat duduknya tak bisa ditarik turun. Gadis itu tercengir pada Fida, teman timnya yang lain, yang menahan tawa sambil mengangkat kedua tangannya di kursi seberang. Fida dan Tita jelas menyerah kalau Alfa saja tak bisa, apalagi Bu Diana. Sebab, di antara mereka berempat, Hanya Alfa yang punya badan tinggi dan bertenaga.
"Tunggu petugasnya balik ke sini lagi aja," usul Bu Diana.
Mereka naik kereta bisnis saat berangkat, yang memungkinkan barang mereka diletakkan di bagasi tanpa penutup. Sayang, Bu Diana memilih kereta eksklusif untuk perjalanan pulang. Dan lebih disayangkan, penutup bagasi milik Alfa dan Tita sepertinya tersangkut—kalau bukan karena butuh perbaikan.
"Sorry, let me give you a hand."
Bukan hanya Alfa dan rombongannya, bahkan hampir setengah dari penumpang di gerbong itu melongok dan terkejut mendapati seorang laki-laki asing sudah berdiri menjulang di belakang Alfa, menutupkan bagasi milik gadis itu.
Alfa sedikit minggir. Melihat laki-laki berambut pirang yang tadi duduk di belakang kursi Bu Diana itu mengernyit. Memang tersangkut. Dan sepersekian detik kemudian, laki-laki itu menariknya lebih kuat hingga terdengar suara menutup dengan keras.
"Makasih."
Laki-laki itu sudah berbalik saat Alfa mengucapkan terima kasih. Kepalanya tertoleh. Sekelebat, Alfa melihatnya tersenyum kecil sebelum bersuara dengan logat asing, "Sama-sama."
Lalu, setelah duduk di kursinya, Alfa menyadari laki-laki itu mengawasinya.
Di sepanjang perjalanan.
Awalnya, Alfa tidak nyaman, tapi juga tidak bermaksud menegur atau sekadar menoleh untuk memastikan. Puncaknya, saat mereka istirahat di tempat pemberhentian, Alfa memutuskan untuk menoleh ke kursi barisan seberang, tepat di belakang Bu Diana yang duduk sejajar dengannya.
Ternyata gue cuma GR.
Alfa malu setengah mati melihat laki-laki itu tidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya, sampai pucuk kepala. Dan lagi, posisinya jelas memunggungi Alfa.
Padahal Alfa sudah percaya diri sekali. Bahkan berniat menegur laki-laki itu. Ternyata ... dia tak lebih dari seorang gadis tukang halu yang berharap dilirik oleh orang asing di kereta.
Sial!
Dengan kesal, sambil menunggu keretanya jalan lagi, Alfa meraih roti beraroma kopi di keresek yang tadi dibawa Tita.
Kadang, kepedean itu bikin malu sendiri.
Gadis itu menekuk wajahnya. Sepertinya ini hari sialnya.
Dia melewatkan kesenangan acara jalan-jalan hanya demi melihat Elion, tapi akhirnya nggak jadi ketemu. Lalu, kepedean ada orang yang tertarik padanya dalam sekali pandang di kereta, padahal aslinya nggak sama sekali.
Gue ini kenapa sih?!
Alfa menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Meluruskan kakinya sambil mencoba memutar musik. Sisa perjalanan hari ini harus dia nikmati. Walau sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa dinikmati.
Sungguh malang nasib Alfa.
________________