Apa yang Elion tahu tentang 'masa lalu' adalah mereka merusak, tapi candu. Semakin diingat, semakin menyakitkan. Sekalipun tahu begitu, Elion tetap enggan mengenyahkannya. Dia menikmati rasa sakit yang menyusup setiap kali otaknya memutar kenangan itu.
"El," Senyum itu menular pada Elion. Sampai sekarang pun Elion menyadari bahwa dia masih saja terpengaruh. Perasaannya dibuat tak karuan hanya dengan melihat kehadiran gadis itu. "pesan yang kayak biasa ya. Dua."
"Di dalam atau di luar?"
"Di luar." Sebelum meninggalkan meja counter, gadis itu menyempatkan untuk tersenyum sekali lagi hingga lekukan serupa titik terlihat di kedua sudut bibirnya. "Makasih."
"Iya."
Mereka baik-baik saja. Setidaknya sampai setengah tahun yang lalu.
Bagas, teman Elion, menepuk bahu laki-laki itu sebelum masuk ke dapur untuk membuatkan pesanan pelanggan mereka.
"Ojo suwe-suwe, tresno meneh edan kowe," katanya saat mendapati Elion enggan melepaskan pandangannya dari gadis yang sudah duduk di meja luar.
Elion hanya menarik kedua sudut bibirnya, tanggung.
Namanya Nadia. Mereka bertemu di kereta tujuan Jogja. Elion mau berangkat ke tempat kerja barunya, sedangkan gadis itu akan ada project baru di sana. Se-klise itu. Mereka hanya mengobrol karena satu seat, bertukar nomor hp ... dan begitu saja. Mereka berpacaran. Cukup lama.
Namun, kadang, takdir suka bercanda. Hubungan mereka hampir terjalin 5 tahun. Elion sudah kenal keluarga Nadia, begitu pun sebaliknya. Orang tua mereka sama-sama di Jakarta, tapi kerjaan Elion dan Nadia saat itu sama-sama di Jogja. Tak ada jarak.
.... Kecuali Tuhan.
Elion tak diijinkan mengambil Nadia dari Tuhannya. Dan Elion sendiri tak mau menjual kepercayaannya demi seorang gadis. Sekalipun itu gadis yang sangat dia cintai. Karena itu .... Karena tahu hubungan mereka tak akan bisa melangkah lebih jauh, dengan kedewasaan masing-masing, mereka saling melepas.
.... Karena orang tua Nadia tak mau merelakan putrinya murtad demi menikahi laki-laki yang dia cintai.
Dan sekarang dia sama orang lain, batin Elion.
Nadia datang bersama seorang laki-laki yang sejak datang sudah sibuk dengan ponselnya sendiri. Membiarkan gadis itu menikmati acara live musik sendiri. Melihat itu, entah mengapa Elion merasa tidak terima. Laki-laki itu terlihat tidak layak untuk Nadia.
Lalu, siapa yang layak? Lo yang jelas lepasin dia?
Elion mendengkus sebelum mengalihkan perhatiannya pada ponsel. Mengabaikan Bagas yang berdecak saat lewat membawa pesanan Nadia.
Layar ponsel berkedip. Nama Bianca muncul di sana.
Video call.
"Kenapa? Kangen?" tanyanya begitu wajah Bianca muncul. Seperempat jam lagi pergantian shift. Bagas sudah masuk lagi sambil melepas apronnya, jadi Elion menunggu sebentar sampai rekan shift selanjutnya datang.
Tangan Bianca mengibas. "Nggak usah ge-er. Lo ketemu Alfa kan? Ngaku lo!"
Elion jadi tertawa pelan. "Lo telepon cuma buat nodong begituan?"
"Bisa-bisanya ya kalian mengkhianati gue. Diem-diem kumpul bareng di sana tanpa sepengetahuan Princess Bianca di sini."
"Loh? Gue mana tau kalau dia bakal ke Surabaya? Lagian gue nggak ketemu lama. Dia buru-buru diajak pergi sama gurunya tuh. Sial emang, gue sempat diusir."
"Awas aja kalau sampai deketin Alfa. Gue gorok lo," kata gadis di seberang sana sambil membuat gerakan melibas lehernya.
Elion sontak tertawa lebih keras. "Dapet wangsit dari mana lo sampai mikir gue bakal deketin anak kemarin sore?"
Mata Bianca menyipit. "Sialan. Lo nggak tau ya kalau ada sersan yang naksir Alfa."
"Terus?"
"Ya manusia terhormat kayak gitu aja bisa bertekuk lutut sama dia, apalagi lo yang cuma penghuni gorong-gorong?"
"Wah wah ... nggak bener nih anak. Lo ngatain gue penghuni gorong-gorong? Terus apa kabar sama lo, adek tercinta gue?"
Sebenarnya, Elion tak heran mendengar pernyataan Bianca. Terlepas dari fakta itu benar atau tidak. Sebab, sejak pertama bertemu, Elion mengakui pesona Alfa.
Mungkin memang Alpha.
Posturnya tegak dengan dagu sedikit terangkat, yang jelas menggambarkan seberapa besar kepercayaan dirinya. Elion jadi ingat kemarin Alfa bilang akan lomba. Mungkin, kalau Elion yang jadi saingan gadis itu, dia bakal menciut hanya dengan melihat tatapan merendahkannya.
Iya, Elion sempat melihat bagaimana Alfa melangkah masuk ke stasiun sebelum akhirnya duduk di meja depan kemarin. Langkahnya mantap. Tatapannya lurus ke depan, seolah dia adalah penguasa yang tak perlu menggubris apa pun di sekitarnya. Dan gadis melayangkan tatapan merendahkan pada laki-laki yang bersiul padanya.
Padahal sikap Alfa sama sekali berbeda dari itu. Gadis itu, di mana Leon, tak ada bedanya dengan Bianca.
Kesal diserang balik oleh kakaknya, Bianca mencebikkan bibirnya. "Tau ah. Intinya, lo nggak boleh sama sekali deketin Alfa. Soalnya gue nggak mau cowok brengsek kayak lo nyakitin dia. Ngerti nggak lo?"
"Skip. Gue belum minat." Elion mengibaskan tangannya, membuat gestur yang membuat Bianca di seberang sana mendelik.
"HEH! Nggak boleh minat. Pokoknya lo harus siap-siap gue gantung kalau sampai berani deketin Alfa."
"Kalau gue sih udah bisa dipastikan. Cuma, lo berdoa aja semoga temen lo itu nggak kepincut sama gue," Elion tersenyum. Kelewat percaya diri sampai membuat Bianca di seberang sana gondok setengah mati.
"Nggak bakal dia kepincut sama cowok kere macem lo. Udah, bye."
"Kere-kere gini juga lo doyan duit gue." Elion mendengkus geli melihat Bianca menyempatkan diri untuk menjulurkan lidah mengejeknya sebelum panggilan diputus. Kadang, Bianca saking nggak punya kerjaannya sampai menelepon Elion untuk hal-hal tak berguna. Tapi baru kali ini Alfa diseret dalam percakapan mereka. Elion pikir, mungkin karena Bianca tahu dia dan Alfa sudah pernah bertemu, bahkan tanpa campur tangan Bianca.
"Masih betah di sini, Mas?" Novita, rekan lawan shift Elion sudah berdiri di depan counter. Gadis itu sudah mengenakan apron dan siap menggantikan Elion. "Bagas udah pulang itu barusan."
"Ya udah, gue balik duluan ya." Elion bangkit. Melirik Nadia yang sekarang sudah sibuk mengobrol dengan kekasihnya disela kegiatan makan mereka. Tapi Elion tak mau berlama-lama. Laki-laki itu menghela napas pendek sebelum masuk untuk melepas apronnya.
Kalau mau jujur, dia ke Surabaya bukan karena benar-benar ingin bekerja di sini. Dia ... hanya merasa harus ke sini karena project Nadia di sini. Setidaknya dengan berada di kota yang sama, akan ada kebetulan yang membuat mereka berpapasan. Awalnya Elion berpikir begitu, tapi takdir membuatnya sering bertemu dengan Nadia. Gadis itu bolak-balik Jogja-Surabaya, naik kereta.
Dan kalau boleh ge-er, mungkin saja alasan Nadia memilih kereta karena ... dia bisa mampir makan di tempat Elion.
Mereka masih menyimpan rasa, walau tak bisa saling mengungkapkan.
Mereka masih kabar-kabaran, walau tak seintens saat masih berhubungan.
Mereka tahu ... kalau mereka tak bisa saling melupakan untuk waktu yang lama.
_________________