"Lo .... " Alfa berdehem, sedikit menyondongkan tubuhnya. Memberi gestur agar Nawasena menyamai tingginya. Dan begitu laki-laki itu sedikit menunduk, Alfa mulai berbisik pelan. "Bukannya lo lagi dalam misi PDKT sama Bianca?"
"HA? Siapa yang bilang?" Respons Nawasena itu membuat Alfa menutup mulutnya tak percaya.
"Jadi nggak?"
"Nggak lah!"
"Terus?"
"Nggak ada terusannya. Lo dapet wangsit dari mana sampai bisa mikir gitu?"
Alfa meringis. "Lo akhir-akhir ini sering lewat sini, terus bukan cuma sekali-dua kali nawarin tumpangan. Gue kira lo lagi PDKT-in Bianca."
Tapi perkataan Alfa malah membuat wajah putih Nawasena merah padam. "Bukan."
"Ahahaha ... salah sangka ternyata gue."
"Salah sangka apa?"
Mood Alfa seketika hancur mendengar suara datar Ari menginterupsi kesenangannya. Gadis itu buru-buru merentangkan tangannya ke depan, seolah menahan Ari.
"Gue lagi sebel sama lo. Jaga jarak minimal satu meter. Lewat? Gue pecat lo jadi temen."
Nawasena yang merasa sudah tak ada kepentingan hanya bilang, "Gue duluan ya." sebelum benar-benar melangkah ke kelasnya.
"Sejak kapan lo ngobrol sama orang itu?"
Sebenarnya Alfa bukan tipe kutu buku yang doyan mengeram di dalam kelas. Dia cukup pandai bergaul. Bisa mengobrol dengan siapa pun. Hanya saja, Alfa jarang mengobrol dengan spesies laki-laki, kalau bukan karena ada kepentingan. Jadi, normal untuk Ari mempertanyakan keakraban Alfa dengan Nawasena.
.... Kalau tak bisa disebut sikap defensifnya sebagai seorang laki-laki.
"Sejak dia nggak banyak ikut campur masalah gue, kayak lo."
Ari bukannya tidak tahu kalau Alfa ingin dia memberikan batasan jelas sebagai 'teman saja'. Dia hanya mencoba mengabaikannya. Sebab, sampai sekarang pun Ari tak ingin demikian.
"Soalnya dia nggak peduli sama lo."
"Peduli juga ada batasnya."
Tapi Ari tak tahu alasan Alfa mulai seperti ini—ah, sepertinya dia tahu, hanya saja ... Ari tidak tahu laki-laki seperti apa yang mempengaruhi Alfa. Jelas bukan Nawasena karena Alfa kelihatanya baru beberapa kali bicara dengan laki-laki itu.
Sepengamatan Ari selama ini, Alfa akan tertarik pada orang yang sudah dia kenal. Bukan hanya sekadar nama. Setidaknya, mereka memiliki intensitas interaksi yang cukup tinggi dalam beberapa bulan sebelum akhirnya gadis itu membeberkan rasa sukanya lewat Ari.
Fariel dan Yusuf, buktinya.
"Seberapa?"
Alfa sendiri juga benci kalau harus mengakuinya. Dia selalu melihat binar itu setiap kali menatap mata Ari. Seolah perasaan konyol mereka bertahun-tahun lalu belum selesai.
Dengan mantap, Alfa mundur, lalu kembali merentangkan tangan kanannya ke depan, memberi jarak antara dirinya dan Ari. "Dua kalinya ini. Lo paham kan maksud gue?"
Sayang, Ari malah menarik sudut bibirnya, tipis. "Oke."
Alfa kekanakan. Ari sudah khatam mengenali sifat gadis itu. Tunggu saja sampai Alfa butuh bantuan, gadis itu hanya akan lari pada Ari.
"Segini," tambahnya sambil mengambil dua langkah mundur, menambah jarak antara dirinya dan Alfa.
"Fine! Kalau lo ngelewatin batas yang udah ditetapin, gue nggak nerima lo main ke rumah tanpa persetujuan gue sebelumnya."
"Diterima." Ari menunjuk space kosong di antara mereka. "Kalau lo yang kelewatan, gue sendiri yang putusin eksekusi lo."
"Deal!"
Eksekusinya ... lo nggak boleh lari lagi dari gue.
"Berarti mulai sekarang lo harus pindah dari belakang bangku gue."
"Oke."
"Lo nggak boleh nempatin gue di mobil yang sama dengan lo."
"Hn."
"Dan lo nggak boleh ngurusin kehidupan pribadi gue. Lo harus lebih deket sama Stevani daripada sama gue."
"Ya."
"Oke kalau gitu. Kita sepakat. Tapi lo harus tau, jilat ludah sendiri itu sama kayak jual harga diri lo."
Ari terkekeh pelan. Dia cukup percaya diri itu tak akan terjadi padanya.
"Gue masih heran sih ya, Ari datar banget tapi kalau sama Alfa bisa senyum-senyum gitu. Bawel lagi."
Bianca jadi menoleh ke luar jendela mendengar celetukan salah satu temannya. Melihat Ari dan Alfa berdiri saling berjauhan, dengan Alfa merengut kesal dan Ari yang tersenyum tipis.
Kalau Bianca bilang, harusnya Alfa suka saja pada Ari, alih-alih memilih Fariel.
"Alfa, lo ikut gue rapat ya."
.... Tapi, mungkin karena Fariel yang seperti itu, akhirnya Alfa jadi luluh. Karena rasa respeknya ... yang membuat laki-laki itu sedikit membedakan perlakuannya terhadap Alfa, dari gadis-gadis lain.
***
Alfa sedang menunggu Bianca yang ikut ekskul seni rupa. Duduk di gazebo dekat parkiran tamu sambil memainkan kakinya. Kebosanan setelah berada di sana selama satu jam penuh.
Dia berhasil membuat Ari tidak menawarinya tumpangan.
Hanya saja,
"Lo belum balik?"
Itu Nawasena. Dengan seragam basket yang mengekspos otot biseps-nya, dan rambut mengkilat basah karena keringat.
"Nungguin bebeb lo," godanya. Dan lagi-lagi ujung telinga laki-laki itu memerah. "Anak basket latihan ya? Kok gue nggak lihat?"
"Latihan di lapangan indoor."
"Oh ... pantesan."
"Mau nungguin gue nggak?" tanyanya tiba-tiba.
"Hih, ngapain? Gue nggak ada urusan sama lo."
"Jadi beneran nggak mau nganterin gue ke restoran itu?"
"Hellaw, Masnya. Ini udah jamannya google maps ya. Jaman Instagram. Lo lihat Insta-story Bianca? Dia udah tag akun Instagram restorannya. Oke? Sampai sini paham? Nah, kalau lo perlu tutorial, gue bakal kasih tau. Lo tinggal pencet tuh akun, ada link lokasinya yang bisa lo lihat lewat google maps. Kalau udah? Ya udah, tinggal ikutin aja arahnya." Tangan Alfa mengibas. "Kita kan nggak hidup di jaman HP jadul yang harus bikin peta manual di kertas."
"Emang nggak peka ya ternyata." Untuk pertama kalinya Nawasena berani berkata begitu di depan Alfa. "Next time deh. Gue harus beliin minum buat anak-anak yang lain."
"Dasar nggak jelas lo."
Walau begitu, tanpa sadar Alfa mulai terbiasa. Kalau kemarin-kemarin dia mencoba tutup mulut karena merasa Nawasena berusaha mengobrol dengan Bianca, maka sekarang Alfa merasa dia bisa bersikap biasa saja. Dengan kata lain, Alfa bisa mulai mengatai Nawasena seenak jidatnya sendiri. Tanpa sungkan.
Nawasena sendiri tergelak mendengar makian Alfa. Kaki panjangnya terayun keluar melewati gerbang.
Kantin sekolah tutup setelah jam pembelajaran selesai. Jadi, anak-anak ekstrakurikuler yang butuh camilan atau minum harus pergi keluar, atau bisa 'nyetok' saat istirahat kedua. Sayangnya, jarang ada yang mau menggunakan opsi kedua.
Alfa baru mengalihkan tatapannya dari punggung Nawasena saat sekelebat matanya melihat sosok familiar terselip di antara lalu-lalang anak sekolahnya.
Elion.
.... Bersama sebuah keresek putih di tangan kanannya.
"Kak Elion!"
Kalau jujur, sebenarnya Alfa mencoba untuk tidak terlihat terlalu girang mendapati laki-laki itu muncul di hadapannya.
Elion yang tadinya bermaksud masuk ke gedung sekolah menoleh, mengubah arah mendekati Alfa.
"Bianca belum kelar?" tanyanya begitu berhasil mendaratkan kaki di depan Alfa.
"Dia paling cepet jam 4." Alfa menengok jam tangannya. "Satu jam setengah lagi deh kira-kira."
"Lo udah makan?"
Alfa jadi melipat bibirnya ke dalam mendengar pertanyaan Elion.
Soal bekalnya ... tadi Alfa sudah mengumpat kebodohan Bianca, dan kebodohannya sendiri, yang membuat bekal mereka ketinggalan di bus. Dia dan Bianca punya keyakinan kuat bakal kena damprat Riani kalau sampai ketahuan set Tupperware yang baru dia beli seminggu lalu 'disedekahkan' tanpa sengaja kepada entah siapa yang menemukannya di bus tadi pagi.
"Kenapa?"
Alfa mengangkat tangan kanannya. "Dengan sangat sadar, aku ngaku berdosa."
Elion mengernyit sampai mendapatkan penjelasan dari gadis SMA di depannya.
"Bekalnya ilang tadi pagi. Beserta wadah-wadahnya. Di bus."
Sempat Elion diam mencerna ucapan Alfa, lalu tertawa keras melihat gadis itu tersenyum lebar seperti tak pernah membuat dosa.
"Gimana bisa?" Elion masih saja tertawa. Menatap Alfa yang cengengesan di tempat duduknya.
"Tadi busnya penuh. Jadi, wadahnya sama Bianca suruh taruh di bagasi atas itu. Kami kegeser-geser sampai turun. Terus lupa kalau ada barang bawaan."
"Punyanya siapa tuh?"
"Punyanya Kak Riani." Sekarang Elion bisa melihat Alfa menghela napas lelah dan memasang wajah lesu. "Terima ajalah nanti kalau diomelin."
Pasrah.
"Ya udah, makan dulu yuk. Lo kan dari pagi belum makan."
Petaka! Elion membuat Alfa jingkrak-jingkrak dalam hati. Diiming-imingi traktiran masakan Korea oleh Nawasena tak ada artinya bagi Alfa, tapi diajak makan di warung bakso depan sekolah oleh Elion vibe-nya benar-benar berbeda.
"Ditraktir?"
"Bayar sendiri."
"Yah," Alfa melirik keresek di tangan Elion. "Terus Kak Elion bawa apa?"
"Roti bakar. Buat Bunda." Sambil menyeimbangi langkah Alfa, Elion menoleh pada gadis itu. "Bianca pernah bilang jajanan depan sekolah enak. Jadi, sekalian aja beli di sini."
"Bianca bilang gitu gara-gara aku yang jajanin."
Elion tertawa sekali lagi. Untuk ukuran orang yang baru bicara beberapa kali dengannya, Alfa cukup mudah akrab dan menyenangkan. Dan Elion jadi mewajarkan kalau gadis itu seperti tak 'berjarak' dengan orang rumahnya.
"Besok ya,"
Saat sampai di gerbang, mereka berpapasan dengan Nawasena yang membawa empat botol air mineral. Berlari kecil dengan senyum lebar yang dilemparkan pada Alfa.
"Lo yang bayar."
"Oke!" Lalu laki-laki itu terlihat tertawa kecil sebelum benar-benar masuk ke gedung sekolah.
Elion yang menyaksikannya melengkungkan senyum geli. Seingatnya, saat dulu masih sekolah, laki-laki dengan seragam basket banyak diincar gadis satu sekolah. Apalagi dengan penampilan semacam laki-laki yang barusan bicara dengan Alfa. Tinggi, putih, dengan senyum Pepsodent dan rambut hitam legam. Dari fisik jelas tak terkalahkan.
Dan Elion tak heran kalau laki-laki semacam itu menaruh perhatian pada Alfa.
"Siapa?" Sebenarnya, daripada benar-benar ingin tahu, Elion mengajukan pertanyaan itu hanya untuk kemudian menggoda Alfa.
Sayangnya, Alfa yang sudah berdiri di sampingnya—siap menyeberang jalan—menyeringai lebar sambil berkata, "Cowok yang lagi PDKT-in Bianca."
"Loh?"
Alfa tertawa. Refleks berpegangan pada pinggang kemeja Elion saat laki-laki itu mengambil langkah untuk menyeberangi jalan. "Ganteng kan? Makanya itu, kalau dibandingin Kak Arega aku dukung Bianca sama dia. Namanya Nawasena."
Semalam Alfa bilang Bianca suka Arega. Elion sendiri sudah tidak kaget mengingat intensitas pertemuan keduanya selama ini. Tapi jelas dia tak bermaksud membiarkan adik bontotnya berkencan dengan laki-laki macam Arega.
Sekarang, dengan tiba-tiba ada informasi Bianca ditaksir anak yang ... sepertinya sangat mencolok.
Setelah memesan dua bakso tanpa mie dan es teh, Elion menyusul Alfa duduk di kursi pojok. Dekat radio yang memutar lirih lagi "Stay" milik The Kid LAROI dan Justin.
"For your information," kata Alfa, memulai pembicaraan lagi setelah Elion menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Nawasena nggak pernah pacaran sama siapa pun—yah, seenggaknya kami seantero sekolah taunya gitu. Makanya, kalau Bianca sama dia ... aku rasanya lebih tenang."
"Kayaknya lo salah sangka." Setelah dipikir-pikir, Elion akhirnya memutuskan demikian. "Dia nggak kelihatan lagi PDKT-in Bianca."
"Tadi dia juga bilang gitu sih. Cuma," Gadis itu menunjuk telinganya sendiri. "kuping dia langsung merah kalau denger nama Bianca. Kan ada tuh cowok yang mulutnya bisa bohong, tapi telinganya nggak."
"Dia mau neraktir lo."
Tangan Alfa mengibas tanpa arti. "Anggap aja itu sebagai trik buat kenal 'target' lewat sahabat terdekat targetnya."
Dengan menyangga dagunya di atas meja, Elion menyeringai jahil. "Oke. Bianca nggak suka itu anak?"
"Yap. Belum lebih tepatnya."
"Dia suka Arega."
"Exactly."
"Siapa yang lo taksir?"
Alfa sudah membuka mulutnya, siap menjawab, tapi kemudian dia kehilangan stok kata-kata dalam otaknya.
Dan itu membuat Elion tertawa geli.
____________