Chereads / Another One For You / Chapter 17 - CERITANYA

Chapter 17 - CERITANYA

Dulu saat Sela, mamanya, masih sering di rumah, Alfa sering mengobrol. Minum coklat hangat di teras depan sambil menunggu mobil papanya terlihat. Kadang wanita itu bercerita tentang teman-temannya semasa kuliah. Sesekali mengulang cerita yang sama sampai Alfa hafal jalan ceritanya. Tapi Alfa tetap mendengarkan sampai selesai.

Sore itu, Alfa ingat Sela mengatakan sesuatu yang cukup aneh baginya, tapi cukup masuk akal.

"Tau nggak kenapa Mama nikah sama papa?"

"Karena papa ngejar-ngejar Mama."

"Kalau itu sih udah jelas ya. Nggak perlu dijelasin juga semua orang kayaknya udah tau." Sela mengedikkan bahunya percaya diri. "Tapi ada loh satu hal yang bikin Mama beneran mau dinikahin sama papa yang nggak ada duit waktu itu."

Alfa terbahak. "Apa?"

"Tapi jangan bilang-bilang papa, entar dia tengsin."

"Iya."

"Papa tuh dulu bukan badboy yang diganderungi anak gadis jaman sekarang. Malahan, dia kalem banget. Kayak Ari itu!—Sekarang nggak usah disebutin juga kamu tau bar-barnya papa kayak gimana kan." Sela mengerling. Sekali lagi membuat Alfa tertawa. "Makanya Mama nggak suka. Lempeng banget. Kalau Mama sih lebih prefer cowok yang suka kelayapan dulu—"

"Hih, Mama!"

"Ssshhh .... Bentar dulu, Mama belum kelar ngomong ini." Sela mendesis kesal pada anak sematawayangnya. "Pokoknya papa tuh dulu 'the big no in my life' deh. Cowok kebugaran jasmani, bukan. Cowok tajir melintir, bukan. Malahan, dulu tuh papa kamu kucel gitu. Kalau inget, Mama suka geli sendiri. Heran akhirnya nerima papa kamu. Tapi, Mama suka jadi inget. Awal Mama bisa luluh tuh gara-gara Mama tau dia punya kontrol diri yang baik."

"Hm?"

"Dulu kan belum banyak transfer-transfer gitu ya. Kalau mau bayar uang kuliah dan turunannya pakai cash. Uangnya biasa diselipin di buku gitu. Makanya, pas musim bayar-membayar banyak yang mendadak alih profesi jadi maling." Sela menjeda, menyeruput coklatnya. "Dan waktu itu papa kamu salah satu korbannya. Duitnya hilang, padahal dia ngumpulin duitnya dari kerja paruh waktu di tempat penerbitan berita. Dia yang nulis-nulis berita gitu lah. Mama juga bisa ngerti gimana keselnya udah kerja susah payah malah duitnya dimalingin."

"Terus?" Walau tersenyum geli, Alfa tetap merasakan secuil dari rasa iba yang terpancar di mata Sela.

"Terus dia dateng ke Mama."

"Mau utang ke Mama?"

"Iya." Sela tercengir. Tapi Alfa bisa melihat dari tatapan mengawangnya, wanita itu menahan gejolak emosi.

"Ini alasan Mama suka sama papa?"

"Jadi," katanya, "karena banyak yang punya kerjaan mahasiswa rangkap maling itu, banyak juga yang jadi oknum. Ngakunya duitnya kemalingan, lapor ke admin, terus nunggak berkali-kali dengan alasan yang sama. Makanya, pihak admin yang awalnya berniat baik mau ngasih keringanan akhirnya jadi strict. Papa kamu, nggak tau kenapa ya, dateng ke Mama."

"Papa datengin Mama di rumah?"

"Nggak. Dia datengin Mama sebelum ada kelas. Minta buat ngobrol berdua. Karena waktu itu Mama lihat dia kayak kebingungan gitu ya akhirnya Mama mau." Sela menghela napas. "Dia jadi cerita soal nenek sama kakek kamu. Katanya, dia nggak mau nambah beban dengan bilang uangnya hilang. Mama sendiri juga tau kalau papa kamu itu ngeyel mau kuliah walaupun udah dibilangin biayanya nggak ada."

"Terus?"

"Dia minta dipinjami." Ada senyum kecil di wajah Sela. Wanita itu menunduk, menyembunyikan ekspresinya dari Alfa. "Tapi yang bikin Mama tersentuh, papa kamu cerita soal nenek sama kakek itu ... kayak tulus banget. Kayak dia emang sesayang itu sama mereka sampai nggak pengen membebani. Sampai dia nangis di depan Mama."

"Jadi, Mama jatuh hati sama papa gara-gara papa nangis?"

"Belum selesai, Sayang." Untuk alasan apa pun, Alfa merasa tersekat melihat mata mamanya berkaca-kaca. "Mama kasih pinjam, dan bilang kalau papa kamu nggak perlu buru-buru kembalikan. Terus kamu tau? Orang yang ngambil itu, ketahuan beberapa hari kemudian. Coba tebak siapa? Sahabat papa kamu sendiri. Dan di situ, Mama lihat papa kamu marah. Uangnya nggak bisa kembali saat itu juga karena udah dipakai buat entah apa. Hebatnya, dia diam aja. Begitulah ceritanya." Sela menutup kisahnya.

"Jadi, Mama suka sama papa gara-gara papa nangis dan nggak tegas sama sekali?"

"You know the deep meaning from my story, Baby girl."

Alfa tidak tahu. Dia benar-benar tidak mengerti maksud Sela waktu itu walau akhirnya dia hanya mengangguk.

Sambil menyedot es degannya, Alfa melempar pandangan pada Elion yang sibuk memotret di depan sana. Celana jeans laki-laki itu digulung sampai tiga per empat, sementara sepatunya teronggok tak jauh dari batu besar di sisi kirinya.

Alfa mengira Elion bakal naik ke atas batu besar di sebelah sana. Duduk merenung sendirian. Nyatanya tidak. Alih-alih menciptakan suasana murung, laki-laki itu malah melakukan interaksi dengan anak-anak kecil di sekitarnya.

Mungkin ....

Alfa menghela napas. Sekarang dia tahu maksud dari perkataan mamanya.

Papa menangis karena rasa sayangnya pada nenek dan kakek.

Dan Kak Elion pun menangis buat orang yang dia sayang.

Papa marah, tapi nggak melampiaskannya pada siapa pun.

Kak Elion mungkin juga benci sama cowok yang ada di samping Kak Nadia. Dia marah. Tapi dia nggak berusaha menyakiti siapa pun. Cuma lebih banyak diam.

"Does it mean I fall for the right one, Mom?" Alfa menggumam, setengah geli pada dirinya sendiri.

Dia mengerti kenapa Sela menerima Matthew, papanya. Karena laki-laki itu adalah tipe penyayang. Karena laki-laki itu ... punya kendali diri yang lebih dari sekadar baik.

Kalau saja Matthew ringan tangan, dia sudah pasti menerjang temannya.

Mungkin, Sela memang selalu seperti itu. Punya pemikiran jauh ke depan. Dia tidak mungkin menikahi laki-laki yang mudah melampiaskan kemarahannya dengan kekerasan.

Dan karena itu, Alfa merasa bersyukur. Seumur dia hidup, pria itu memperlakukan dirinya, dan Sela, dengan baik.

Apakah ... Elion juga akan begitu?

Alfa pikir, gadis yang berakhir dengan Elion bakal sangat beruntung. Seperti mamanya. Dia sedikit berharap kalau gadis itu adalah dirinya.

Alfa terkekeh pelan menyadari pemikirannya sendiri. Dia beranjak setelah membayar, lalu melangkah mendekati Elion yang tengah melihat-lihat hasil jepretannya.

"Kak Elion,"

"Hm?"

"Mau aku fotoin?"

"Lo bisa fotoin gue?"

Alfa mendengkus. "Aku ragu, itu seriusan nanya atau ngeledek ya?"

Elion jadi tergelak. Tak urung memberikan kameranya pada Alfa. Hanya butuh beberapa detik untuk akhirnya laki-laki itu mendengkus geli melihat Alfa yang berlagak seperti fotografer profesional. Gadis itu berjongkok, sedikit membungkuk ke samping sebelum suara jepretannya terdengar.

Elion sudah mengira hasilnya tidak akan sebagus gaya Alfa yang sok-sokan. Ternyata waktu melihat hasilnya Elion dibuat mengernyit.

"Bagus kan? Jangan meng-underestimate orang makanya. Aku tuh gini-gini juga multitalent tau."

_______________