Chereads / remember that day / Chapter 12 - Bagian 12

Chapter 12 - Bagian 12

"Halo. Selamat siang, Pak." Airin mengangkat telepon dengan suara yang agak bergetar.

"Siang, Airin. Maaf saya mengganggu dijam istirahat kamu," kata Pak Zildjian.

"Kenapa?" tanya Selin lirih.

Airin menggelengkan kepalanya karena belum bisa menjawab pertanyaan Selin.

"Oh, tidak apa-apa Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Airin.

Selin hanya bisa menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut Airin karena dia tidak bisa mendengar suara Pak Zildjian yang menelepon Airin.

"Iya, Rin. Saya minta kamu siapkan laporan progress proyek jalan tol ruas Medan – Binjai. Saya butuh laporannya segera. Saya minta kamu buatkan dalam bentuk presentasi yang sederhana, namun saya ingin presentasi itu isinya informatif dan padat. Tampilannya jangan sampai membosankan ya? Saya mau tampilan presentasi yang menarik. Jadi nanti audience saya nggak mengantuk saat saya presentasi. Saya butuh presentasi itu untuk meeting besok siang, jadi saya minta kamu untuk kirimkan presentasi itu besok pagi. Sebelum jam 8 pagi ya? Karena saya harus pelajari dulu isi presentasi yang kamu buat. Bisa?"

Airin langsung memegangi kepalanya saat mendengar perintah sang atasan, Pak Zidjian ini orangnya baik tapi sering memiliki permintaan yang bermacam-macam. Orangnya menyukai kesempurnaan tetapi malas untuk mengerjakannya sendiri, alias tukang perintah. Dan seringnya…. Airin yang selalu mendapatkan tugas-tugas dadakan seperti hari ini.

"Kenapa?" tanya Selin sambil membumbui mie ayamnya dengan kecap dan sambal.

Airin hanya bisa mengangkat alis sambil menggelengkan kepalanya. Tidak ada senyum lagi diwajahnya.

"Bagaimana, Airin? Kamu mengerti?" tanya Pak Zildjian.

"Iya, Pak. Saya mengerti. Akan segera saya kerjakan seperti yang bapak minta. Akan segera saya selesaikan, sehingga bisa langsung saya kirimkan ke Bapak untuk Bapak pelajari sebelum bapak meeting besok."

"Ok, saya tunggu. Terima kasih ya, Rin"

"Iya, Pak. Sama-sama."

Panggilan telepon berakhir. Airin langsung meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Airin menghela napas.

"Kenapa sih? Disuruh bikin apa lagi lo?" tanya Selin.

"Presentasi buat besok pagi," jawab Arin dengan wajah yang sudah tidak bersemangat.

"Kenapa nggak lo tolak aja tadi?" tanya Selin.

"Ya kali, Lin. Masa ya gue nggak mau dikasih tugas sama atasan, sih?"

"Hehe…. Sekali-kali, Rin." Selin meringis.

"Udah lah, pikir nanti aja. Sekarang kita makan dulu, gue butuh energi buat menghadapi deadline nih." Airin mulai mencampur gado-gadonya.

"Hahaha… Rin… Rin… Nasib jadi anak buah kesayangan," ledek Selin.

"Gue jadi boleh cobain mie ayam jamur punya lo nggak, nih?" tanya Airin.

"Iya, tentu boleh dong. Tapi ini udah gue kasih sambel sama kecap," jawab Selin.

"Nggak apa-apa, sedikit aja." Airin mengambil sesendok kuah mie ayam jamur milik Selin. Dia juga mencicipi daging ayam dan mienya.

"Gimana menurut lo? Enak, kan?" tanya Selin yang sudah penasaran dengan pendapat Airin mengenai mie ayam pilihannya.

"Iya, ini enak. Bisa masuk ke daftar makanan yang bakaln gue pesan lain kali," jawab Airin.

"Nggak salah kan pilihan gue?" tanya Selin.

"Iya, pilihan lo boleh juga."

"Nanti lo mau lembur?" tanya Selin sambil menyantap mie ayamnya.

Airin hanya mengangguk sambil mengunnyah gado-gado di dalam mulutnya.

"Gue juga kayaknya bakalan lembur buat persiapan audit," kata Selin.

"Serius lo?" tanya Airin yang senang karena akan mendapatkan teman lembur untuk malam ini.

"Iya, tapi gue lembur cuma sampe jam 8 malem. Gue udah nggak boleh lembur lebih dari jam 8 malem sama suami gue, lagi program mau punya anak soalnya."

"Oooh…. Lo suka dianter jemput sama suami lo, ya?" tanya Airin. Dia beberapa kali melihat Selin diantar oleh suaminya dengan mengendarai sebuah motor sport.

"Iya. Gue udah bilang kalau gue bisa sendiri, gue udah biasa gitu pulang pergi kantor sendiri. Tapi semenjak menikah dia jadi semakin protektif ke gue, dia juga jadi romantis dan sangat pengertian ke gue. Dia bilang dia takut kalau gue kenapa-kenapa waktu di jalan, atau ada yang gangguin gue gitu. Padahal dulu wakktu gue sama dia masih pacarana dia itu cuek banget loh, gue sering kesel karena dia kurang perhatian atau dia nggak peka sama kode-kode yang gue kasih ke dia."

"Manusia emang kadang suka susah ditebak, ya? Dan mereka juga mudah berubah-ubah," kata Airin.

Setelah mendengar cerita Selin mengenai perubahan sikap dan sifat suaminya, Airin jadi teringat kembali dengan Bian. Dia membandingkan nasibnya dan nasib Selin. Dia merasa Selin sangat jauh lebih beruntung dari pada dia. Laki-laki yang menikahinya berubah dari cuek menjadi perhatian, yang awalnya tidak peka menjadi sangat pengertian, dan yang awalnya dingin sekarang bisa menjadi sangat romantis.

Sungguh berbanding terbalik dengan gue, laki-laki yang pernah menikahi gue justru berubah menjadi laki-laki dingin yang sudah tidak memiliki hati. Kejam sekali perlakuannya padaku, dia lupa dulu dia yang memintaku untuk menemaninya menghabiskan waktu bersama hingga maut memisahkan. Tapi kini semuanya berubah. Sebelum maut memisahkan, dia bahkan sudah meninggalkan aku…. Batin Airin.

"Rin, lo kenapa?" tanya Selin saat melihat teman makan siangnya hanya mengaduk-aduk gado-gado dipiringnya saja.

"Hmmm?" sahut Airin malas.

"Kenapa?" tanya Selin lagi.

"Gue udah kenyang," jawab Airin sambil meletakkan sendok dan garpunya. Dia menyedot es teh tawarnya hingga langsung tandas habis.

"Lo kenyang air doang Rin kalau kaya gini ceritanya. Tadi lo belum sarapan, kan? Terus sarapan lo malah dijatuhin tadi sama Seina. Sekarang, lo makan baru berapa suap udah bilang kenyang. Lambung lo sekecil apaan sih, Rin? Manusia itu butuh makan juga loh buat hidup. Kalau nggak makan, lo mau dapat energi dari mana?" jiwa emak-emak Selin muncul.

"Sumpah deh, Lin. Gue beneran nggak mau makan lagi, kenyang banget perut gue rasanya. Kalau gue paksain terus, rasanya jadi kaya mau muntah." Airin beralasan, sebenarnya dia sudah tidak nafsu lagi untuk menghabiskan gado-gado di hadapannya.

"Lo udah selesai belum makannya? Udah hampir habis nih waktu istirahat kita. Lo juga punya kerjaan yang harus cepet-cepet lo selesaikan, bukan?" tanya Airin.

"Udah kok. Yuk, balik lagi ke ruangan!" ajak Selin.

Airin mengangguk. Selin dan Airin pun kembali ke dalam ruang kerja mereka.

.

.

.

Seina yang sudah duduk di kursinya langsung menyapa dengan tatapan sinis pada Airin dan Selin yang baru masuk ke dalam ruangan setelah makan siang bersama. Rasa iri Seina pada Airin sudah membuat hatinya kotor. Kini, apa saja yang dilakukan oleh Airin akan selalu tampak salah di mata Seina. Bahkan sekadar melihat Airin tersenyum pun akan membuat Seina menjadi semakin kesal pada Airin.