Chereads / remember that day / Chapter 17 - Bagian 17

Chapter 17 - Bagian 17

Alif masih berkeliling memeriksa setiap sudut dan sisi calon kamar barunya. Dia benar-benar tidak ingin ada sesuatu yang terlewatkan. Semuanya harus nyaman dan tentu juga harus indah dipandang.

"Ok, memuaskan. Sesuai dengan desain gambar rencana dan sesuai dengan ekspektasi saya. Lalu, ruang apa lagi yang sudah selesai dikerjakan?" tanya Alif yang sudah merasa puas dengan hasil kerja Pak Andrea dan tim.

"Ada kamar mandi dan walk-in closet, Pak. Ruang itu juga sudah selesai kami kerjakan," ajak Santi.

Alif kembali menganggukkan kepalanya tanda setuju. Santi kemudian memandu Alif untuk melihat walk-in closet yang sudah selesai renovasi. Walk-in closet di rumah baru Alif ini sudah seperti walk-in closet di rumah-rumah para artis.

"Ini, Pak. Bagaimana menurut, Bapak? Apakah ada yang kurang berkenan dan perlu kami perbaiki lagi?" tanya Santi.

"Eeeem…. Bagus, Mbak. Untuk airnya, ini sudah bisa mengalir?" tanya Alif.

"Belum, Pak. Untuk lantai 2 airnya belum menyala, tetapi untuk kelistrikannya semua sudah aman, Pak." Pak Andrea membantu Santi untuk menjawab.

"Eeem, ok ok." Alif menganggukkan kepalanya sambil terus menjelajahi setiap sudut kamar mandi.

"Pak, itu untuk pojokannya tolong dirapihkan ya? Itu masih ada celah. Nanti takutnya akan ada serangga yang keluar dari celah itu," pinta Alif.

"Baik, Pak. Sudah saya catat, nanti saya akan minta pekerja untuk segera membereskannya."

Alif kembali melihat-lihat semuanya dengan detail.

"Ok, itu aja tadi. Saya minta segera diperbaiki," ujar Alif.

"Baik, Pak." Santi dengan cepat menyahut.

"Ruangan selanjutnya?" tanya Alif.

Alif, Pak Andrea dan Santi melanjutkan tinjauan mereka ke ruangan selanjutnya.

.

.

.

Di kantor….

Jam kerja hari ini sudah selesai, sekarang sudah tiba waktunya untuk pulang. Seluruh karyawan termasuk Seina, sudah mengemasi barang mereka dan merapikan meja kerja mereka masing-masing. Mereka sudah siap untuk pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka masing-masing.

"Rin, lo jadi lembur?" tanya Selin.

"Jadi, sesuai prediksi. Kerjaan gue belum selesai. Ini masih banyak," jawab Airin.

"Waaah…. Sama, gue juga belum selesai dan harus lembur, tapi gue tinggal dikit lagi sih. Mungkin sebentar aja, nggak jadi sampe jam 8," ujar Selin.

Seina yang sudah selesai membereskan barangnya justru tidak segera meninggalkan meja. Dia justru masih duduk dan dengan sengaja mendengarkan pembicaraan Selin dan Airin.

"Jam berapa kira-kira lo selesai?" tanya Airin.

"Mungkin bisa selesai jam 7 atau malah setengah 7," jawab Selin.

"Udah mulai dekat kayaknya, nih. Udah pada pake gue lo aja ngobrolnya," ujar Seina lirih. Airin bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Seina, namun dia memilih untuk tetap bungkam dan acuh.

"Nanti kalau gue balik, lo sama siapa?" tanya Selin.

"Gampang," sahut Airin dengan santai.

"Mendingan nanti lo bawa pulang aja kerjaannya," ujar Selin.

"Iya, pikir nanti aja. Nggak usah khawatir," sahut Airin sambil mengecek data dari proyek yang sedang dia teliti.

"Kalau lo nggak balik juga waktu gue balik, memangnya berani lo sendirian di sini? Yang lain udah pada balik loh, nggak ada yang lembur hari ini kecuali kita," ujar Selin sambil melihat seluruh meja di ruangan mereka, semuanya sudah kosong. Hanya tinggal mejanya, meja Seina dan meja Airin.

"Halah, gaya lo mau lembur. Kerja lo aja yang sengaja dibikin lelet. Biar lo punya alasan aja kan buat lembur, terus lo bakalan kelihatan paling rajin, paling banyak berkontribusi untuk perusahaan, sehingga lo bisa dapetin perhatian dari para petinggi di perusahaan ini. Hahaha…. Cari muka. Masih kurang mukanya?" sindir Seina.

Gue nggak akan peduli dengan semua yang lo katakana, Na. Sorry…. Gue nggak akan terpancing…. Batin Airin. Dia masih tetap tidak mempedulikan kicauan Seina yang menuduhnya sengaja memperlambat kinerjanya dan mau cari muka kepada atasan dengan alasan bekerja lembur.

"Berani kok, Lin. Tenang aja," ujar Airin.

"Halah, sok-sokan. Palingan nanti juga ngemis-ngemis ke Alif buat nemenin lembr di sini. Sekarang aja sok-sokan berani, lihat aja nanti. Haaah! Lagu lama," ujar Seina dengan seenaknya.

Selin diam-diam memperhatikan gerak-gerik Seina, dia sudah jenuh melihat tingkah Seina yang begitu menyebalkan hari ini.

"Istirahat bentar, yuk! Bikin kopi atau teh gitu di pantry," ajak Selin untuk menghindari Seina dan segala hal yang menyebalkan darinya.

"Boleh," sahut Airin.

Selin bangkit dari kursinya untuk menghampiri Airin. Dia melihat Seina menatap Airin yang masih sibuk dengan laptop di hadapannya dengan tatapan kesal dan tidak suka. Selin yang sedari tadi sudah menahan emosinya akhirnya sedikit kelepasan.

"Eheeem…. Pengen rasanya nyolok mata orang, deh. Gatel banget nih tangan gue," sindir Selin.

Seina yang menyadari sindiran Selin itu ditujukan untuknya, dengan cepat dia langsung beralih memandang Selin dengan tatapan kesal.

"Penghianat!" Seina berkata tanpa bersuara pada Selin.

Selin mengerti betul kata apa yang ditujukan Seina padanya. Dia bisa mengerti itu karena dia bisa membaca gerak bibir Seina yang sangat jelas mengatakan kata penghianat. Selin hanya menyeringai sambil mengangkat alisnya. Dia santai saja dengan tuduhan Seina padanya. Dia tidak merasa dirinya penghianat, jadi dia tidak perlu merasa tersinggung.

Seina semakin kesal melihat respon Selin yang diluar ekspektasinya. Yang Seina harapkan adalah Selin akan marah kepadanya, namun ternyata harapannya tidak kesampean. Seina segera bangkit dari kursi, dia dengan langkah yang gedebukan meninggalkan ruang kerjanya, meninggalkan Selin dan Airin yang masih ada di dalam sana dan harus terjebak lembur karena pekerjaan mereka.

Selin tersenyum melihat Seina pergi dengan wajah cemberut penuh emosi seperti itu. Ketika melihat Seina pergi dengan kesal seperti itu, bagi Selin rasanya seperti sedang memenangkan sebuah perlombaan.

"Yuk!" ajak Selin pada Airin.

"Iya, ok!" sahut Airin sambil menumpuk beberapa kertas yang sudah selesai dia kerjakan.

Dreeet…. Dreeet…. Dreet…. Ponsel yang ada di meja Airin bergetar. Ada nama Alif tertulis di layar ponselnya.

Alif? Oh, iya…. Gue belum kabarin dia kalau gue mau lembur. Duh, kok gue bisa lupa sih? Jangan-jangan dia udah nungguin gue nih di depan.... Batin Airin.

"Sebentar, Lin." Airin dengan cepat mengangkat panggilan dari Alif.

Selin dengan sabar menunggu.

"Halo, Rin." Suara Alif terdengar agak panik dari balik telepon.

"Iya, halo. Lif_." Kalimat Airin langsung dipotong oleh Alif.

"Maaf, Rin. Aku agak telat nih jemput kamunya. Perkiraanku meleset, ternyata aku terjebak macet nih di jalan," potong Alif.

"Aku harap kamu masih mau nungguin aku, tapi kalau kamu udah nggak sabar pengen pulang dengan terpaksa aku relakan kamu kalau mau naik taksi," kata Alif dengan suara yang terdengar lirih.

Airin tersenyum mendengar pernyataan Alif. Dia tahu kalau Alif sedang merasa tidak enak kepadanya. Dia juga paham kalau Alif pasti akan merasa bersalah sekali karena menempatkannya pada posisi seperti ini.