"Kau lelah? Pasti ingin sesuatu yang hangat-hangat, kan?"
.... Segelas susu, ku pastikan perut mu yang kaku karena terlalu sering terkena angin malam itu akan mendingan."
Bian mengerutkan kening, menatap aneh pada Tio yang perhatiannya sudah mulai keterlaluan beberapa hari belakangan. Pria yang sedari tadi terus mondar-mandir menyiapkan segala kebutuhan mandi sampai makan. Bukankah terlalu merepotkan jika hanya untuk sekedar di lakukan pada seorang kawan?
"Habiskan!"
Sementara Tio yang menyodorkan segelas susu, hanya di tatap Bian tanpa sedikit pun berkutik.
"Hei, apa mau sekalian ku bukakan mulut mu itu?"
Hanya karena desakan, Bian terpaksa menerima gelas itu dan segera menyesap minuman hangatnya. Menyisihkan sedikit kecurigaannya. Ya, kebaikan orang seperti Tio pasti mengharapkan imbalan pada akhirannya. Tampang licik penuh akal bulus itu tak bisa menipunya begitu saja.
Lihat saja ulah pria itu sekarang. Bian yang punya kuasa atas rumah sepetak itu, seakan tak terlalu berpengaruh karena Tio yang mulai dominan menata setiap detail keseluruhan. Bahkan ia baru menyadari jika ternyata ruangannya cukup luas untuknya sekedar membentangkan kedua tangan. Lantai ubin yang ternyata berwarna coklat tua saat di kiranya selama ini berwarna hitam. Terlalu banyak barang yang berserakan, atau juga debu yang mengendal makin tebal yang menutupi. Ya, mungkin juga karena pengaruh intens cahaya yang mulai makin terang. Rupanya Tio juga mengganti lampu dengan yang baru.
Dan apa lagi yang kini di perbuat pria itu? Menggeledah isi lemari pakaiannya, mengeluarkan semua isinya di atas tikar yang di gelar. Tio melipatnya telaten, begitu rapi menumpuknya menurut pembagian jenis. Tapi tunggu, kenapa setelah di perhatikan lebih lama, Bian malah merasa beberapa di antaranya bukan kepunyaannya?
Hei, apa-apa itu? Kenapa ia mendadak merasa jika tengah berbagi lemari untuk suami istri?
Seketika Bian mendengus, meletakkan gelas susunya di atas nakas dengan sengaja menggebraknya kasar.
"Pelan-pelan meletakkannya atau itu akan pecah dan mengenai mu."
Masa bodoh dengan kekhawatiran Tio yang terlalu berlebihan. Bian yang berdecih langsung menembak pertanyaan.
"Jadi, kau benar-benar berniat untuk merecoki wilayah ku ya, Yo?"
"Eh? Kau baru membahasnya sekarang? Hei, Bi... Aku di sini sudah lima hari, ku pikir kau tak mempermasalahkannya."
"Karena ku pikir kau sadar diri."
Raut Bian yang nampak semakin masam, membuat Tio buru-buru merangkak dan bersujud di kaki sang kawan yang tengah bersila di atas ranjang.
"Ku mohon, jangan mengusir ku. Kau tau, aku hanya ingin lebih dekat dengan mu."
Plakk
Akibat mulutnya yang selalu asal bicara tanpa berpikir, menjadikan kepalanya sebagai korban pukulan Bian terus-terusan.
"Ouch!"
"Ckck! Ucapan mu benar-benar ambigu. Dan ku harap niatan mu tak merembet ke hal-hal berbau romansa."
Tio yang meringis kesakitan, mendadak langsung cengo dengan kepala mendongak mensejajarkan pandangannya terhadap Bian.
"Eh? Maksudnya?"
"Kau tidak sedang punya perasaan dan berniat merayu ku, kan?"
Yang tak mengira sedikit pun jika tuduhan itu akhirnya terucap dari bibir seorang Bian untuknya.
"Isshh... Sialan... Harus ku katakan berulang kali supaya kau mengerti? Aku bukan golongan pria yang bisa lemah pendirian hanya karena godaan mu, Bi."
Sementara Bian yang sedikit pun tak bisa mempercayai. Di tambah jawaban Tio yang sedikit menimbulkan gejolak ketidakterimaan karena merasa pesonanya mendadak tak berpengaruh.
"Sedikit pun, apa kau tak berniat memperkaos ku ketika aku tertidur?"
"Ya Tuhan... Aku bahkan langsung mengingat Tuhan saat mendengar ucapan mu yang terlalu ngeri. Aku teman mu, bagaimana bisa kau menuduh ku punya niatan bejat seperti itu sih, Bi? Enam tahun kita bersama, jika ingin, sudah ku lakukan itu sejak dulu." Tio yang mengusap-usap dada, bidikan yang terlalu gencar hanya karena ucapan yang keluar dari mulut Bian, seolah mampu membuatnya serangan jantung secara mendadak.
"Benarkah? Kalau begitu apa boleh ku coba?"
Dan kerlingan mata nakal yang begitu familiar. Jurus jalang itu merayu mangsa. Sialan! Apaan Bian?!
"Jangan main-main, sekarang aku sedang sangat kesal dengan mu, Bi."
"Kau kesal dengan ku...? Setelah ini, ku jamin perasaan mu akan jauh lebih baik."
Membuat Tio di serang rasa panik seketika. Bian berdiri di ranjangnya dengan bertumpu lutut. Jemari lentik yang meraba-raba tubuh dengan begitu sensual. Layaknya pertunjukan erotis seorang jalang di bar, menggoyangkan pantat dengan gerakan naik turun. Sesekali usil menyikap kain yang menutupi tubuhnya, membuka sampai menampakkan puting mungil kemerahannya. Memberikan bukti asetnya layak di kagumi siapa pun tanpa terkecuali.
Membuat mata Tio di buat kebingungan menyasar objek, sampai kesalahan awal yang di buat cukup membuatnya meriang. Mimik wajah Bian benar-benar berbahaya, menandakan seolah menyerahkan diri untuk segera di habisi. Layaknya penjual yang mendesak barang dagangannya untuk segera di beli.
Glegek
Tio yang melotot sampai menelan ludah sekaligus. Sekujur tubuhnya benar-benar mati rasa, keringat bercucuran membasahi. Bibirnya bergetar, rambutnya mendadak lepek. "Bi... K-ku mohon-"
"Aku yakin kau akan menelan mentah-mentah penolakan mu itu, Yo." Bian yang sampai tanpa ragu menarik lepas celananya. Kaki kecil yang telanjang sampai pangkal terdalamnya yang terlihat begitu mulus berkilau itu membuat Tio sejenak merasa tak berdaya. Jangkunnya naik turun dengan pupil membesar.
"Bi, cukup. Ku rasa ini sudah sangat melampaui batas."
"Lihat aku!" Membuat Tio ingin lenyap begitu saja. Jemari lembut yang sengaja menjamah mengikuti air liurnya yang menuruni kerongkongan. Membuatnya nyaris tersedak saat telunjuk itu mengetuk-ngetuk jangkunnya. Sekejap membuatnya tersentak, dagunya di dongakkan, di serbu hembusan napas yang membuat sekujur tubuhnya makin meriang. Bian begitu dekat, sampai-sampai membuatnya sedikit memberontak, takut di lecehkan.
"Kau sangat berbahaya, Bi."
"Meski bukan pujian semacam itu yang ingin ku dengar pertama kali dari mu. Tapi tak masalah... Aku cukup tersanjung."
Hawa di ruangan sempit itu mendadak makin panas, seolah-olah suhunya yang terus meningkat mampu membakar keduanya. Yang malah membuat adrenalin Bian terpacu gila-gilaan. Dengan senyum liciknya, kembali menjatuhkan pantatnya dengan kaki yang di buka begitu lebar.
Sementara Tio yang masih tak berkutik, makin melotot menatap bagian intim milik Bian. Pipi yang merah padam, makin membuat jalang itu usil. Kakinya di julurkan, mengusapkan jemarinya memutar, membentuk abstrak di dada Tio yang debaran jantungnya terasa begitu kencang. Sampai berakhir dengan begitu lancang di tumpukan ke bahu kanan milik Tio, menggiring otomatis tatapan pria itu mengikuti gerakannya. Terlalu dekat sampai puncak hidung Tio terasa membelai kulit sensitif Bian.
"Kenapa dia bisa semulus ini?" Kekaguman Tio yang tak sengaja di cetuskan terlalu keras, membuat Bian terpingkal.
"Hahaha... Menurut mu, bagaimana kaki ku?"
"Eh- ekhem! Ya, normal lah!"
Cih! Dasar munafik!
"Tak ada yang berbeda? Benarkah? Tapi kenapa para pria itu begitu tergila-gila? Bahkan mereka yang seolah seperti kelaparan, tanpa sedikit pun ragu menjilati kaki mulus ku ini."
Sementara jemari lentik Bian meraba kakinya yang begitu seksi untuk memberi contoh. Bergerak semakin dalam, membuka bagian yang terlihat tanggung, sampai terpampang begitu jelas.
Tatapan laparnya yang tak sekali pun lepas dari milik Tio yang khidmat mengamati pertunjukkan.
Srupp
Dengan jalangnya, menelan jari-jarinya. Sampai sangat basah, lantas menunjuk ke bagian bawahnya yang terasa berkedut.
... Sampai pangkalnya..."